Sebelum semuanya terjadi..
Moses membanting pintu kamar dengan cukup kencang. Kevin diam mematung ditempatnya dengan kedua tangan yang mengepal erat. Air mata yang ia tahan sedari tadi akhirnya luruh begitu saja. Liana yang melihat bagaimana cara Moses, suaminya memarahi Kevin dengan semurka itu hanya bisa membuang napas perlahan. Wanita berkacamata itu perlahan melangkah mendekati anaknya, kemudian memeluknya pelan. "Kalo ditanya, mama marah apa enggak, mama jelas marah. Mama kecewa. Kecewa dengan apa yang udah kamu lakuin, Vin. Tapi mama nggak bisa menunjukkan itu semua ke kamu. Karna gimanapun juga, kamu itu anak mama. Anak mama sama papa," Liana mengelus pelan rambut Kevin, yang masih setia menunduk.
"Kevin, angkat kepalanya, nak. Lihat disana," Liana menunjuk patung salib yang tertempel pada dinding dibawah plafon kamar Kevin. Pria itu mengangkat kepalanya perlahan, menoleh kearah yang dimaksud Liana, mamanya. Kevin mengerutkan keningnya, bingung.
"Dia, yang disalib itu. Kamu tau kenapa dia berada disana?" Tanya Liana sambil menatap lurus ke arah patung itu. Kevin masih belum paham dengan maksud pembicaraan mamaya.
"Dia disalib untuk nebus dosa kita. Dan kamu, dengan gampangnya kamu mau menjual Tuhan kamu sendiri, Vin? Mama sampai bingung, ini mama yang salah mendidik anak mama, atau gimana? Sependek itu pikiranmu, Vin? Coba kamu pikirin juga perasaan orangtua Kimberly. Semisal dia mutusin untuk ikut kamu, apa nggak sakit hati orangtuanya?" Liana beralih menatap ke arah Kevin yang kembali menundukkan kepalanya.
"Vin, nyari pasangan itu yang bisa bikin imanmu lebih kuat, dan kamu bisa lebih dekat dengan Tuhan. Jangan milih yang rumit, nak. Kimberly, dia anak yang sopan, baik juga. Orangtuanya mendidiknya dengan benar. Dalam didikan mereka itu, mereka menaruh harapan besar untuk Kimberly. Mama minta, supaya kamu nggak merusak harapan orangtuanya, Vin. Masih banyak wanita yang bisa milikin hati kamu. Dan tentu yang seiman. Kamu paham kan?" Liana memperhatikan anaknya yang masih setia menunduk, seolah enggan untuk melihat ke arahnya.
"Mama harap kamu bisa bijaksana dalam mengambil keputusan. Jangan kecewakan kami, Kevin," Wanita itu menepuk pundak Kevin beberapa kali, kemudian beranjak dari tempat itu.
Kevin semakin kuat mengepalkan tangannya. Namun mengingat bagaimana murkanya Moses tadi membuat Kevin melemah. Kepalan itu melonggar. Berganti dengan rasa perih yang seakan menusuk dadanya. Air matanya masih terus mengalir membasahi wajahnya. Kevin berada dalam dilema.
Dilema antara harus memilih dia...atau DIA.
Langit menggelap, menandakan hari sudah hampir malam. Kevin masih betah berada ditempatnya. Moses juga Liana kompak keluar kamar bersama. Pria berkaca mata itu menatap anaknya yang tengah duduk dengan posisi menunduk itu hanya bisa menggelengkan kepalanya. "Dasar anak bodoh!" Umpat Moses pelan, dan hendak menghampiri Kevin. Namun Liana dengan cepat mencegahnya sambil menggeleng ke arah Moses.
"Kenapa, ma? Anak itu memang harus diginiin. Kalo enggak, ngelunjak nantinya. Bikin malu keluarga saja! Susah payah dididik dari kecil, ujung-ujungnya malah ingin menambah dosa orangtuanya," Moses menatap garang ke arah anaknya yang belum menyadari keberadaan mereka.
"Pa, sudah. Justru dengan perlakuan papa yang seperti ini malah akan membuat Kevin tertekan. Bicarakan baik-baik dengan dia. Jangan keras seperti ini. Mama khawatir Kevin akan berpikir pendek sampe akhirnya meninggalkan kita dan imannya," Liana mengelus pelan lengan suaminya yang kini terlihat nampak tengah berpikir. Moses akhirnya membuang napas pelan. Ia menoleh ke arah Liana, kemudian tersenyum dan mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
U N A B L E (Without Love)
RomanceKehilangan adalah fase tertinggi mencintai kamu. U N A B L E (Without Love) a/n : _tezaloffical
