"Aku ingin memberitahumu sesuatu tetapi kau harus berjanji tidak akan beritahu siapapun termasuk Ayah dan Ibu, mengerti?"
Nico mengangkat kedua tangannya seperti seorang penjahat yang menyerah ketika ditangkap polisi. "Sejak kapan aku suka membocorkan rahasia burukmu, huh?"
Lara berdecak kesal. Memang selama ini satu-satunya orang yang selalu mendengarkan segala keluh kesal dan rahasia Lara adalah adiknya sendiri, Nico. Hampir semua kelakuan buruk Lara yang jarang diketahui orang lain diketahui oleh Nico hingga seluk beluknya.
Dari sifat dan sikap, Nico memang lebih dewasa dari Lara meskipun usianya terpaut dua tahun lebih muda darinya. Nico adalah orang yang teliti dan to the point, sedangkan Lara sangat teledor dan bertele-tele. Masalah popularitas? Nico lebih terkenal di sekolahnya dengan teorinya di Kelas Filosofi (baca: kelas yang paling dibenci Lara).
Berteman dengan Natasha dan memiliki "jabatan" sebagai kakak kandung Nico sekaligus anak dari Mr. Arletto lantas tidak membuat Lara ikut populer di sekolahnya—dan Lara bukan tipikal orang yang gila akan popularitas.
Seburuk-buruknya Lara, dia tetap kakakku juga, kan? Lagi pula aku tahu sebenarnya dia adalah orang yang baik. Hanya saja terlalu selengean, pikir Nico. Lara memegang kedua bahu Nico dan menatapnya tajam. "Tatap aku, Nick!"
"Oke." Lara melepaskan bahu Nico dan mereka berdua masih saling tatap. "Kemarin saat tes pus—"
"Jangan beritahu siapapun tentang tes pusakamu!" potong Nico dengan cepat dan tegas. "Ada beberapa orang di luar sana yang mungkin saja memiliki niat jahat dengan menyerang pusakamu."
"Tetapi aku percaya padamu, kok."
"Itu peraturannya, Kakak."
"Berhenti memanggilku dengan sebutan 'kakak'! Itu terdengar aneh di telingaku." Tanpa Lara sadari dirinya berteriak, dia menarik napas dan mencoba mengontrol dirinya. "Memangnya kau ingin dipanggil 'adik'?"
Nico bergidik jijik. "Itu terdengar sangat aneh, Lara."
"Dan itu terdengar lebih baik, Nico."
Mereka berdua tersenyum.
"Oke. Kalau begitu saat aku di jalan pulang kemarin, setuju?" Nico mengangguk setuju dan Lara menceritakan tentang kejadian yang menimpanya kemarin; berjalan setengah sadar di kawasan apartement vampir, mimisan, vampir gelandangan, vampir cantik, semuanya tanpa dilebihkan atau dikurangkan.
Mimisan di kampung vampir? Nico menggeleng tidak percaya. Kakakku yang bodoh.
"Menurutmu mengapa Scarlett menolongku?" Lara berbicara bak Mr. Elino, guru di kelas Filosofi yang dibencinya.
"Kau menanyakan teoriku?"
Lara berdiri dari sofa kamar Nico, dia melihat ke luar jendela. "Menurutmu, dia kasihan atau iba atau—"
"Kasihan dan iba itu sama, Lara-yang-pintar," tutur Nico dengan sarkastik.
Lara tidak membalikkan tubuhnya menghadap Nico—menahan malu. "Ya, maksudku, apakah dia iba padaku atau ada motif tersembunyi di baliknya?"
"Mungkin dia memang vampir yang baik, tidak semua vampir suka menghisap darah manusia secara ilegal, tetapi bisa jad—"
"Nico, kemari!" panggil Lara dengan antusias meminta Nico untuk segera menghampirinya; melihat apa yang dilihatnya dari jendela kamar Nico.
Dia yang menanyakan teoriku, dia juga yang memotongnya, pikir Nico dan menatap punggung kakaknya dengan jengkel. Dengan ogah-ogahan dia berdiri dan menghampiri kakaknya yang menurutnya gila.
"Kau lihat?" Lara menunjuk sebuah rumah di seberang rumahnya.
Nico mengangguk. "Rumah keluarga Delovo."
"Apakah kau tidak curiga ada yang salah dari mereka? Lihat, wajah Theo terlihat muram dan kesal." Nico mengamati wajah Theo dangan teliti dan memang benar, dia terlihat sedang tidak baik-baik saja.
"Kemarin aku melihat Natasha yang seperti itu," ujar Lara dengan penuh selidik. "Sikap mereka berdua sangat aneh, kan? Natasha sangat baik padaku, sedangkan Theo sangat cuek dan tak peduli padaku."
"Itu karena Theo menyadari betapa menyebalkannya dirimu," timpal Nico yang langsung dibalas tatapan maut a la Lara Arletta. "Aku hanya mengutarakan teoriku." Nico membela dirinya yang masih jengkel karena Lara memotong jawaban teori miliknya.
"Waktu kecil, Theo sangat baik padaku. Kami pernah berteman, bahkan dulu dia lebih baik dari Natasha."
"Ya, ya, aku tahu."
"Menurutmu, apakah ada yang aneh?"
Nico mengangkat bahunya tidak peduli. Lara menanyakan teorinya lagi dan dia tidak ingin menjawabnya. Nico kembali duduk di atas sofanya untuk bermain playstation.
"Sikap semua orang dapat berubah secara drastis, mungkin kau pernah melakukan kesalahan pada Theo yang tidak kau sadari," sahut Nico, dia tidak dapat menahan dirinya untuk tidak menanggapi pertanyaan Lara.
Aha! Benar juga, tapi apa? Pikir Lara. Dia terus mengamati pergerakan Theo dari balik jendela kamar Nico.
Mata hazelnya membelalak ketika Mrs. Delova keluar rumahnya dan menampar Theo. MENAMPAR THEO! Natasha berdiri di belakang Mrs. Delova dengan tatapan bingung.
Lalu, Theo dan ibunya bertengkar hebat. Lara tidak bisa mendengar apa-apa, tetapi dia menyimpulkan bahwa mereka bertengkar karena Mrs. Delova menampar pipi kanan Theo dan wajah mereka yang sama-sama menunjukkan amarah.
Mrs. Delova kembali masuk ke rumahnya. Natasha masih berdiri di tempat tanpa berkata apa-apa dan hendak menyentuh Theo, namun langsung ditepisnya dan melangkahkan kakinya pergi menjauh dari rumahnya.
"Apa dia sudah gila? Keluar rumah ketika bersalju seperti ini?" tanya Lara entah ditujukan pada siapa dengan suara yang cukup keras, dia berharap Theo dapat mendengarnya. "Aku harus menyusulnya!"
"Tidak!" Nico menahan pintu kamarnya dan menahan Lara yang ingin membukanya untuk menyusul Theo.
"Kenapa kau menghalangiku? Bisa saja Theo ingin bunuh diri!" Lara berteriak tepat di depan wajah Nico yang ekspresinya sudah tidak bisa dijelaskan.
"Kau sedang tidak dapat berpikir jernih, Lara!" suara Nico tak kalah keras dan tegas. "Kau harus istirahat agar bisa melanjutkan tes pusakamu besok, ingat?"
Alasan Nico yang membawa-bawa tes pusaka membuat Lara bungkam. Tidak ada yang diinginkannya selain mengetahui pusakanya.
"Lagi pula." Nico merenggangkan tubuhnya, dia tidak menahan pintunya lagi. "Theo sudah berlatih pusakanya secara profesional selama setahun lebih, mungkin dia sudah mengerti cara menggunakannya dengan baik. Dan kurasa, dia cukup pintar untuk tidak melakukan tindakan bunuh diri karena bertengkar dengan ibunya."
"Sekarang seperti ini," ujar Nico menatap lembut kakaknya. "Sudah berapa kali kau bertengkar dengan Ibu dan membuat hatimu sakit?"
Lara mengingat-ingat berapa kali dia dan Ibunya bertengkar hebat dan menghitungnya dengan jari. Nico memutar bola matanya dan berkata, "Kelamaan." dengan sedikit ketus. "Intinya banyak. Nah, setelah itu kau berniat untuk bunuh diri atau tidak?"
Lara menggeleng dengan cepat. "Tidak," jawabnya dengan mantap. "Aku masih memiliki impian dan keinginan untuk hidup."
Nico tersenyum. "Itu yang mungkin terjadi pada Theo sekarang. Mungkin dia butuh waktu untuk sendiri."
Terlalu banyak kemungkinan, pikir Lara tidak yakin dan sedikt gelisah. Namun, dia mengoba tenang dan percaya pada teori Nico.[]

KAMU SEDANG MEMBACA
Mystique Forest
Ficção Científica[SUDAH DITERBITKAN] Di masa depan, teknologi semakin maju. Para ilmuwan menciptakan penemuan baru yang barangkali dinilai mustahil oleh peradaban manusia terdahulu. Salah satunya adalah manusia yang dapat hidup berdampingan dengan makhluk penghisap...