"Diam," Adalah satu kata yang Mila ucapkan sedari ia masuk kedalam kamar itu, sampai ia selesai merapikan kamar yang berantakan itu. Kevin benar-benar menghancurkan ruangan itu. Ruangan yang dulunya menjadi saksi bisu ketidakbahagiaan keduanya selama menjadi sepasang suami-istri.
Mila menempatkan dirinya duduk dipinggiran kasur. Ditatapnya Kevin yang sedari tadi hanya diam, enggan untuk bersuara. "Mandi gih," Ucap Mila tersenyum.
Kevin menatap wanita didepannya sesaat, kemudian memejamkan matanya kembali. Entahlah, ia terlalu lelah untuk membuka mata lebih lama saat ini. Kevin hanya ingin meminimalisir cahaya yang masuk kedalam matanya yang mengganggu penglihatannya, dan itu menyebalkan. "Keluar, Mila," Ucap Kevin, namun enggan untuk membuka matanya. Nafasnya naik turun. Lingkaran hitam dibawah matanya begitu terlihat jelas.
"Kevin,"
"Ck, aku udah bilang kelu--"
"Mau kamu apa sebenarnya?" Tukas Mila membuat Kevin menghentikan ucapannya.
Pria itu kembali membuka matanya, menatap Mila yang terlihat kesal menatapnya. "Keluar,"
"Mana surat itu?"
Jari Kevin perlahan naik, membuka laci nakas disampingnya. Tangan itu meraih selembar kertas bermeterai lengkap dengan tanda tangannya disana. Kevin menyerahkan lembaran itu kepada Mila. "Sesuai keinginan kamu," Ucap Kevin pelan. Ia menatap Mila sesaat, kemudian mengalihkan pandangannya.
Dada Mila bergemuruh. Tangisnya hampir pecah. Mila menahan napasnya, menolak gejolak yang mendorong dirinya untuk menumpahkan tangisnya. Mila meraih kertas itu, yang kini sudah ditanda-tangani oleh Kevin. Mila menarik napas, kemudian membuangnya perlahan. Ia menarik senyumnya. "Makasih," Ucapnya sembari menatap Kevin yang kini juga menatapnya dengan tetap enggan untuk menampakkan senyumnya.
"Aku lega sekarang. Nggak akan ada lagi hati yang tersakiti. Kita sama-sama udah milih jalan kita masing-masing. Kamu harus bahagia yah?" Ucap Mila, sembari kedua tangannya meraih kedua tangan Kevin. "Kamu harus bahagia walaupun bukan aku sumbernya," Lanjutnya. Kevin masih terus menatapnya tanpa ekspresi. Mila menoleh kearah pintu, kemudian menatap Kevin kembali. "Ini terakhir kalinya aku ada disini. Aku harap, selama kita udah nggak sama-sama lagi, bukan berarti kita musuhan. Aku mau kita temenan. Kayak dulu," Mila kembali tersenyum. Ia membuang napas perlahan. "Akan sangat menyenangkan kalo Tuhan bisa mempertemukan kita lagi, Vin. Tapi bukan berarti untuk dipersatukan lagi. Nikahin Kimberly yah? Dia bahagia kamu," Mila mengusap pelan bahu Kevin sembari menampakkan senyumannya. "Aku pamit, Kevin," Mila berdiri dari tempatnya, menatap Kevin sesaat, kemudian berjalan mendekat kearah pintu.
"Aku minta maaf, Vin. Memang dari awal kita nggak seharusnya ketemu. Aku mencintai kamu. Dan kehilangan adalah fase tertinggi dalam mencintai kamu," Mila membatin. Dan benar-benar keluar dari kamar itu.
Langkahnya terbawa menuju kearah ruang tamu, dimana terdapat Nania dan Bi Nah disana yang tengah menunggunya. "Non?" Ucap Bi Nah, melihat Mila yang berjalan kearah mereka dengan raut menyedihkan.
Bi Nah menyambut Mila dengan pelukannya. Mila menangis lagi. Surat ditangannya benar-benar membuatnya sesak napas. Kevin sudah menandatanganinya. Dan itu berarti ini adalah kali terakhir ia menginjakkan kaki dirumah ini sebagai seorang istri. Rumah yang memiliki banyak kenangan tentangnya dan Kevin. "Non Mila jaga diri yah?" Ucap Bi Nah dengan air mata yang mulai membasahi wajahnya.
Mila mengangguk, kemudian melepas pelukan itu. "Bibi juga," Mila tersenyum menatap Bi Nah yang juga menatapnya dengan tersenyum. "Mila pamit,"
"Iya. Non Mila janji yah? Non Mila harus bahagia,"
KAMU SEDANG MEMBACA
U N A B L E (Without Love)
RomanceKehilangan adalah fase tertinggi mencintai kamu. U N A B L E (Without Love) a/n : _tezaloffical
