"Dimasa sulit seperti ini, kenapa harus terjadi lagi?" Raphael yang selalu ingin melarikan diri dari perang, mulai mengkhawatirkan itu.
"Tunggu, yang kalian maksud petinggi maut, apakah Zehel?" tanyaku.Raphael dan Ramiel saling bertatapan. Kemudian perlahan mereka mengangguk. Dengan wajah cemas, Ramiel mulai meragukanku.
"Kamu, seberapa banyak hal yang kamu lupakan?" tanya Ramiel.
"Aku... Tidak semua, mungkin,"
"Zehel itu, bukannya hanya sekedar petinggi maut, ada julukan lain untuknya yang bahkan lebih ngeri,"Raphael mengernyitkan dahi. Ia tak ingin mengatakannya tapi karena topik ini sudah mengarah ke 'itu', ia tak punya pilihan lain. Ramiel meremas kertas yang sudah ada di depannya. Ia kesal karena ini melibatkan kreatur kegelapan yang paling ia tak ingin temui dan hadapi di waktu perang.
"Memangnya julukan lainnya apa?" ujarku mengambil cangkir teh.
Raphael lagi-lagi bertambah gelisah. Namun ia memberanikan diri untuk mengatakannya.
"Raja..."
"Raja?"
Ramiel menghela napas panjang untuk melanjutkan kalimat Raphael.
"Raja Kematian dan Kesengsaraan."
"...!"Tiba-tiba tubuhku memanas secara menyeluruh. Aku tak tahu darimana asal panas ini, tapi aku mulai benar-benar tak enak badan.
"Dimata Raja Langit, 'ia' adalah seorang petinggi maut. Tapi, dimata Gehenna*, 'ia' seorang Raja kematian dan juga kesengsaraan." Jelas Ramiel yang membuka sebuah buku bertuliskan dalam bahasa Yunani.
"Itu, menurut para manusia yang jatuh ke dalam neraka. Mereka mengatakan telah melihat 'dia' di atas jurang kematian. Dengan membawa sabitnya yang tajam dan lancip, bersiap untuk menusuk dan membunuh siapapun yang ada di depannya." Raphael mulai bersiap untuk berdiri, ingin lari dari topik itu.
"Dia juga membawa cambuk panjang dan tebal untuk mengikat dan mengekang roh-roh yang kabur."
"Ramiel..." Raphael mulai tambah pucat.
"Dia bukan seseorang yang bisa kamu takhlukan hanya dengan sekali tebas. Sekali kamu berhadapan dengannya, tiada kata 'kabur'. Bahkan badanmu akan terasa membeku, kamu tak akan bisa berkutik sedikitpun."
"Ramiel, hentikan..." ujar Raphael.
"Kamu pernah membuat 'ia' murka, ketika kamu membunuh peliharaannya."Bam!!!
"Hentikan Ramiel! Bisakah kamu gak melanjutkan kisah itu lagi, aku sudah muak mendengarnya!"Raphael mulai naik darah saat Ramiel tak henti-hentinya bercerita tentang 'dia' yang ditakuti semua malaikat, kecuali satu. Ia tak kuasa mendengar cerita yang membuat dirinya merasa bersalah karena tak hadir di perang saat itu. Membuat satu malaikat pemberani ini, menanggung semua dengan kedua tangannya. Raphael marah besar sampai tiang-tiang yang ada didalam ruang tersebut retak, gravitasi mulai bergoyah, dan meja yang ia hentakkan tadi rusak berat. Tiba-tiba dari arah pintu, seseorang datang dengan tegasnya dan berteriak.
"Apa yang telah terjadi?!"
Semua menoleh ke Raphael yang berdiri. Aku dan Ramiel tak bisa berkata apa-apa. Kemudian, ia dibawa oleh tentara kerajaan untuk menemui Michael. Terlihat wajah Raphael kecut.
"Tch! Ketemu Michael lagi? Benar-benar menyebalkan,"
"Raphael, maaf. Aku gak sengaja--" ujar Ramiel.Belum sempat mendengar jawaban Raphael, ia sudah meninggalkan ruangan. Ramiel yang menyesal hanya bisa terdiam murung, merasa bersalah.
Tak lama ia mengalihkan topik setelah melihat keluar jendela."Sudah malam, kamu gak pulang?" ujarnya.
"..."
"Jangan bilang kamu lupa rumahmu dimana?"Aku mengangguk. Ramiel menunjukkan ekspresi yang mengatakan "yang benar saja? Hampir semua hal kamu lupakan" lalu ia mulai menghela napas yang lumayan panjang bagiku.
"Ya. Sudahlah aku yang mengantar,"
"Kalau kamu keberatan gak apa kok, aku bisa sendiri,"
"Uriel, kenapa logatmu seperti perempuan?"Oops! Aku lupa kalau aku masih di dalam tubuh Uriel.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Beauty Archangel
Fantasy"Beautiful...but...dangerous, that's me. Aku tidak terlalu suka dengan keadaan disekitarku, mungkin karena aku sudah tahu semuanya, seperti sudah melihat masa depan" Bercerita tentang seorang siswi SMA yang selalu hidup menyendiri. Namun dalam kesen...