Seasons of Change (2/5)

3 0 0
                                    

Part 2: Tersentuh Perhatian

Kehidupan Thomas di Berlin tampak semakin cerah. Sejak ia mulai mengajar di universitas, hari-harinya dipenuhi dengan semangat baru. Setelah bertemu Greta, mahasiswa arsitektur berusia 21 tahun yang lugu dan ceria, dia merasakan energi positif mengalir ke dalam hidupnya. Setiap pertemuan dengan Greta membawa kebahagiaan dan harapan yang ia butuhkan untuk mengatasi patah hatinya.

Suatu sore, di apartemennya yang terletak di kawasan Prenzlauer Berg, Thomas mempersiapkan diri untuk rapat kecil dengan mahasiswa-mahasiswanya. Dinding apartemen yang dicat putih bersih dipenuhi dengan sketsa-sketsa arsitektur dan foto-foto proyek yang pernah ia kerjakan. Di sudut ruangan, sebuah meja kayu besar dipenuhi dengan buku-buku arsitektur dan alat gambar.

“Lukas, apakah kamu yakin aku bisa mengatur rapat ini dengan baik? Terlalu banyak mahasiswa yang lebih muda dariku,” keluh Thomas pada sahabatnya yang duduk di sofa.

“Thomas, kamu sudah menjadi arsitek sukses. Mereka pasti menghargai pengalamanmu,” jawab Lukas sambil menyeruput kopi dari cangkirnya. “Dan jangan lupa, Greta adalah salah satu dari mereka. Dia sangat mengagumkan.”

Pernyataan Lukas membuat Thomas tersenyum. “Ya, Greta memang istimewa. Dia memiliki cara berpikir yang unik.”

Ketika Thomas memikirkan Greta, ingatannya kembali ke pertemuan terakhir mereka di taman. Senyumnya yang cerah dan semangatnya yang tak terbendung membuatnya merasa nyaman. Namun, ada satu hal yang membuatnya ragu—Greta masih sangat muda dan sangat lugu. Thomas tidak ingin mengambil keuntungan dari ketidakpastian masa mudanya.

---

Di sisi lain kota, Greta sedang berlari di sepanjang sungai Spree, mencoba menenangkan pikirannya. Dengan balutan jaket denim dan celana panjang hitam, dia menikmati udara segar Berlin di pagi yang cerah. Dia merasa senang karena bisa belajar dari Thomas dan tidak sabar untuk menyampaikan idenya yang baru tentang proyek akhir. Selama beberapa minggu terakhir, dia selalu merasa bersemangat setelah bertemu dengannya.

Setelah berolahraga, Greta memutuskan untuk singgah di sebuah kafe kecil bernama “Kaffeekommune” yang terletak di sudut jalan. Kafe itu dikenal dengan kopi yang kuat dan suasana yang nyaman. Di dalam, aroma kopi yang baru diseduh menyambutnya, dan dia segera memesan cappuccino sebelum mencari tempat duduk di dekat jendela.

Saat menunggu pesanan, Greta melihat sekeliling, memperhatikan para pengunjung yang tertawa dan berbincang. Dia merasa cemas. Bagaimana jika ide-idenya tidak diterima oleh Thomas? Apa yang harus dia lakukan jika dia tidak bisa membuktikan bahwa dia layak mendapatkan perhatian arsitek hebat itu?

Ketika pesanan cappuccino tiba, Greta menarik napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan dirinya. “Hanya sebuah presentasi. Aku harus bersikap percaya diri,” ujarnya pelan.

---

Beberapa hari kemudian, di apartemen Thomas, suasana terasa sedikit tegang. Thomas menyiapkan materi untuk presentasi akhir semester mahasiswa-mahasiswanya. Dia berharap bisa memberikan penilaian yang baik untuk Greta, meskipun perasaannya terhadapnya semakin dalam. Dia duduk di meja kayu, memegang sketsa yang dibuat Greta. Ada daya tarik tersendiri dalam cara Greta mengekspresikan ide-idenya.

“Thomas, kamu siap untuk rapat?” tanya Lukas yang tiba-tiba muncul di ambang pintu.

“Ya, tapi aku merasa sedikit gugup,” jawab Thomas sambil mengelap tangannya yang berkeringat.

“Jangan khawatir. Ingat, mereka juga masih belajar. Berikan mereka kesempatan untuk berbicara,” Lukas mengingatkan.

Ketika para mahasiswa tiba, suasana di apartemen Thomas berubah menjadi lebih hidup. Greta adalah yang terakhir memasuki ruangan, dan begitu dia melihat Thomas, dia tersenyum cerah. “Maaf, saya terlambat! Ada sedikit kemacetan di jalan.”

“Tidak apa-apa, Greta. Ayo kita mulai,” Thomas menjawab, merasakan hati kecilnya berdebar.

Rapat dimulai dengan beberapa mahasiswa lainnya mempresentasikan proyek mereka. Thomas memberikan komentar yang konstruktif, dan Greta merasa terinspirasi oleh antusiasmenya. Akhirnya, tiba gilirannya untuk berbicara.

Greta berdiri di depan, matanya menatap sketsa yang telah dipersiapkannya. “Saya ingin mempresentasikan proyek ruang publik yang bisa menyatukan orang-orang dari berbagai latar belakang. Tempat ini akan memiliki area hijau, ruang seni, dan tempat untuk berkumpul.”

Dia menjelaskan setiap detail dengan penuh semangat, menggunakan gaya bicaranya yang natural dan ekspresif. Thomas memperhatikan dengan seksama, terpesona oleh ide-ide segar yang dia ajukan.

“Dengan desain ini, saya berharap dapat menciptakan ruang di mana orang bisa berinteraksi, berbagi cerita, dan merasa diterima. Seperti yang kita tahu, arsitektur bukan hanya tentang bangunan, tetapi tentang bagaimana ruang dapat mempengaruhi kehidupan orang-orang di dalamnya,” ungkap Greta dengan percaya diri.

“Konsep yang sangat menarik, Greta. Saya suka ide tentang interaksi sosial yang ingin kamu bangun. Kamu memiliki bakat yang luar biasa,” puji Thomas, merasakan kekaguman yang tulus.

“Terima kasih, Pak Baumann!” Greta menjawab, wajahnya merona. Dia bisa merasakan ketegangan di dalam dirinya perlahan menghilang.

Setelah rapat selesai, Greta mendekati Thomas. “Saya sangat berterima kasih atas saran dan kritik Anda. Itu sangat membantu!”

Thomas tersenyum. “Saya senang kamu mendapatkannya. Ingat, proses belajar adalah tentang eksplorasi dan kesalahan. Kamu tidak boleh ragu untuk berbagi ide-ide kamu.”

“Apakah Anda akan hadir di presentasi akhir saya nanti?” tanya Greta, wajahnya berseri-seri.

“Tentu saja, saya akan senang untuk hadir dan melihat perkembangan proyek kamu,” jawab Thomas, merasa antusias untuk mendukungnya.

---

Hari demi hari berlalu, dan hubungan antara Thomas dan Greta semakin erat. Setiap pertemuan di kelas dan diskusi di kafe menambah kedekatan mereka. Greta sering menceritakan tentang kehidupannya sebagai mahasiswa, impiannya, dan pandangannya tentang dunia. Thomas menemukan kenyamanan dan kebahagiaan dalam kehadirannya, dan rasa sakit yang pernah menghantuinya perlahan mulai memudar.

Suatu malam, setelah kelas, mereka berjalan di sepanjang jalan yang dihiasi lampu-lampu jalan yang berkilau. Suara derap sepatu mereka menambah keindahan malam. Greta berbicara dengan semangat tentang proyek-proyek arsitektur yang ingin ia eksplorasi.

“Pak Thomas, apa pandangan Anda tentang arsitektur berkelanjutan? Saya percaya kita perlu lebih peduli dengan lingkungan kita,” tanya Greta dengan antusias.

“Arsitektur berkelanjutan adalah masa depan. Kita harus merancang bangunan yang tidak hanya indah tetapi juga ramah lingkungan. Saya sangat setuju dengan pemikiranmu,” jawab Thomas, merasakan rasa hormat yang lebih dalam terhadap Greta.

Mereka berhenti di depan gedung tua yang indah. “Bangunan ini terlihat seperti karya seni,” kata Greta, matanya berbinar.

Thomas mengangguk. “Ya, setiap bangunan memiliki cerita yang bisa diceritakan. Dan kamu memiliki potensi untuk menciptakan cerita-cerita itu.”

Dalam keheningan sejenak, Greta menatap Thomas. “Saya sangat beruntung bisa belajar dari Anda. Anda telah membuka banyak perspektif dalam hidup saya.”

Thomas tersenyum, merasa terhormat. “Saya juga merasa beruntung memiliki mahasiswa seperti kamu.”

Di malam yang indah itu, di tengah lampu-lampu Berlin yang bersinar, Thomas merasakan sesuatu yang baru tumbuh di dalam hatinya. Mungkin, dengan Greta di sampingnya, musim semi dalam hidupnya tidak hanya akan membawa keindahan alam, tetapi juga cinta yang tak terduga.

---

Bersambung

Because Of You (Short Story) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang