Chapter 2: Don't!

13K 819 24
                                    

"Hoam... enaknya tidur siang, badanku jadi segar lagi, lumayan... isi ulang energi,"

Kataku seraya mendirikan badanku sehabis berbaring di bawah sinar matahari dan ditiupi angin sepoi-sepoi. Biasanya ketika kita berdiri di bawah sinar matahari, akan ada bayangan yang terbentuk. Untuk mengisi keisenganku, aku mencoba mencari bayanganku. Saat aku menemukan bayanganku, entah kenapa bayangan itu tidak membentuk diriku. Bukankah bayangan seperti cermin yang memantulkan gambar yang sama? Tapi kejadianku berbeda. Bayanganku lebih berbentuk seperti orang yang memakai kerudung, bukan, seperti memakai jubah berkerudung.

"Um... ini bayanganku gak sih? Kok pake jubah segala? Ah, masa sih... kok bentuknya kayak di mimpiku? Jangan-jangan aku masih bermimpi,"

Aku pun sesekali menggosok kedua mataku, tapi tetap saja tidak ada yang berubah. Bayangan itu, seperti menghadap ke arahku dan tidak bergerak sama sekali. Padahal daritadi aku banyak bergerak ingin men-tes apakah benar itu bayanganku. Dan ternyata benar, itu bukan bayanganku.

"Lalu, bayangan siapa? Masa di belakangku ada orang, kan gak mungkin. Di belakangku cuma ada pagar pembatas. Lagipula di lantai ini, hanya ada aku seorang diri,"

Badanku mulai merinding sedikit demi sedikit. Keringatku juga mulai bercucuran. Aku serasa tidak bisa bergerak dari tempat itu.

"Wah! Memang gak bisa gerak. Duh' gimana nih? Aku takut..."

Ketakutan mulai menjadi-jadi ketika bayangan itu mulai bergerak. Tangannya mulai terangkat seperti sedang ingin menunjukkan arah. Aku pun melihat ke arah yang ia tunjukkan.

"Apa? Itu 'kan gedung yang sudah tidak dipakai lagi, untuk apa..."

Kalimatku terpotong oleh indahnya aurora yang berada di atas gedung itu.

"Eh tunggu! Ini bukan kutub utara ataupun selatan. Masa ada aurora di musim semi gini sih?"

Keherananku pun menjadi-jadi ketika banyak sekali burung gagak mengelilingiku. Aku lalu melihat bayangan itu lagi, dan ternyata bayangan itu langsung menghadap ke arahku. Ketika aku berhadapan dengan bayangan itu, aku mendengar suara.

"Pergilah ke gedung itu. Ada seseorang yang menantimu di atas gedung itu. Ikuti raja gagak. Ia akan menuntunmu ke tempat itu."

Setelah aku mendengar kata-katanya, bayangan itu langsung menghilang dan kembali membentuk bayangan diriku. Apa yang dikatakan oleh bayangan itu pada awalnya aku tidak percaya. Namun, ketika aku berpikir kedua kalinya, aku memutuskan untuk mengikuti apa yang dikatakannya. Lalu aku mencari gagak yang dimaksud untuk membantuku.

"Raja gagak? Yang mana? Lagi pula banyak sekali gagaknya. Raja gagak juga gak mungkin pake mahkota, 'kan?"

Ketika aku bingung mencari yang mana gagak yang dimaksud, aku mendengar suara lagi, tapi terdengar samar.

"Yang paling besar dan tinggi,"
"Yang paling besar dan tinggi?" Pikirku.

Aku pun mencari sekali lagi, dan akhirnya ketemu. Dia bertengger di atas pohon yang searah dengan gedung itu. Aku yakin gagak itu daritadi sedang menungguku dan tertawa melihatku kebingungan mencarinya.

Aku pun bergegas berlari ke gedung itu sebelum bel masuk kelas berbunyi. Entah apa yang dimaksud dengan seseorang sedang menungguku, aku tetap menghampirinya. Entah itu berbahaya atau tidak, demi memuaskan keingintahuanku, aku memilih untuk mengambil resikonya. Walaupun itu menyangkut nyawaku sendiri.

Sesampainya di gedung itu, aku sama sekali tidak melihat siapapun menungguku. Aku tahu kalau ini mungkin hanya jebakan atau keisengan seseorang. Tapi apa mungkin bayangan yang segitu nyatanya, mengatakan hal yang iseng ataupun dibuat-dibuat.

"Kupikir itu hantu... iii...serem..."

Aku lalu melihat ke sekitarku lagi, apakah benar ada seseorang di tempat itu. Dan ketika aku menengok ke atas.

"Hm? Kok seperti anak kecil ya? Eh? Astaga! Beneran itu! Dia mau ngapain berdiri di tepi bangunan?! Jangan-jangan mau bunuh diri! Ooo jangan sampai, kalau iya, bisa aku yang jadi tersangka. Aku harus segera ke atas sana!"

Tak kusangka akan menemukan seorang gadis, yang sepertinya ingin mengakhiri hidupnya di bangunan tua itu. Aku pikir kalau dia mati disitu, dan masih memiliki penyesalan, dia mungkin akan menjadi hantu yang bergentayangan.

"Kesannya kok malah tambah horor sih?! Ini fantasy woy! Jangan ditambah horor segala, ngeri tahu..." pikirku.

Sesampainya aku ke lantai atas, segera aku menghentikan gadis itu.

"Tolong kumohon, jangan lompat, 'kay? Kau akan menyia-nyiakan hidup yang dikasih Tuhan loh. Jangan lompat ya, masa depanmu masih cerah, jangan dibuang."
"Sudah terlambat, aku sudah memutuskan ini sejak dulu," #lompat
"Jangan!!!"

Tanpa sadar aku berlari untuk mencoba menggapai tangannya. Selagi aku menolong, mataku terpejam beberapa menit. Kemudian aku pun membuka mataku lagi. Tanpa sadar, aku menyanggakan tanganku di tiang dan menahan gadis itu dari kejatuhan. Sayangnya, badanku juga ikut terjatuh dan sekarang kami berdua bertumpu pada tanganku yang tidak tahu seberapa tahan kah agar kami tidak terjatuh. Kini aku hanya bisa berdoa dan berharap ada yang memberi pertolongan kepada kami.

"Oh God, tolong kami. Aku masih punya tujuan hidup. Aku gak mau mati duluan. My God, tolong kirimkan seseorang kesini untuk bantu kami, kumohon!"

Setelah aku berdoa, tiba-tiba seseorang memanggil dari lantai atas kami.

"Gisella!!! Bertahanlah!"
"Gisella?" Pikirku heran. "Hey! Namaku bukan Gisella, namaku..."
"Apa? Aku bukan memanggilmu, aku memanggil adikku!"
Dan ternyata yang memanggil adalah cowok yang aku temui pagi itu,
"Kau kan?! Cowok monyet pagi tadi! Ngapain kamu disini?! Eh tunggu! Apa? ADIK?!"
"Sttt! Berisik! Ternyata kau si penyihir itu, kupikir kau orang lain! Sudahlah, cepat pegang tanganku!"
"Gadis ini adikmu?! Kenapa gak mirip!"
"Jangan banyak bicara, nanti aku perkenalkan, sekarang yang penting keselamatan kalian itu!"
"By the way, gimana aku megang tanganmu? kedua tanganku full! Yang ada kaminya yang jatuh duluan sebelum aku pegang tanganmu!"
"Tch! cerewet amat! Aku carikan benda yang bisa menggapaimu dulu, jadi bersabarlah!"

15 menit kemudian....

"Fyuh~ akhirnya, jantungku hampir copot~" kataku lega.
"Kalau aku gak datang, mungkin rohmu sudah di atas sana,"
"Woy!"
"By the way, kenapa Gisella bersamamu?"
"Kenapa kau gak tanyakan sendiri ke orangnya 'toh dia adikmu,"
"Aku yakin dia gak mau bicara, anaknya pemalu,"
"Hmm gitu... dia tadi mau coba bunuh diri,"
"Apa?!" Cowok itu langsung terkejut mendengar kalau adiknya mencoba untuk bunuh diri.
"Sudahlah... itu bukan masalahnya sekarang, yang penting dia selamat, 'kan? Lagipula tadi, bisa kau jawab pertanyaanku, gadis ini siapa dan kau siapa?" Tanyaku langsung ke to the point.
"Namaku Uriel Rayfold, dan dia ini Gisella Rayfold, aku pikir kau mengenal kami," katanya sambil merangkul bahu adiknya.
"Mengenal? Nama keluargamu itu... Ah! Kamu keluarganya pak kepala sekolahku?!"
"Tepatnya anaknya," jelasnya.
"Anak? Bukankah anak kepala sekolah menghilang 10 tahun yang lalu, dan waktu itu masih kecil semua?"
"Pasti surat edaran untuk mencari kami sudah keluar, 'kan? Harusnya kalau sudah lihat surat itu, pasti langsung kenal kami,"

Mungkin karena aku jarang keluar kamar, apalagi membaca koran saja malas, makanya untuk sekilas aku tak mengenali lelaki ini. Tapi tak kusangka, orang yang dicari-cari selama 10 tahun ada dihadapanku. Aku langsung mengubah topik pembicaraan kami karena aku tak enak membicarakan hal pribadi mereka.

"Um... ya sudah, hal itu gak usah dipermasalahkan lagi. Ngomong-ngomong kalian tinggal sendiri?"
"Well, ya... di villa tepatnya,"
"Hmm gitu..."

Kami pun berbincang tanpa hentinya. Karena keasyikkan, aku sampai lupa waktu, dan bunyi bel pun berbunyi. Aku bergegas kembali ke sekolah meninggalkan mereka berdua.

"Ternyata berbincang dengannya asyik juga," pikirku sambil sesekali tersenyum.

The Beauty ArchangelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang