t h i r t y f i v e

854 82 20
                                        

HAPPY READING!

“Titik terlelah mencintai itu adalah ketika seseorang memohon kepada Tuhan. Namun bukan lagi tentang ingin memiliki, melainkan agar Tuhan melapangkan hatinya untuk mengikhlaskan” - patahan.ranting

. . . .

Aurel melambaikan tangannya saat mobil Kevin mulai menjauh dari pelataran rumahnya. Pria itu benar-benar menepati janjinya dengan mengantar Aurel pulang kerumahnya. Sebenarnya, kalau boleh jujur, Kevin adalah pria pertama yang memperlakukannya seperti ini. Dia berbeda. Aurel bisa melihat itu. Dan tanpa ia sadari, rasa itu mulai tumbuh dalam dirinya. Aurel menolak kalau ia menyukai Kevin. Hanya saja, ia kagum. Kagum dengan cara Kevin memperlakukan seorang wanita. Persetan dengan siapapun itu. Ia bahkan membuat Aurel lupa diri, kalau ia hanya seorang asisten, yang hanya memiliki hubungan formal dan profesionalitas dengannya. Entah akan sampai kapan rasa ini akan terus tumbuh. Aurel bahkan tak memantaskan dirinya untuk menjadi pilihan seorang Kevin Wijaya. Aurel membuang napasnya perlahan. Wanita itu berbalik, dan langsung masuk kedalam rumahnya.

Kevin menepikan mobilnya tepat didepan sebuah toko yang sudah tutup. Pria itu hanya diam menatap stir mobilnya. Hari ini adalah kali kedua pertemuannya dengan Mila setelah satu tahun lamanya tak saling bertemu. Kevin mengambil sesuatu dari dalam laci mobilnya. Kotak bening berisi benda kecil berbentuk lingkaran. Kevin bahkan tak perduli seberapa mahal kilauan berlian yang terpasang pada sepanjang keliling benda kecil itu. Rasanya tak ada artinya kalau sebuah cincin bahkan tak memiliki pasangannya lagi. Kevin menatap kearah samping. Jalanan terlihat sepi. Ia membuka jendela disampingnya. Ia bahkan hampir melempar keluar kotak cincin itu. Tapi ia kembali mengurungkan niatnya, dan membawa kotak kecil itu kembali berada didalam laci. "Jangan gila, Vin," Gumamnya pelan. Kevin kembali menjalankan mobilnya menuju ke rumah. Hari ini terasa lelah dari yang sebelumnya. Bahkan hanya dengan menikmati makan malamnya, Kevin hilang gairah. Pria itu memilih untuk tetap diam dikamarnya, memejamkan matanya, berharap agar malam ini menjadi lebih panjang dari biasanya. Setidaknya sampai ia benar-benar siap untuk melepaskan.
.
.
.
.
.
Dengan langkah terburu-buru, Mila memasuki ruangan  James yang berbeda lantai dengan ruangannya. Pagi ini ia dipanggil James karena ada satu hal yang ingin ia tanyakan pada wanita itu.

"Silahkan duduk," Ucap James.

Mila mengangguk, dan segera menempati tempat duduk disampingnya. "Ada apa ya, Ko?" Tanya Mila.

James melepaskan kaca matanya, dan melipat kedua tangannya kedepan. Tatapannya fokus pada Mila yang kini juga tengah menatapnya. James menarik napasnya, dan membuangnya perlahan. "Ahh, begini, Mila. Saya minta maaf sudah mengganggu waktu kamu. Sebenarnya ada satu hal yang penting dan harus saya tanyakan pada kamu,"

"Penting? A-apa, Ko? Saya bikin kesalahan yah?" Mila menatap James cemas.

James menggeleng. "Em, bukan gitu, Mila. Ini tentang...emm gini. Bukannya saya mau mencampuri urusan pribadi kamu, ya? Saya benar-benar nggak bermaksud. Jadi gini, saya hanya mau memastikan. Apa benar, kamu ini...istrinya Pak Kevin client kita?"

Mila mengedipkan kedua matanya. Bibirnya seketika kelu untuk bersuara.

"Em, M-mila. Kalau pun kamu nggak mau jawab, nggak papa. Saya seharusnya nggak pantas menanyakan ini ke kamu," James terlihat tak enak. "Yasudah, kamu bisa kembali ke ruang--"

"Pak," Ucap Mila. Ia menunduk sebentar, sembari membuang napasnya. Kepalanya mengangguk pelan, membenarkan pertanyaan James barusan.

U N A B L E (Without Love)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang