t w e n t y o n e

1.6K 60 5
                                        


Mila memasuki kamar dengan perlahan. Langkahnya terhenti melihat Kevin yang tiba-tiba membalik badan menghadap kearahnya. Kevin yang tengah tiduran sambil memainkan ponselnya hanya menatap Mila sesaat, kemudian fokus kembali kearah layar ponselnya. Bola mata Mila bergerak ke bawah dengan kening yang mengernyit. Ia membuang napasnya perlahan, kemudian kembali menatap kearah Kevin yang terlihat tak perduli dengan keberadaannya. Ia membalik badan, meraih tabung panjang hitam berisi gambar-gambarnya, dan mulai melangkah keluar.

"Mau kemana?" Tanya Kevin tiba-tiba. Mila sontak berhenti ditempatnya, sedikit membalik tubuhnya menghadap Kevin.

"Aku tidur dikamar tamu aja, Vin. Aku ada kerjaan yang harus aku selesain skarang. Aku nggak mau nanti gangguin kamu,"

"Oh, yaudah," Dua penggal kata yang tak diharapkan terdengar oleh Mila, keluar mulus dari mulut Kevin.

Mila melanjutkan jalannya, meninggalkan kamar itu, dan turun kebawah, masuk kedalam kamar tamu. Mila meletakkan tabung hitamnya sembarang. Ia kini duduk bersandar dibalik pintu. Mila sedang tak ingin menangis. Ia hanya ingin diam namun enggan meresapi semuanya. Tapi hatinya berbelok dari ekspektasinya. Ia tak tau harus berbuat apa. Kevin terus-terusan membuatnya dalam dilema. Dilema yang membuat Mila tersiksa setiap harinya. Bertahan...atau meninggalkan. Mila masih enggan untuk memutuskan.

Diliriknya tabung hitamnya yang ia letak sembarang didepannya. Semua kerjaannya sudah ia selesaikan sebelum pulang kantor. Tidak ada tuhas yang harus ia kerjakan sekarang. Semuanya semata-mata hanya untuk membiarkan dirinya untuk menyendiri terlebih dahulu. Pikiran Mila masih merekam jelas ucapan Kevin diruang makan tadi. Sakitnya masih lumayan terasa. Lagi-lagi wanita itu membuang napasnya perlahan. Dan, yah...air mata itu kembali meleleh. Mila meringkuk memeluk erat kedua lututnya. Mila menangis. Menangisi dirinya. Menangisi kebodohannya karena sudah mencintai Kevin. Saat itu Mila benar-benar ingin lari dari kenyataan itu. Kenyataan kalau ia sudah menaruh hati pada Kevin. Tapi hatinya sendiri yang menahan dirinya untuk menjauh dari pria itu.

"Hati Mila sakit, ma.." Ucap Mila lirih. Linangan air mata masih terus membasahi wajahnya.  Saat-saat seperti ini, orang yang paling dibutuhkan Mila adalah Aneta. Ia butuh tempat untuk mengadu. Mila makin menunduk. Wanita itu terus menangis, dan akhirnya mulai tertidur ditempatnya selang beberapa saat terlewati.

Cahaya matahari mulai nampak memasuki celah jendela. Hari ini cuaca cerah, membuat siapa saja semangat mengawali harinya. Kevin terlihat menuruni anak tangga. Diliriknya pintu kamar ruang tamu yang tengah dikunci oleh Mila. Wanita itu sudah siap dengan setelan kantornya. Matanya terlihat sembab. Dan Mila tentu tau penyebabnya apa.

"Mata kamu kenapa?" Tanya Kevin terkesan dingin. Tapi yaudahlah, bersyukur masih ditanyain.

Mila tersenyum kecil. "Aku begadang semalam,"

Kevin mengangguk sesaat, kemudian mulai menyantap sarapannya. Sedangkan Mila, efek galau semalam membuatnya kehilangan selera makannya. Lagi-lagi Kevin menoleh kearahnya. "Nggak makan? Kasian bi Nah udah capek-capek nyiapinnya," Kevin melirik bi Nah yang tersenyum sungkan ke arahnya. Bi Nah tidak bodoh mengartikan sikap Mila pagi ini. Semalam setelah bi Nah selesai dengan pekerjaannya, ia hendak meninggalkan ruang tengah dan bersiap untuk tidur. Namun langkahnya terhenti mendengar isak tangis wanita yang tak asing lagi ditelinganya. Ia tau, Mila kembali menangis. Dan ia juga tau siapa penyebabnya.

Bi Nah tersenyum ramah ke arah Mila yang mulai memakan roti lapisnya. "Non Mila mau bibi bikinin apa lagi?"

Mila menggeleng perlahan sembari tersenyum. "Nggak usah, bi makasih. Ini udah cukup kok," Ia kembali memasukkan roti lapis itu kedalam mulutnya. Jujur aja, Mila bener-bener nggak napsu makan. Tapi kasian bi Nah udah nyiapin semuanya, dan Mila malah nggak mau makan. Bukannya nggak enak badan. Mila cuma capek. Iya, capek hati.

U N A B L E (Without Love)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang