Beneath the Stars (1/5)

2 0 0
                                    

Langkah Awal yang Sepi

Di tengah hiruk pikuk jalanan Roma, Marco Lombardi duduk di sebuah kafe kecil bernama Caffè delle Stelle. Teras kafe yang berjejer di sepanjang jalan dengan meja-meja bundar dihiasi bunga lavender tampak kontras dengan perasaan hatinya yang sepi. Langit sore itu berwarna jingga lembut, memantulkan sinar matahari yang mulai terbenam di antara bangunan-bangunan kuno, namun semua keindahan ini terasa hampa bagi Marco.

Dia menyesap espresso hitam pekat, pandangannya kosong ke jalan yang dipenuhi turis dan penduduk lokal yang bergegas pulang. Pikirannya melayang pada hubungannya yang baru saja berakhir. Kekasihnya, seorang pria yang pernah sangat dicintainya, telah pergi. Hubungan mereka kandas, tidak bisa lagi dipertahankan. Selama bertahun-tahun, mereka menyembunyikan kisah cinta itu dari dunia, hanya untuk menghadapi kenyataan bahwa cinta mereka tak cukup kuat melawan ketidakpastian masa depan.

Marco meraih kamera di sampingnya. Sebagai seorang fotografer, ia selalu merasa dunia terlihat lebih indah di balik lensa kameranya, tapi sekarang bahkan keindahan visual pun tak mampu menghapus rasa sakit di hatinya. Ia mengarahkan kameranya ke jalanan, mencari sesuatu yang bisa mengalihkan pikirannya, tetapi gambaran-gambaran yang diambilnya terasa kosong, seperti dirinya saat ini.

Kafe itu tak jauh dari Piazza Navona, sebuah alun-alun yang dipenuhi air mancur klasik dan seniman jalanan. Suara tawa dan obrolan orang-orang di sekitar tampak seperti latar belakang yang jauh bagi Marco, meskipun dia duduk di tengah keramaian. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan pikirannya, namun yang ia rasakan hanya kekosongan.

"Permisi, apakah kursi ini kosong?" Sebuah suara perempuan yang lembut memecah lamunannya.

Marco mendongak dan melihat seorang wanita muda dengan rambut panjang bergelombang yang berwarna coklat tua. Matanya yang besar dan berwarna hazel memancarkan rasa ingin tahu. Pakaian kasualnya—jaket denim dan celana hitam—menunjukkan bahwa dia mungkin bukan turis, tapi seorang lokal yang terbiasa dengan suasana Roma yang santai.

"Ah, iya. Silakan duduk," jawab Marco, sedikit terkejut. Ia tidak terbiasa berinteraksi dengan orang asing belakangan ini.

Wanita itu tersenyum tipis sambil menarik kursi dan duduk di depannya. "Terima kasih. Namaku Fiorella Ricci," katanya sambil mengulurkan tangan.

Marco ragu sejenak sebelum menjabat tangan wanita itu. "Marco Lombardi."

"Apa kau sering datang ke sini?" tanya Fiorella sambil melirik sekeliling kafe.

"Kadang-kadang," jawab Marco singkat, lalu kembali menatap kameranya. Ia tidak merasa ingin berbicara, tapi sesuatu tentang Fiorella membuatnya enggan bersikap dingin. "Aku biasanya datang ke sini setelah bekerja."

Fiorella mengangguk sambil melihat Marco dari balik cangkir tehnya yang baru dipesan. "Kau seorang fotografer?"

Marco mendesah pelan. "Ya, tapi belakangan aku merasa kehilangan gairah untuk itu."

Fiorella menatap Marco dengan pandangan yang penuh pengertian, seolah ia bisa merasakan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kehilangan minat pada pekerjaan. "Semua orang punya masa seperti itu. Mungkin kau butuh waktu untuk dirimu sendiri."

Marco tersenyum samar. "Ya, mungkin." Ia memandang jalanan yang mulai lengang. Lampu-lampu jalan mulai menyala, memberikan kesan hangat di antara bangunan-bangunan kuno di sekitar mereka. "Aku baru saja putus dari seseorang... dan semuanya terasa... kosong."

Fiorella mengangguk pelan. "Aku mengerti. Aku juga pernah merasakan hal yang sama."

Kata-katanya menggantung di udara sejenak, memberikan jeda yang nyaman di antara mereka. Marco merasa sedikit lega bahwa ia tidak perlu menjelaskan lebih jauh, tidak perlu membuka luka yang masih basah itu. Namun, ada sesuatu dalam kehadiran Fiorella yang menenangkan, seperti obrolan ini membantu mengisi kekosongan yang ia rasakan.

Fiorella meletakkan cangkir tehnya dan menatap Marco dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. "Jadi, apa yang kau rencanakan sekarang?"

Marco terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. "Aku tidak tahu. Mungkin terus bekerja, mengambil foto, meski tak ada lagi gairah yang tersisa."

Fiorella tersenyum tipis. "Mungkin kau hanya butuh sudut pandang baru. Kadang-kadang, hal-hal kecil bisa mengubah cara kita melihat dunia."

Marco mengerutkan kening, sedikit bingung. "Sudut pandang baru?"

Fiorella mengangguk. "Aku seorang penulis. Dan kadang ketika aku merasa buntu, aku pergi ke tempat-tempat yang belum pernah kukunjungi. Bertemu dengan orang-orang baru, atau hanya duduk di sudut yang berbeda dari kafe favoritku. Hal-hal kecil seperti itu bisa memberiku perspektif baru."

Marco terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Fiorella. Sudut pandang baru? Mungkin itulah yang ia butuhkan. Selama ini ia berusaha mencari sesuatu yang besar untuk mengisi kekosongan hatinya, tapi mungkin jawabannya ada pada hal-hal kecil yang sering ia abaikan.

"Aku tidak pernah berpikir seperti itu," kata Marco, lebih pada dirinya sendiri daripada kepada Fiorella.

Fiorella tersenyum, memandangi Marco dengan tatapan lembut. "Kehidupan kadang-kadang tidak berjalan seperti yang kita harapkan, tapi selalu ada hal baru yang bisa ditemukan di sepanjang jalan."

Kata-kata Fiorella bergema dalam hati Marco. Ia menatap langit yang kini mulai dipenuhi bintang-bintang. Mungkin, hanya mungkin, ada harapan baru yang tersembunyi di balik kesepiannya.

---

Bersambung

Because Of You (Short Story) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang