Chapter 35: The Shadows of the Past
Angin berhembus kencang, dan hawa dingin menyelimuti tubuhku saat aku terus berjalan tanpa arah. Wajahku terasa dingin dengan pikiran acuh tak acuh, seolah dunia di sekelilingku hanyalah bayangan kosong. Setiap langkah terasa berat, tetapi aku tidak peduli, hanya ingin terus maju, melewati jejak-jejak yang telah kutinggalkan.
Hewan-hewan magis mulai menyerangku dari segala sisi. Tanpa berpikir panjang, aku menggunakan sihir pemotong, memisahkan kepala mereka dengan presisi yang mematikan.
Hari demi hari berlalu, dan siklus hidup dan mati di hutan ini terus berlanjut. Aku membangun rumah sederhana di antara pepohonan, tempat di mana aku bisa beristirahat setelah menghadapi setiap serangan. Dari sana, aku mengamati rantai makanan yang terjadi di sekelilingku. Melihat hewan-hewan berburu dan diburu, aku merasakan betapa kejamnya kehidupan di dunia ini.
Namun, semakin aku menyaksikan, semakin aku merasa terasing. Pertanyaan mulai muncul dalam pikiranku: Apa arti kehidupan ini? Hidupku terasa seperti putaran balas dendam yang tidak ada habisnya, seolah aku terjebak dalam lingkaran kebencian. Aku menyimpan dendam yang dalam terhadap banyak orang, bahkan melibatkan mereka yang tidak bersalah.
Malam itu, aku terbangun dari tidurku dengan tak nyaman. Mimpiku dipenuhi dengan wajah-wajah orang yang telah aku bunuh, merintih dalam kesedihan. “Apa yang telah aku lakukan?” merasa terjebak dalam bayangan kegelapan yang kutinggalkan. Aku tidak ingin menjadi monster, tetapi setiap tindakan yang kuambil seolah mengubahku menjadi sesuatu yang mengerikan.
Saat aku melihat sekelompok kelinci yang bermain, tiba-tiba seekor ular besar muncul. Tanpa berpikir, aku memotongnya menjadi dua bagian. Namun, ketika darahnya mengalir di tanah, aku merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar kemenangan. Rasa bersalah menyelimuti hatiku ketika kelinci-kelinci itu berlari ketakutan.
Aku tak bisa lagi menahan pikiran ini. Apa yang aku cari? Kedamaian? Atau sesuatu yang lebih dalam dari itu? Aku merasa terjebak dalam lingkaran tanpa akhir, dan kini, aku mulai meragukan jalanku. “Dendam… apakah ini semua demi sesuatu yang lebih besar?” bisikku, merasakan betapa hampa dan kosongnya hatiku.
Aku tahu aku harus mengubah cara pandangku. Aku tidak ingin lagi hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Aku ingin hidup untuk sesuatu yang lebih berarti, untuk mengejar keinginan yang masih ada di dunia ini. Aku harus melepaskan beban yang selama ini membebani diriku.
----
Aku terus melangkah melalui hutan, tetapi setiap langkah terasa semakin berat. Suara angin yang berdesir di antara pepohonan seolah menertawakan kesedihanku, mengingatkanku pada semua tindakan kejam yang pernah kulakukan. Setiap napas yang kuambil dipenuhi dengan rasa bersalah, dan aku merasa terjebak dalam jerat pikiranku sendiri.
Malam itu, saat aku duduk sendirian di tepi sungai, kenangan akan setiap nyawa yang kuambil kembali menerpa. Wajah penyihir yang telah aku bunuh kembali muncul dalam bayanganku, menatapku dengan mata penuh ketakutan. "Ini mengerikan..."
Rasa sakit itu menggerogoti jiwaku. Setiap kali aku menutup mata, aku melihat mereka—kelinci kecil yang bergetar ketakutan, serigala yang melolong dalam kesakitan. Aku tidak hanya membunuh mereka, aku telah menghancurkan kehidupan yang seharusnya bisa bahagia. "Sungguh orang yang jahat, bukan?"
Kegelapan semakin menyelimuti pikiranku. Dalam keheningan malam, aku merasakan sesak di dadaku, seolah-olah semua beban masa lalu menumpuk di atas bahuku.
Apakah aku layak untuk hidup? Apakah ada tempat untukku di dunia ini setelah semua yang telah kulakukan demi dendam dan kedamaian dunia ini? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantuiku, mengoyak rasa percaya diriku menjadi serpihan-serpihan kecil.

KAMU SEDANG MEMBACA
Astrydia
FantasiaRaia Astrydia sang penyihir legendaris yang konon mampu menundukkan dunia manusia, tiba-tiba menghilang 500 tahun yang lalu setelah menyerang kerajaan di dunia bawah. Hingga kini, tak ada yang tahu pasti nasib Raia. 500 tahun kemudian, seorang pemud...