Threads of Destiny (1/5)

0 0 0
                                    

Benang yang Hilang

Suara mesin jahit memenuhi ruang studio yang luas dan modern, di tengah kota Shanghai. Di sudut ruangan, Zhang Wei, seorang pria berusia 30 tahun dengan penampilan rapi dan berwibawa, duduk di depan sebuah meja besar yang dipenuhi sketsa kain. Tangannya yang kokoh dengan telaten menyentuh tekstur kain sutra, seakan mencari sesuatu yang hilang. Ia menghela napas panjang, melepaskan semua pikiran yang mengganggu, namun tetap saja perasaan hampa itu terus mengikutinya.

"Bagaimana mungkin aku tidak bisa melupakanmu?" gumamnya, matanya menatap kosong pada sketsa kain yang belum selesai di depannya. Di atas kertas, garis-garis sketsa mulai membentuk pola, tetapi pikirannya terlalu kalut untuk fokus.

Beberapa bulan yang lalu, Zhang Wei mengalami perpisahan yang menyakitkan dengan mantan kekasihnya, seorang pria bernama Lan Feng, yang dulu selalu ada di sisinya. Hubungan mereka berlangsung bertahun-tahun, namun akhirnya runtuh karena perbedaan yang tidak dapat diselesaikan. Lan Feng, seorang pria yang lembut dan selalu mengalah, pergi tanpa banyak kata, meninggalkan kekosongan di hati Zhang Wei.

Ruangan studio itu terletak di lantai 10 sebuah gedung di distrik mode, tempat para desainer terkenal mengerjakan kreasi mereka. Di luar jendela kaca yang besar, gemerlap kota Shanghai tampak jelas, dengan gedung pencakar langit yang menjulang dan lampu-lampu yang bersinar di malam hari. Namun, meskipun berada di tengah hiruk-pikuk kota yang tak pernah tidur, kesendirian Zhang Wei terasa semakin menusuk.

Dia bangkit dari kursinya dan berjalan ke jendela besar di sisi ruangan. Pandangannya jatuh ke jalanan di bawah, di mana orang-orang berlalu-lalang dengan berbagai tujuan, sementara dirinya tetap terkurung dalam perasaan sepi yang tak tertahankan.

"Apakah ini harga yang harus aku bayar untuk ambisi dan kesuksesan?" tanyanya pada dirinya sendiri, tanpa mengharapkan jawaban. Dia adalah seorang desainer tekstil yang sukses, karyanya dipakai oleh merek-merek terkemuka di dunia mode. Namun, di balik semua prestasi itu, ia merasa kehilangan arah.

Sementara itu, di sisi lain kota, Liu Xinyi, seorang mahasiswi mode berusia 25 tahun, berjalan cepat di sepanjang trotoar yang sibuk. Ia baru saja pulang dari kampusnya, tempat ia menghabiskan hari dengan presentasi proyek desainnya. Malam sudah menjelang, dan angin dingin berhembus lembut, membuatnya menarik jaket yang ia kenakan lebih erat.

"Aku harus segera menyelesaikan desain ini. Kompetisi tinggal dua minggu lagi," katanya pada dirinya sendiri sambil merapikan kertas-kertas sketsa di dalam tasnya. Xinyi memiliki mimpi besar untuk menjadi seorang desainer yang dikenal dunia, dan ia tahu bahwa setiap langkah yang ia ambil akan menentukan masa depannya. Namun, ia juga sadar bahwa dunia mode tidak mudah, dan persaingan sangat ketat.

Xinyi melewati beberapa toko mode mewah di sepanjang jalan, matanya terarah pada manekin di balik jendela kaca yang memamerkan pakaian dari desainer terkenal. Salah satu toko tersebut adalah butik yang bekerja sama dengan Zhang Wei. Tanpa mengetahui siapa desainer di balik baju-baju mewah itu, Xinyi hanya bisa mengagumi hasil karya tersebut dari jauh, membayangkan suatu hari nanti karyanya akan ada di tempat yang sama.

"Suatu hari nanti," katanya dengan penuh keyakinan. "Aku akan berhasil."

Setibanya di apartemennya yang sederhana, Xinyi segera duduk di depan meja kerjanya yang kecil namun rapi. Dinding di sekitarnya dipenuhi dengan gambar-gambar inspirasional, mulai dari sketsa mode hingga potret desainer legendaris yang ia kagumi. Meja tersebut dipenuhi dengan gulungan kain, alat jahit, dan sketsa-sketsa yang belum selesai.

Di sudut lain Shanghai, malam semakin larut, dan Zhang Wei masih berdiri di depan jendela kaca besar di studionya. Pikirannya kembali melayang pada Lan Feng. Ia teringat saat mereka berdua menghabiskan malam-malam seperti ini, bekerja sama hingga larut untuk merancang koleksi baru. Lan Feng, dengan sentuhan lembutnya dan sikap penyabar, selalu berhasil menyeimbangkan energi yang keras dari Zhang Wei.

Namun sekarang, hanya ada kesunyian. Kesepian yang terus menghantui.

Pintu studio tiba-tiba terbuka, dan suara asisten Zhang Wei, Xiao Mei, terdengar dari arah pintu. "Tuan Zhang, ada sesuatu yang perlu Anda lihat," kata Xiao Mei dengan nada hati-hati.

Zhang Wei menoleh perlahan, berusaha mengendalikan emosinya. "Apa itu?"

Xiao Mei mendekat sambil membawa beberapa sketsa yang baru diterima. "Ini sketsa dari salah satu peserta kompetisi mode yang diadakan minggu depan. Saya pikir Anda harus melihatnya."

Zhang Wei menerima sketsa-sketsa itu dan mulai memeriksanya. Matanya menyapu setiap garis dan detail dengan teliti. Sesuatu dalam desain itu menarik perhatiannya—kesederhanaan yang elegan dan pemilihan warna yang berani. Ia mengerutkan kening, merasa bahwa ada sesuatu yang istimewa dalam karya ini.

"Siapa desainer di balik ini?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari sketsa.

"Namanya Liu Xinyi," jawab Xiao Mei. "Dia seorang mahasiswa mode dari universitas lokal."

Zhang Wei mengangguk pelan. "Hmmm... Menarik."

Malam semakin dalam, namun di kedua sudut kota yang berbeda, dua hati yang belum pernah bertemu mulai terhubung, meski mereka belum menyadarinya. Di satu sisi, Zhang Wei masih tenggelam dalam bayangan masa lalu, sementara di sisi lain, Xinyi berusaha keras untuk mencapai impian besarnya. Takdir telah menenun benang-benang mereka, namun jalan mereka baru akan bersilang di kemudian hari.

---

Bersambung

Because Of You (Short Story) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang