Aku mengeratkan kembali pelukanku pada bantal yang sedang kupeluk. Di depanku, terpampang jelas seseorang yang sudah menemaniku selama beberapa tahun ke belakang, sedang tertawa bersama gadis lain.
Bukan, aku tidak sedang memergokinya selingkuh. Lebih tepatnya, aku harus menerimanya sebagai public figure. Menunggunya setiap hari dengan hati berdebar, dengan rasa khawatir yang berlebihan. Apakah ia akan tetap tersenyum saat bertemu denganku? Bukankah banyak sekali idola yang lebih cantik dari pada aku, apa ia akan tetap tidak berpaling?
Namun akhir-akhir ini kesetiaanku diuji. Banyak acara yang mengharuskannya berhadapan dengan wanita lain, yang lebih baik dari aku. Bukannya aku tidak mengerti, tapi rasa cemburu itu tidak mau pergi dan selalu menghantuiku.
Aku meraba kotak tissue di sebelahku, dan mencari-cari isinya, tidak ada. Menoleh, ternyata sudah habis. Sudah berantakan. Adegan Park Jimin menjadi murid yang menyukai gurunya, terlalu dekat. Terlalu dekat, Jimin.
My Jimin is calling...
Aku menghiraukannya.
Ponsel berwarna hitam milikku terus bergetar, menandakan ia tidak berhenti meneleponku.
"Halo?" Aku berusaha menormalkan suaraku, tentu saja tidak bermanfaat. Suaraku terdengar seperti orang sakit.
Dan di seberang sana ia seperti kesetanan. Bertanya padaku apakah aku baik-baik saja. Bahkan aku tidak bisa menjawab diriku sendiri, apa aku baik-baik saja?
"Aku baik-baik saja, Jimin."
"Suaramu berubah, sayang. Kau benar baik-baik saja?"
"Iya." Dan aku menutup teleponnya. Layar besar dihadapanku terus memutar adegan demi adegan Jimin, Namjoon, dan Hoseok dalam sebuah acara. Aku mengacuhkannya dan pergi keluar dari kamarku.
Berenang bisa menghilangkan semuanya. Tanpa memikirkan waktu yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam, menuju setengah sepuluh, aku melepaskan pakaian luarku dan langsung melompat.
Dingin. Menggigil. Dan beku. Sama seperti perasaanku. Aku tahu sekali itu resiko untuk bersamanya, tapi saat aku menjalaninnya sendiri, aku tidak bisa. Rasanya sakit sekali. Aku mengambil napas panjang dan mulai berenang dari ujung ke ujung. Membiarkan diriku lelah sendiri.
"Sayang?" Apa aku sebegitu memikirkannya hingga aku berhalusinasi ia memanggilku? Tapi aku tidak peduli. Kakiku sudah begitu lelah mendayung tapi aku tetap berenang.
"Sayang, berhentilah!" Pergi, Jimin. Aku tidak membutuhkan suara penenangmu saat ini.
"Sayang, kau kenapa? Ini aku!" Tidak. Kau tidak di sini, kan?
Aku benar-benar berhenti saat seseorang juga ikut masuk ke dalam kolam renang ini. Jimin. Jiminku. Dengan baju lengkap, ia begitu saja menceburkan dirinya dan memelukku.
"Kau kenapa, sayang?" Aku menatapnya, matanya masih sama. Memancarkan keteduhan dan penuh cinta. Aku menggeleng dan memeluknya. Mengeluarkan semuanya hanya dengan tangis.
"Sssh," ia menciumi puncak kepalaku yang basah dan mengeratkan pelukannya. Pelan-pelan, aku merasakan dingin memasuki diriku. Membuat sendiku nyeri. Bibir bawahku mulai bergetar.
"Jimin," aku mendongak. Ia menatapku dengan pandangan bertanya. Tapi tidak melepaskan pelukannya.
"Make love with me,"
"Now?" Ia menggeleng. "Ayo naik, kau kedinginan. Bibirmu pucat."
Aku kekeuh, dan mengeratkan peganganku pada baju kaosnya yang sudah mencetak penuh badannya. "Please, i need you."
Seketika bibir kenyal Jimin menyapaku. Memberikan kehangatan pada sekujur tubuhku. Aku mengalungkan tanganku pada lehernya. "Cepat,"
Tanpa membuang waktu ia merobek dalaman bawahku dan memasukkan jarinya ke dalamku. Aku mendongak. Bintang-bintang di langit bertebaran hari ini, jauh sekali berbeda dengan dalam diriku. Tangan Jimin terus bergerak, begitu pula air mataku yang terus berjatuhan.
"Langsung saja, Jimin."
Tanpa melepas bajunya, ia membuka celana panjangnya dan memasukkan miliknya ke dalamku. Merasakan kehangatan di dalamku. Aku memeluknya selagi ia bergerak.
"Jimin..."
"Sayang..." Aku memeluknya dan menangis. Ia milikku kan? Dan selalu begitu, benar kan?
Ia bergerak lebih cepat, membuatku juga berpacu untuk mengalami kenikmatan duniawi. "Jimin, lebih cepat..."
Kami terus beradu di bawah sinar bulan dan bintang, di dalam air yang sungguh dingin, tapi siapa yang peduli? Ia menggigit bahuku lumayan keras, menandakan ia akan sampai sebentar lagi. Dan akhirnya kami sama-sama mengisi.
Aku kembali menatapnya, dengan mata memerah, aku tahu itu. Wajahnya sungguh khawatir. "Jimin?"
"Sayang, bisa kau ceritakan padaku apa yang terjadi?"
"Berjanjilah padaku, biarpun kau bertemu gadis lain yang jauh lebih sempurna dari pada aku, berjanjilah kau akan tetap bersamaku."
Ia menatapku dengan bingung tapi menautkan jari kelingkingnya pada jari kelingkingku yang sudah menunggu janjinya.
"Apa kau benar menikmati adeganmu di Star King?" Aku menggigit bibirku. Tidak ingin mendengar jawabannya tapi aku ingin sekali mengetahuinya.
Ia tersenyum. Dan mencium hidungku pelan. "Tidak. Aku memikirkanmu saat itu, aku menganggapnya adalah dirimu." Aku mengangguk dan memeluknya, lega sekali.
"Sayang, jangan menyiksa dirimu seperti ini hanya karena aku, janji? Karena kau tidak pantas menangisi hal seperti itu, i love you."
"Me too," Jimin menggendongku menepi dan membungkus tubuh kami berdua dengan handuk lebar yang aku taruh tadi di pinggiran kolam.
"Let's cuddle?" Aku mengangguk.
--
galau gak sih? gegara star king rese :)
aku boleh minta tolong ga vote character aku di leggeo 's Girls 18! Namanya Alexandra Im, click profilenya dan vote, vote yha Alexandra-nya, Alexandra aja he he he makasih❤️ KALO DI VOTE BESOK JIN SMUT KELUAR😘😘
anyway aku galau banget nonton star king😭
KAMU SEDANG MEMBACA
WILDEST DREAMS
FanfictionTell me the truth, You like him because he can dance, sing, handsome, cute, kind. But, A part of you like him because he's sexy. That's why sometimes you can't handle your own brain, Let your imagination fly, Dream wildly. cover by sass...
