Perlahan-lahan

493 66 11
                                    

"Perjodohan"  Agak cringe, tapi bacalah. Udah gak ada ide


Farel duduk di tepi ranjang, pandangannya terpaku pada lantai kamar yang sunyi. Pikirannya berputar, penuh dengan kekacauan yang tak kunjung berhenti. Di tangannya, sebuah foto kecil berbingkai sederhana yang menggambarkan wajah Fiony, wanita yang telah mendampinginya selama dua tahun terakhir. Fiony, dengan senyum hangat dan tatapan penuh kasih, selalu menjadi pelipur laranya di saat-saat terberat. Namun, kebahagiaan itu kini terasa jauh, seakan menguap tanpa jejak.

Farel dan Fiony, meski saling mencintai, telah lama menghadapi kenyataan pahit. Mereka berasal dari keyakinan yang berbeda, dan meskipun cinta mereka begitu kuat, perbedaan itu selalu menjadi tembok yang semakin sulit ditembus. Keduanya telah mencoba berbagai cara untuk mencari solusi, namun setiap kali mereka membahasnya, rasa ragu dan ketidakpastian seolah mengaburkan masa depan yang mereka impikan bersama. Fiony selalu mencoba menguatkan Farel, mengatakan bahwa cinta mereka pasti akan menemukan jalan. Tetapi di balik semua itu, baik Farel maupun Fiony tahu bahwa keluarga mereka, terutama ibu Farel, tak akan pernah menyetujui hubungan mereka.

Pikiran Farel kembali ke percakapan terakhir dengan ibunya beberapa minggu lalu. Sang ibu, yang sejak awal menentang hubungan itu, mulai membicarakan pernikahan. “Kamu sudah cukup umur, Farel,” katanya tegas, “Kamu harus mulai memikirkan masa depan yang lebih serius. Mama sudah berbicara dengan sahabat mama, dan dia punya anak yang cocok untukmu, Flora namanya. Dia baik, seiman, dan keluarga kami sudah saling kenal sejak lama.”

Farel terdiam kala itu, merasa kata-kata ibunya seperti belati yang menembus hatinya. Ia tahu betul bahwa Flora, putri dari sahabat ibunya, adalah sosok yang tak asing lagi baginya. Mereka pernah bertemu beberapa kali dalam acara keluarga, namun tak pernah ada percakapan yang bermakna antara mereka. Bagaimana mungkin ia bisa menikahi seseorang yang hampir tak dikenalnya, sementara hatinya masih penuh dengan cinta untuk Fiony?

Malam itu, setelah percakapan dengan ibunya, Farel tak bisa tidur. Ia terus memikirkan Fiony, wanita yang selama ini menjadi pusat dunianya. Pikirannya bercabang, antara rasa tanggung jawab kepada keluarganya dan perasaan cinta yang tulus kepada Fiony. Namun, ia tahu bahwa ibunya takkan membiarkannya melanjutkan hubungan dengan Fiony. Tekanan dari keluarga, dari lingkungan, dan dari keyakinan mereka semakin membuatnya terjebak dalam dilema.

Hari demi hari berlalu, dan tekanan dari ibunya semakin kuat. Hingga suatu malam, saat Farel hendak bertemu dengan Fiony, ia mendapatkan kabar bahwa tanggal pernikahannya dengan Flora telah ditetapkan. Ibunya memaksa, mengatakan bahwa semuanya sudah diatur. “Kamu harus melakukannya, Farel. Ini demi masa depanmu, demi kehormatan keluarga kita.”

Farel merasa dunianya runtuh. Ia bertemu Fiony malam itu dengan hati yang berat. Di bawah langit malam yang gelap, mereka duduk di taman kota yang menjadi tempat favorit mereka sejak awal berpacaran. Farel menatap Fiony, mencoba mencari kata-kata yang tepat, namun yang keluar hanyalah rasa sakit. “Fiony...,” ucapnya pelan, suaranya serak. Fiony yang selama ini ceria, menatapnya dengan cemas. “Ada apa, Farel? Kamu terlihat sangat murung,” tanya Fiony, suaranya dipenuhi kekhawatiran.

Dengan susah payah, Farel akhirnya mengutarakan apa yang terjadi. Ia menceritakan tentang pernikahan yang diatur oleh ibunya, tentang Flora, dan tentang betapa ia merasa terjebak. Mata Fiony mulai berkaca-kaca, namun ia mencoba menahan air matanya. “Jadi, ini akhirnya?” tanyanya pelan, suaranya hampir tak terdengar.

Farel menggenggam tangan Fiony, tetapi tak ada kata-kata yang bisa ia keluarkan untuk mengubah situasi. “Aku tak ingin ini terjadi, Fiony,” katanya, suaranya berat oleh kesedihan. “Tapi aku tidak bisa melawan keluargaku. Ibu... ibu sudah mengatur semuanya. Aku tak tahu harus berbuat apa.”

FreFloShoot (+Random)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang