t w o.

3.7K 185 7
                                        

Sudah pukul 1 siang. "Akhirnya,"Batin Mila gembira. Pagi tadi Mila bahkan hanya makan sedikit. Dan sekarang, ia sangat lapar.
Mila melirik ruangan disebelahnya, yang hanya dibatasi oleh sebuah kaca transparan. Kakinya beranjak keluar dari ruangannya, menuju ke ruangan disebelahnya. "Nan, makan siang, yuk!"Ajak Mila antusias. Namun yang dipanggil malah tidak menatapnya. Tatapannya masih sibuk berkutat dengan monitor didepannya.

"Duluan aja deh, Mil. Ini tugas gue masih banyak banget soalnya. Nanti gue nyusul deh,"Ucap Nania sambil masih setia berkutat dengan tugas-tugasnya, mengabaikan sahabatnya yang sudah keroncongan.

"Dih gitu. Bentar doang kok! Emang lo ga laper apa?"

"Mila sayang, kalo perlu lo gue makan skarang juga! Ya jelas gue laper lah. Tapi nih.. Lo liat aja sendiri,"Nania bahkan lelah untuk menatap tumpukan berkas yang terletak disamping keyboard komputernya.

"Tinggalin bentar dulu tugasnya kenapa? Lo nahan-nahan laper, ntar maag lo kambuh lagi, yang susah siapa?"

Nania tak bisa mengelak lagi. Mila benar.

"Yaudah deh. Ada benernya juga ni pipi bakpao,"Nania akhirnya bangkit berdiri, berjalan keluar lebih dulu tanpa melihat ke arah Mila, yang ia tau kini tengah menatapnya kesal.

Kevin baru saja selesai meneguk habis kopinya. Setelah kejadian semalam, saat ia akhirnya harus tertidur di kantor tanpa ia ketahui, membuat Kevin sedikit mengurangi beban kerjanya. Memang, Kevin sangat mencintai pekerjaannya. Totalitasnya saat bekerja, membuat Kevin bekerja di atas batas wajar kemampuannya, sampai-sampai membuatnya sangat kelelahan.
Ya, ini salah satu faktor penyebab dimana Mila seolah tak pernah terlihat, ataupun terlintas dipikirannya.

"Jadi gimana, Mil?"Tanya Nania, sambil kemudian memasukkan bakso ke dalam mulutnya.

"Gimana apanya?"

Nania tersenyum miring. Bola matanya memutar malas. "Gak usah sok polos. Lo pasti tau kan gue nanyain apaan? Udah deh, Mil. Jangan lo tutup-tutupin lagi,"

Mila terdiam sambil mengunyah makanannya. Air mukanya berubah, memperlihatkan 'lelah'-nya Mila selama ini. "Masih sama, Nan. Nggak ada yang berubah,"Mila tersenyum pahit. Ia kembali mengunyah pangsitnya, sambil mengaduk pelan es jeruknya.

"Terus mau sampe kapan, Mil? Yakin lo mau bertahan?"

Mila menghentikan aktifitasnya. Matanya menatap mata Nania yang kini juga tengah menatapnya. Mila menggeleng. "Gue nggak tau, dan sama skali nggak mau tau. Tuhan udah kasih gue seseorang yang Dia pilih untuk menjadi pendamping gue. Dan itu Kevin. Sangat-sangat nggak tau dirinya gue, kalo harus ninggalin Kevin yang jelas-jelas dikasih Tuhan buat gue,"

"Kalo benar Tuhan ngirimin Kevin buat jadi pendamping hidup lo, skarang lo jelasin sama gue, lo pernah nggak di anggep seenggaknya sedikit aja sama Kevin?"Ucap Nania disertai dengan pertanyaan yang penuh penekanan disetiap ucapannya, yang akhirnya membuat Mila tertohok. Mila mengerutkan dahinya. Kali ini ia hanya diam, sambil meresapi perang konflik antara ia dengan batinnya sendiri.

"Kenapa diam? Habis jawaban?"Nania kembali tersenyum miring. "Skarang lo liat gue, Mil,"

Mila menoleh. "Lepasin, Kevin,"Ucap Nania perlahan.

"NANIA CUKUP!"Mata Mila membulat sempurna. Sorot matanya menggambarkan kilat kemarahannya. Nania yang biasanya merinding dengan tatapan itu, kini hanya tertawa kecil sambil memandang Mila dengan remehnya.

"Cih! Segitu cintanya lo sama suami lo yang jelas-jelas nggak pernah sedikitpun cinta sama lo?! C'mon, Mila! Open your eyes! Masih banyak Kevin di dunia ini yang lebih bisa cinta dan bahagiain lo!"

U N A B L E (Without Love)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang