e i g h t.

2.7K 161 7
                                    

Mila memantapkan kakinya, berjalan menuju ruang tunggu kantor laki-laki yang selama ini menjadi 'malaikat salah tempat'-nya. Glenn, adalah orang dibalik istilah tersebut. Malaikat tapi salah tempat. "Harusnya Glenn nggak ngelakuin ini semua," Ucap dewi batin Mila. Ia sesekali melihat ke arah jam tangannya, berharap masih tersisa banyak waktu untuk bisa pergi ke tempat kerjanya.

Beberapa menit berkonflik dengan pikirannya, seorang wanita dengan rambut yang disanggul, menghampiri Mila dengan tersenyum. "Mbak Mila," Panggilnya. Mila refleks membuyarkan lamunannya, kemudian menoleh pada sang empunya suara yang memanggilnya. "Ee--maaf. Jadi gimana?" Tanya Mila.

"Maaf, mbak. Bapak Glenn ternyata tidak masuk hari ini," Jelasnya. Mila membuang napas kecewa.

"Nggak ada yah?"

Wanita itu mengangguk, "Begini saja, mbak. Kalau memang sangat penting, mbak bisa membuat janji lagi dengan Pak Glenn. Mungkin besok Pak Glenn sudah masuk kembali,"

"Ah! Nggak usah, mbak," Mila menggeleng cepat. "Saya mau minta tolong aja sama mbak, boleh?" lanjutnya.

Wanita didepannya mengerutkan keningnya. "Saya?" Tanyanya sambil menunjuk dirinya sendiri. Sedetik kemudian wanita itu mengangguk. "Boleh, mbak," lanjutnya.

Mila membuang napas lega. "Makasih, mbak," Ucapnya tersenyum.

"Balikin sepeda?" Tanya wanita itu saat keduanya kini berada diparkiran sepeda, depan kantor Glenn. Mila mengangguk antusias. "Iya, bisa kan?"

"Ya--tap--tapi kenapa harus dibalikin, mbak?"

"Suatu keharusan, mbak. Dari awal saya emang seharusnya nggak menerima sepeda ini,"

"Tapi--" Wanita itu memutus ucapannya, namun sedetik kemudian membuang napas perlahan. "Yasudah, mbak. Akan saya kembalikan sepeda ini pada Pak Glenn," lanjutnya. Mila mengembangkan senyumnya. "Makasih, mbak," ucapnya.

"Sama-sama, mbak Mila,"

"Kalau begitu saya permisi dulu," Mila meninggalkan pelataran kantor Glenn dengan perasaan lega. Ia sadar. Selama ini ia-lah yang salah. Menerima kedekatannya dengan Glenn, sama dengan neraka untuknya, dan untuk hubungannya dengan suaminya. "Maafin aku, Glenn,"

Kevin memarkirkan mobilnya tepat didepan toko bunga milik Tante-nya. MARGARETH FLOWERS. Billboard yang menandakan bahwa Kevin tidak salah tempat. Setelah beberapa bulan menikah, Kevin tak lagi mengunjungi tempat itu. Terakhir kali berkunjung, saat ia dan Nancy, mamanya memesan bunga untuk persiapan pernikahannya dengan Mila.
Lonceng atas pintu berbunyi saat Kevin memasuki tempat itu. Semerbak wangi bunga memenuhi indra penciuman Kevin. Diliriknya wanita cantik berselisih setahun dengan mamanya itu. Senyumnya terbit melihat Tante-nya yang tengah sibuk menyiram beberapa bunga yang sebentar lagi siap ia panen.
Baru saja ingin menyapa Tante-nya, seseorang tiba-tiba meneriaki namanya.

"KAK KEVIN?!" Kevin yang terkejut, sontak menoleh pada sang empunya suara. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas, menampakkan deretan giginya yang putih dan tersusun rapi.

"Tasya?" Ucapnya. Tak ingin berbasa-basi, gadis SMA nan imut itu berlari menghampiri Kevin, kemudian memeluknya erat.

"Tasya kangen, Kaaakkk!!" Tangisnya pun pecah, membuat Kevin iba sekaligus gemas. Gadis kecilnya masih sangat sangat manja!

U N A B L E (Without Love)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang