t h i r t y o n e

901 73 10
                                        


Langit malam semakin pekat. suara gemuruh terdengar saling bergantian diatas sana. Sebentar lagi hujan turun. Menemani Kevin dengan segala upayanya berusaha untuk menuju ke Bandung dengan mobilnya. Tak mungkin untuknya memesan tiket pesawat saat ini. Dan akhirnya, jalur darat menjadi pilihan satu-satunya untuknya. Diliriknya sesaat Kim yang kini duduk dijok belakang, dengan Mita disampingnya. Bukannya ingin memperkeruh suasana. Kevin hanya berpikir untuk segera menuntaskan semuanya, seperti apa kata Kim tadi. Kevin sadar, seberapa tinggi dan besar tembok keegoisan yang ia bangun, perlahan bisa runtuh juga dengan fakta bahwa ia mencintai Mila. Kali ini ia benar-benar mencintai wanita itu. Ia mengkhawatirkan keadaannya. Dan itu membuat Kevin merasa sangat bodoh. Kenapa ego berperan sangat besar dalam dirinya.

"Kalo ngantuk tidur aja. Perjalanan masih jauh," Ucap Kevin. Kedua wanita dibelakangnya menggeleng.

"Apa nggak sebaiknya gue aja yang nyetir, Vin? Gue tau lo lagi kalut skarang. Takutnya malah kita yang kenapa-kenapa nanti," Ucap Mita. Kim menyikut Mita pelan. "Jangan aneh-aneh deh. Trus yang temenin gue disini siapa?" Bisik Kim.

"Nggak papa, Mit. Gue usahain kita sampai dengan selamat," Balas Kevin. Kevin tau persis Kim orangnya seperti apa. Iya tak mau duduk sendiri. Apalagi di jok belakang.

Perjalanan semakin melelahkan. Kim dan Mita perlahan mulai terbawa alam bawah sadar mereka. Meninggalkan Kevin yang masih tersesat dengan pikirannya.

"MILA SAKIT, KEVIN!"

Entahlah. Batin Kevin terusik mendengar perkataan Liana tadi. Mila sakit. Tapi sakit apa? Demam? Tapi kenapa Mamanya terdengar secemas itu? Kevin menggeram tertahan. Membuat Mita dan Kim saling melempar pandang. "Lo kenapa?"

"Nggak papa. Tenggorokan gue rada seret,"

"Gue punya permen. Lo mau nggak?"

Kevin menggeleng. Membuat Kim menganggukan kepalanya. "Jangan mikir yang macem-macem. Gue yakin Mila baik-baik aja," Ucap Kim, berusaha menenangkan Kevin yang jelas terlihat gelisah ditempatnya. Ada secuil rasa sakit melihat bagaimana Kevin yang begitu mengkhawatirkan Mila. Tapi toh dia juga bukan siapa-siapa Kevin lagi. Yang berhak atas pria itu adalah Mila. Ya, Mila. Kim bukan lagi wanita pemilik kunci hati Kevin. Hati yang dulunya sepenuhnya Kevin serahkan untuknya, namun tidak lagi saat ini. Mila berhasil mengambil kunci yang memang sudah semestinya dipegang olehnya.

Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Kevin berusaha untuk tetap terjaga agar pandangannya fokus pada jalanan didepannya. Tinggal tersisa beberapa menit lagi, dan akhirnya ia sampai kerumah Mila. Rasa tak sabarnya untuk melihat wanita itu sudah sangat memuncak. Tak bisa menunggu lama lagi untuk nelihat wanita yang membuatnya sadar kepada siapa hatinya harus berlabuh.

"Nanti pas nyampe, baiknya kita gimana, Vin? Takutnya pas kita masuknya barengan sama lo, Mila malah makin drop," Ucap Mita. Kim melihatnya sesaat, kemudian menunduk. "Mita bener, Vin. Gue nggak mau--" Bibir itu bergetar, seolah kelu untuk melanjutkan ucapannya. "Aku cuma nggak mau kamu kehilangan Mila lagi," Lanjutnya. Kini panggilan lo-gue tak lagi terucap dari mulut Kim. Rasanya susah untuk benar-benar menganggap asing pria yang kini duduk didepannya sembari menatap kearahnya. Kenangan keduanya sudah sangat membekas, dan enggan Kim lupakan. Entahlah, Kim hanya ingin menyimpan memori indahnya. Hanya memori. Tidak dengan raga dan hatinya.

"Percaya sama aku, Kim. Semuanya akan baik-baik saja," Ucapan terakhir Kevin sedari masih dalam perjalanan, sampai akhirnya mereka tiba tepat didepan rumah Mila. Ketiganya turun berbarengan, kompak menatap rumah didepan mereka. "Kita datang kemari dengan niat baik. Jadi kamu nggak perlu takut. Tetap ikuti kata-kata aku, dan semuanya selesai," Ucap Kevin. Ia mengajak dua wanita dibelakangnya untuk mengikutinya masuk kedalam pelataran rumah.

U N A B L E (Without Love)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang