Canvas of Dreams (5/5)

1 0 0
                                    

Di Bawah Kanvas Impian

Malam itu, pameran seni di Paris dipenuhi keramaian. Gedung galeri dengan arsitektur klasik yang megah berdiri kokoh di jantung kota. Lampu-lampu kristal yang menggantung di langit-langit memancarkan kilauan lembut, sementara dindingnya dihiasi dengan berbagai karya seni dari para seniman ternama, termasuk karya-karya dari Lucien. Kanvas-kanvas besar dengan warna-warna berani dan detail rumit menarik perhatian banyak pengunjung, namun ada satu karya yang paling menonjol—sebuah lukisan kolaborasi antara Lucien dan Colette.

Di tengah hiruk pikuk pameran, Lucien berdiri di samping lukisan besar itu. Lukisan tersebut merupakan simbol perjalanan cinta mereka—perpaduan antara warna cerah Colette dan sapuan kuas ekspresif milik Lucien. Ia mengenakan setelan hitam yang rapi, namun di balik penampilan elegan itu, ada kegugupan yang tersimpan di dalam hatinya. Di saku jasnya, terselip sebuah cincin berlian yang telah ia siapkan selama berbulan-bulan.

Colette, yang berdiri di sampingnya, tampak anggun dalam balutan gaun putih yang sederhana namun memikat. Matanya berbinar ketika melihat bagaimana orang-orang terpesona oleh karya mereka. Namun, meski suasana di sekeliling mereka penuh dengan pujian dan apresiasi, Lucien hanya bisa memikirkan satu hal—momen yang akan ia jalani malam ini.

"Colette," panggil Lucien dengan suara lembut, sedikit bergetar.

Colette menoleh, menatap Lucien dengan senyum hangat. "Ya, Lucien?"

Lucien menatap dalam ke matanya, seolah mencari kekuatan dari keindahan yang terpancar dari sosok wanita di depannya. Dengan perlahan, ia mengambil tangannya dan menggenggamnya erat.

"Aku sudah lama memikirkan ini," kata Lucien, suaranya penuh dengan kejujuran. "Sejak kita pertama kali bertemu, kau telah membawa warna baru dalam hidupku, bukan hanya di atas kanvas, tapi juga di dalam hatiku."

Colette menatapnya, mata berkilau penuh perasaan. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang penting dalam kata-kata Lucien, namun belum sepenuhnya memahami maksudnya.

Lucien menarik napas dalam-dalam, lalu berlutut di hadapan Colette. Suasana di sekitar mereka seketika hening, perhatian para pengunjung pameran teralihkan pada pasangan di tengah galeri.

"Colette Dubois," lanjut Lucien dengan suara bergetar, "Kau adalah inspirasiku, cahayaku, dan belahan jiwaku. Apakah kau bersedia menikah denganku dan menjalin hidup bersamaku selamanya?"

Gasps kecil terdengar di sekeliling mereka. Colette menutup mulutnya, terkejut oleh lamaran yang tak disangka-sangka. Air mata bahagia mulai menggenang di matanya. Ia menatap Lucien yang masih berlutut dengan cincin di tangannya, dan tanpa ragu, ia mengangguk.

"Ya, Lucien. Ya!" jawab Colette dengan suara bergetar, namun penuh keyakinan.

Lucien tersenyum lebar, lalu dengan penuh kasih ia memasangkan cincin itu ke jari Colette. Segera setelah itu, ia bangkit berdiri dan menarik Colette ke dalam pelukannya. Pelukan mereka erat, penuh dengan kehangatan dan kebahagiaan yang mendalam. Di tengah keramaian, dunia mereka terasa begitu kecil, seolah hanya ada mereka berdua.

Lucien kemudian menurunkan wajahnya, mendekat ke arah Colette, dan menciumnya dengan lembut. Ciuman itu penuh perasaan, sebuah pernyataan cinta yang dalam dan tulus. Para tamu pameran bertepuk tangan dan bersorak, ikut merayakan momen indah itu.

---

Beberapa bulan kemudian, di bawah langit biru cerah dan di hadapan teman serta keluarga, Lucien dan Colette menikah di sebuah taman indah di pedesaan Prancis. Taman itu penuh dengan bunga berwarna-warni, dan sebuah gazebo berdiri megah di tengahnya, tempat mereka bertukar janji suci. Dengan angin sepoi-sepoi yang membawa aroma lavender, mereka mengikat janji untuk saling mencintai dan mendukung seumur hidup.

Tahun-tahun berlalu dengan kebahagiaan yang tak terukur. Keduanya terus menciptakan karya seni bersama, mengadakan pameran-pameran yang sukses, dan hidup dengan penuh cinta di rumah kecil mereka di pinggiran Paris. Hingga pada suatu hari yang cerah, kebahagiaan mereka bertambah dengan kelahiran seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Julien.

Di studio yang sama di mana cinta mereka bersemi, Lucien berdiri di depan kanvas besar. Di belakangnya, Colette duduk di sofa sambil menyusui Julien, yang baru saja tertidur di pelukannya. Mata Colette berbinar bahagia saat melihat Lucien, yang tengah sibuk melukis.

"Lucien," panggil Colette lembut.

Lucien menoleh, melihat ke arah istri dan anaknya dengan senyum lembut di wajahnya. "Ya, sayang?"

Colette tersenyum kecil. "Apa kau sedang melukis potret kita bertiga?"

Lucien tersenyum misterius. "Mungkin. Atau mungkin ini adalah potret dari semua mimpi yang kini menjadi kenyataan."

Colette tertawa kecil, lalu berdiri dan menghampiri Lucien dengan Julien di pelukannya. Mereka berdiri bersama di depan kanvas yang masih dalam proses, melihat lukisan itu dengan penuh harapan. Lucien merangkul Colette dan Julien dengan penuh cinta, mencium kening Colette dengan lembut.

"Kau adalah karya terindah dalam hidupku," bisik Lucien sambil menatap Colette dalam-dalam.

Colette tersenyum, merasakan cinta yang begitu besar mengalir di antara mereka. "Dan kau adalah inspirasiku selamanya."

Dengan Julien yang tertidur dalam pelukan mereka, mereka berbagi pelukan yang erat dan ciuman yang dalam, di tengah studio yang dipenuhi dengan kehangatan dan cinta. Masa depan mereka kini terbentang seperti kanvas kosong yang siap diisi dengan warna-warni kehidupan yang penuh kebahagiaan.

---

Cerita 3 Tamat

Because Of You (Short Story) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang