t h i r t y s e v e n

1.1K 99 38
                                        

HAPPY READING!!

Mencintai kamu itu seperti hujan.  Awalnya aku senang, kemudian aku sakit,”

. . . .


Malam ini Jakarta terasa lebih dingin dari biasanya. Mila terus menatap pemandangan jalanan kota Jakarta dari balkon kamarnya. Tidak ada lagi coklat panas. Ia hanya berdiri, dan terus diam. Seolah angin malam tak memberi efek apapun pada tubuhnya. Ia beberapa kali membuang napasnya perlahan. Sudah pukul sembilan malam. Dua jam sudah ia berdiri ditempat itu. Menatap kebawah tanpa tujuan. Tatapannya kosong, namun pikirannya terus berjalan. Seminggu sudah ia lewati setelah kepergian Kevin di Jerman. Mila enggan untuk rapuh. Namun hatinya terus memaksanya untuk mengingat Kevin. Perihal pria itu adalah kehidupannya.

Lagi, Mila membuang napasnya. Entah harus bagaimana lagi ia bisa menyambut hari esok. Ia ingin terlihat biasa saja, dan baik-baik saja. Namun, perasaan memang tak bisa dibohongi. Rindu itu sudah sangat memenuhi hati Mila. Sudah sangat lama ia menjauh, tanpa ia sadari, ia bukan hanya menyakiti hati pria itu, tapi perasaannya sendiri juga. Seperti halnya sebuah boomerang yang ia lempar, ia yang memutuskan, dan ia juga yang terluka. Mila mengepalkan tangannya.

"..aku pergi karena aku sadar. Mencintai sendirian nggak cukup buat aku menjadi lebih baik...,"

Dasar egois. Dia bahkan lupa kalau Mila lah yang merasakan itu lebih dulu. Bertingkah seolah dia yang lebih tersakiti. Mila sangat membencinya, namun disaat bersamaan ia juga mencintai pria itu. Bodoh memang. Ia bahkan bisa jatuh hati secepat itu pada Kevin, pria yang ternyata sudah memiliki seorang tunangan.

Kalau bisa memilih, pilihannya mungkin semoga Tuhan tak pernah mempertemukannya dengan pria itu. Sudah banyak air mata yang ia buang demi memperjuangkan dan menjadikan pria itu seutuhnya miliknya.

Tapi, Mila. Nasi sudah menjadi nasi kuning.

Mau dibegimanain juga ya udah kejadian. Pilihannya cuma satu. Pasrah dengan keadaan. Ikuti saja alurnya seperti apa. Suka dukanya biar menjadi rahasia Tuhan. Manusia ga usah ikut campur. Manusia cuma sebuah ciptaan. Jadi jangan sok keras. Udah enak diciptain, eh malah ngelunjak. Cukup diam, dan ikut aja maunya Tuhan itu kayak gimana. Toh, Tuhan juga nggak mungkin membiarkan umatnya larut dalam kesedihan? Tuhan selalu punya penghiburan, menjadikan yang nggak mungkin menjadi mungkin. Mila dan Kevin perihal sebuah benang kusut yang masih bisa diluruskan. Hanya saja itu tak sekejap mata. Butuh proses agar benang itu benar-benar kembali tertata. Kalau Tuhan mengijinkan, sebesar apapun penghalang antara keduanya, pasti akan terkalahkan juga asalkan mereka mau melibatkan Tuhan dalam masalah mereka.

Mila mendongakkan kepalanya keatas. Teringat dengan ucapan James saat itu. "...Kalau ada masalah, selesaikan masalahnya. Bukan hubungannya...," Kalau mungkin seperti itu, apa ia bisa? Bahkan hanya dengan mengingat masa lalu itu saja sudah membuat wanita itu ingin secepatnya menghilang dari muka bumi. Terlalu sedih untuk dikenangkan, sehingga Mila pun sukar untuk kembali mengiyakan. Bukannya nggak mau. Hanya perlu waktu, dan sedikit (banyak) pertimbangan. Kevin memang sudah menyatakan perasaannya. Tapi yang namanya sudah pernah berbuat, apa iya nggak bakalan lagi mengulangi kesalahan yang sama?

Wanita itu berbalik perlahan, dan melangkah masuk kedalam kamarnya. Entah kenapa suhu Jakarta menurun drastis malam ini. Akhirnya ia benar-benar meninggalkan balkon karena udara dingin semakin menusuk tulang-tulangnya. Dasar Kevin! Mau dia disini atau enggak, tetap aja bikin Mila sakit!

Dengan posisi terlentang, Mila menatap langit-langit kamarnya diatas kasur empuknya. Tatapannya beralih menatap monitor laptopnya, yang memampangkan situs pembelian tiket pesawat. "Seenggaknya kalau bukan karena dia, aku juga punya alasan lain," Gumam Mila. Ia segera menutup matanya, menanti datangnya hari esok.
.
.
.
.
.
Hamburg, Germany
Wijaya's House.

U N A B L E (Without Love)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang