[[ Selamat Membaca ]]
Aku membuka mataku, cukup samar dan pusing masih terasa begitu menyiksa kepalaku.
"Apa yang terjadi?" (Namakamu) berusaha duduk dan mereka membantunya karena (Namakamu) masih sangat lemah
"Kau pingsan, apa yang kau rasakan? Apa perlu papa panggilkan dokter?"
(Namakamu) melihat infuse dipunggung tangan kirinya. Sebegitu repotkah? Aku hanya pingsan.
"Tidak hanya pingsan, kau kekurangan cairan di tubuhmu (Namakamu)."
"Iqbaal" (Namakamu) bergumam pelan dan tatapan mereka menunjukkan jika ada sesuatu yang buruk disini.
"Sepertinya dia butuh waktu untuk sendiri. Operasinya berjalan lancar hanya saja ketika dia sadar dia hanya terdiam dengan tatapan kosongnya. Bahkan ketika Papa sapa pun dia hanya terdiam. Dan kita kira, memberinya waktu untuk sendiri itu lebih baik"
Kernyitan (Namakamu) terlihat begitu dalam dan pusing terasa lagi di pelipisnya. Tapi (Namakamu) menghadang dengan kasar seseorang yang berusaha menolongnya, bahkan Alana sekalipun.
"Jika kalian bisa memberi waktu untuknya, kenapa kalian tidak melakukan hal yang sama kepadaku? Tinggalkan aku" suara (Namakamu) bergetar dan itu berhasil menjatuhkan air mata Alana dan Shalvyn.
"Aku butuh istirahat, tolong pergilah" (Namakamu) menyerongkan badannya membelakangi Alana dan Orang tuanya yang hanya bisa menuruti apa yang dikatakan (Namakamu).
Dan tangisan pedihnya semakin terdengar ketika pintu ruang inapnya sudah menutup dengan rapat.
Ini hal terberat yang aku lalui bersamanya. Tidak. Akan ada hal paling berat nantinya.
Dimana, aku harus berpisah dengannya. Dan mengucapkan selamat tinggal untuknya. Mungkin, dia yang akan mengucapkannya
karena aku rasa aku tidak akan mampu mengucapkan hal itu..
Aku sudah yakin untuk bersamanya, aku sudah yakin jika dia naungan terakhirku, aku sudah yakin dia sandaran terakhirku, aku sudah yakin dia cinta abadiku. Tapi kau berikan jalan liku yang penuh dengan lubang yang menjatuhkan kami dengan luka yang bahkan butuh waktu lama untuk menyembuhkannya, Dan sekarang kau berikan jurang besar bagi kami hingga aku tidak bisa bangkit lagi. Sebegitu tidak setujukah Dirimu untuk kita bisa saling bersama. Jika kita tidak bersama, kenapa kau pertemukan kami dan membiarkan kami saling mencintai?
Aku tahu Kau ciptakan hatiku untuk bisa merasakan indahnya rasa kasih sayang bahkan cinta. Tapi jika pada akhirnya untuk dilukai perlahan seperti ini. apa sesungguhnya Kau menyiksaku dengan perlahan, hingga hatiku hancur begitu saja?
Kernyitan (Namakamu) semakin terlihat ketika cengkraman jemarinya pada besi besi pegangan yang menepel di tembok rumah sakit mencoba untuk membantunya terus bangkit. Pusingnya masih belum hilang, bahkan sesekali (Namakamu) harus terdiam dan menghentikan langkahnya dengan erangan kecilnya yang tertahankan.
"Iqbaal." (Namakamu) terus bergumam lirih dengan matanya yang terus menutup menahan pusingnya. Dan kakinya bergetar hebat menahan berat badannya.
Ruangannya tinggal beberapa pintu saja, ayolah aku mohon jangan bergetar, aku tidak akan bisa sampai disana jika kau terus bergetar, bisakah kau menuruti perkataanku sekarang?
(Namakamu) terus meraih pegangan besi dingin yang dia cengkram dengan tangannya yang penuh keringat. Tekadnya sangat kuat. Meski kenyataan mengatakan dia tak akan mempu menatap matanya yang kosong.
Tangan (Namakamu) bergetar ketika gagang pintu itu sudah berada tepat digenggamannya, ini bisa menjadi yang terakhir dari semuanya atau hasil dari semua perjuangan kita, aku harus bisa melangkah mendekatimu, meski kini mungkin kondisi itu membuat jarak lagi diantara kita.
Perlahan (Namakamu) membuka matanya melihat pintu yang semakin terbuka dengan perlahan, menunjukkan sosok yang tertidur dalam kesakitan, entah fisik maupun bagian terdalamnya. Aku tahu tatapan itu menunjukkan bagaimana perasaannya saat ini.
Air mata (Namakamu) tidak bisa lagi terbendung, meski terus menetes dia berusaha menyembunyikan isakannya meski tenggorokannya sangat sakit menahan semua apa yang dia ingin sampaikan kepada Tuhan saat ini, betapa sakitnya takdir yang diberikan olehnya kepada kami.
(Namakamu) berusaha sekuat tenaganya mendekati keranjang Iqbaal. Banyak alat yang harus berada menjaganya disana, tapi (Namakamu) tahu mata Iqbaal terbuka meski terlihat tidak berkedip menatap langit langit kamar.
(Namakamu) menghembuskan nafasnya mengatur tangisannya untuk bisa bertahan sejenak meski itu sangat tidak masuk akal. (Namakamu) meraih tangan Iqbaal membelainya pelan dengan ibu jarinya. Bisakah hal itu menenangkannya untuk sejenak?
(Namakamu) mengerutkan dahinya semakin dalam dengan air matanya yang terus menetes tanpa henti, cukup sudah pertahanannya untuk menahan isakannya semakin lemah, (Namakamu) menutup bibirnya yang bergetar dengan satu tangannya.
Aku tidak mau menangis didekatnya, aku ingin dia tidak melihatku bersedih dihadapannya, aku tidak ingin terlihat sangat lemah untuk saat ini, aku putuskan lebih baik aku pergi daripada menangis didekatnya. jika memang Tuhan tak berkehendak untukku bersamanya, aku coba untuk ikhlas, aku merelakan jika kau dimiliki wanita lain, wanita yang beruntung bisa hidup selamanya bersamamu. Tapi
(Namakamu) terdiam ketika tangan dingin itu memegang erat pergelangannya, (Namakamu) kembali menolehkan kepalanya, tatapan yang kosong itu menatapnya,
"Iqbaal" (Namakamu) berbalik dengan cepat dan memeluk Iqbaal yang terbaring lemah, mencium keningnya dengan hangat, dan aku tahu dia menutup matanya. Aku harap ini bisa membantunya untuk tenang.
Iqbaal merengkuh punggung (Namakamu) yang bergetar menahan tangisnya, aroma ini...
Iqbaal menutup matanya merasakan bagaimana dia sangat tenang mencium aroma ini, Tuhan izinkan aku sejenak menikmati indahnya ciptaanmu, jika kau tidak mengizinkan aku bersamanya, biarkan waktu berhenti disini. Biarkan aku terus memeluknya seperti ini. biarkan aku merengkuh langitku meski ini memang terakhir kalinya aku bisa merengkuhnya. Hentikan sampai sini, biarkan ini terus terjadi hingga aku meninggalkan semua ini.
"Semua akan baik – baik saja Iqbaal." Bisikan yang terdengar sangat pelan itu mempererat rengkuhan Iqbaal di tubuh (Namakamu).
(Namakamu) terus menatap seseorang yang terbaring lemah didepannya. Dia tahu jika luka itu tidak akan membuatnya selemah ini. Hanya saja hatinya terluka begitu lebar.
Cengkramannya yang masih kuat menggenggam tangan (Namakamu), menunjukkan matanya tertutup hanya simbol tak bermakna. Dia belum tidur.
"Tidurlah, aku disampingmu Iqbaal"
(Namakamu) bergumam pelan dan beranjak mencium lembut kening Iqbaal. Berharap hal kecil itu bisa membuatnya sedikit lebih tenang.
_______________________
-FA
KAMU SEDANG MEMBACA
Angelic (MLA - 2015)
FanfictionAku hanya manusia lemah tak berarti. Langit cukup luas dan aku tak mampu merengkuhnya. Aku hanya ingin menjadi malaikat, yang menjadi kekasih langit. Dan baru kusadari, malaikat tak mampu merengkuh langit. Karna malaikat tak sehebat Tuhan. Ku lihat...