Melihat tangan gadis pirang itu yang menggenggam pisau bergerak perlahan ke arah perut Lara, Theo, yang baru saja membunuh lima vampir sekaligus dengan cara menghilang, berlari ke arahnya. "LARA!"
Namun, sesuatu telah menghalangi langkahnya. Theo terseret ke belakang dan menjauh. Kejadiannya terjadi begitu cepat, pisau itu hanya berhasil menggores paha Lara yang beruntungnya sempat menghindar.
Lara sontak mundur beberapa langkah seraya merintih kesakitan, dia memegangi pahanya. Merasakan tangannya menyentuh celana jeans-nya yang basah, dia mengangkat tangannya dan cairan merah telah mewarnai tangannya.
Tidak seperti biasanya, Vanessa menjerit yang berhasil menarik perhatian, termasuk para vampir tersisa yang haus darah. Theo mengumpat, dia bangkit dan berlari menghampiri Lara.
Menyadari darah segar mengalir dari paha Lara, para werewolf semakin gencar menyerang para vampir agar mengalihkan perhatiannya. Scarlett bahkan tak segan-segan menghabisi kaumnya sendiri bagaimana pun caranya. Sementera itu, Nico semakin brutal menembaki mereka.
Theo mengumpat kesal pada apapun itu yang menarik tubuhnya, dia kembali bangkit dan dia berhasil menghampiri Lara. Theo mengangkat dagu Lara, keteguhannya runtuh seketika menatap mata Lara yang memancarkan kesakitan.
"Ini akan terasa sedikit sakit." Lara mengangguk dan memejamkan matanya, membiarkan Theo membekukan lukanya agar darahnya tidak terus mengalir.
Belum selesai membekukan luka Lara, sesuatu itu lagi menyeret tubuhnya ke belakang. Seorang gadis berambut coklat berdiri di belakang Lara yang kini terbaring lemah. Gadis itu adalah Claire Lerona, yang menggerakan tubuh Lara ketika Grant muncul memberi kejutan tak terduga.
"Kau pilih, lepaskan saudariku atau kubiarkan dia tewas kehabisan darah? Ups, atau mungkin kubiarkan dia menjadi santapan makan malam untuk vampir?"
Theo mengumpat. Pilihan macam apa itu? Dia memandangi ke sekelilingnya. Jumlah vampir masih lumayan banyak, bahkan seorang werewolf harus melawan dua sampai tiga vampir. Sesekali beberapa vampir melirik Lara dan Theo membenci lirikan mereka.
Vanessa tidak bisa membantu apa-apa selain mencoba merasuki pikiran Claire yang ternyata sulit dijamahnya. Dia beralih mencoba membuat semacam sugesti kepada Lara agar mengurangi rasa sakitnya, tetapi gagal. Keduanya adalah efek samping sebab tenaga dan energinya telah terkuras setelah bertarung dengan Greta yang malah berakhir sia-sia.
Semuanya ada di tangan Theo, dia mengetahui itu sebab dirinya lah yang berada paling dekat dengan Greta dan jelas bahwa pilihan itu ditujukan padanya.
"Pilih sekarang!" Claire menginjak paha Lara yang terluka tanpa sisi kemanusiaan. Jeritan Lara membuat Theo merasa disakiti juga. Luka yang sempat ditutupinya pasti sudah terbuka lagi dan mungkin semakin parah.
Theo mengangguk pasrah. Dia berdiri dan menghampiri Greta yang tersenyum penuh kemenangan di balik mulutnya yang tersumpal bunga tulip. Theo mengambil pisau yang telah membuat luka Lara dari tangan Greta.
Dengan pasrah, dia mulai melepaskan lilitan di kaki Greta. Lalu beranjak pada lilitan di perutnya. Mendapati tatapan mengejek dari mata Greta lantas membuat Theo mendapatkan ide brilian. Tanpa pikir panjang, ditusukannya pisau itu pada perut Greta hingga tak tersisa.
Greta, yang mulutnya tersumpal bunga tulip hanya bisa meraung kesakitan. Sedangkan Claire menatap Theo tidak percaya. Dengan kemampuannya yang dapat menghilang, Theo berlari ke arah Claire.
Claire kelimpungan ketika tubuhnya tiba-tiba terangkat sendiri. Tiba-tiba, Theo muncul dan menatapnya penuh amarah.
Seperti yang dilakukannya pada Natasha, Theo mengarahkan tangannya pada Claire dan mencekik lehernya tanpa ampun. Mudah saja bagi Theo membekukan segala cairan pada tubuhnya hingga tidak berfungsi lagi, termasuk jantungnya yang berdetak.
"Le-lepa-a-as-kan a-aaku!" Suara serak milik Claire keluar dari mulutnya yang terdengar pedih.
Namun, Theo sudah tidak peduli lagi. Membunuh tiga manusia sekaligus dalam satu hari rasanya tidak membuatnya menyesal sedikitpun. Lagipula, memang tidak ada yang perlu disesali, pikirnya mengusir rasa kemanusiaan yang masih terselip di lubuk hatinya.
Lambat laun, suara serak milik Claire yang meminta ampun tidak terdengar lagi. Tubuhnya ambruk seketika. Dengan mata yang melotot, dia terlihat lebih menyeramkan dibandingkan seorang vampir yang mati tanpa kepala.
Theo kembali pada Lara, menariknya ke dalam pelukannya. Lara merasa hangat dan nyaman didekapnya, rasa sakitnya bahkan berkurang sedikit ketika Theo membekukan luka di pahanya.
"Lebih baik?" tanya Theo penuh nada kekhawatiran. Sedangkan Lara hanya membalasnya dengan sebuah anggukan. Theo membantu Lara berdiri dan merangkulnya.
Satu hal yang pasti; yang membuat Lara tidak mempedulikan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya: bahwa Theo-nya yang dulu benar-benar sudah kembali.
°°°
"Kau keparat!"
Mendengar umpatan gadis itu lantas membuat seorang pria yang berdiri membelakanginya tersenyum simpul. Suara guntur yang menggemuruh tidak mengusiknya sama sekali.
Pria itu berbalik dan tersenyum. "Aku tidak pernah melatih seorang pengendali petir."
Gadis itu, sudah pasti adalah Stella Arletta sang Pengendali Petir. Stella tertawa menanggapinya. "Beruntung karena aku tidak sudi dilatih oleh pelatih pusaka sepertimu, Grant Daniello!"
Grant mengusap dagunya, dia melangkah maju. Mendapati gerakan Grant yang mendekatinya membuat Stella ingin mundur beberapa langkah. Namun, niatnya dikuburkannya dalam-dalam karena dia percaya bahwa mundur adalah ciri-ciri seorang pecundang.
Maka dari itu, dia terus diam di tempat, menunggu kata-kata pahit apa lagi yang akan diutarakan seorang Grant Daniello.
"Kau keras kepala, kau tahu."
Stella mengiyakannya dalam hati.
"Dan aku suka orang yang keras kepala."
Stella mengumpat dalam hati.
Grant menatap Stella dalam. "Aku ingin meneliti darah seorang pengendali petir."
"Oh, senang mengetahuinya. Tapi aku tidak akan membiarkan tangan kotormu menyentuh ujung rambutku sekalipun!" Stella menyahut dengan kasar. Dia menghentakan kakinya pada tanah yang langsung disambut oleh suara gemuruh langit.
Nyali Stella sebenarnya menciut begitu mendapati bahwa Grant tidak takut sama sekali; tidak seperti lawan-lawannya sebelumnya yang langsung terlihat ketar-ketir ketika Stella telah menunjukan pusakanya yang mematikan.
Kemudian, Stella terbangun. Dia menyadari siapa yang kini menjadi lawannya; Grant Daniello, seorang pelatih pusaka tersukses di Buitenville, yang melatih Lara dan Theo juga. Sudah pasti Grant mempelajari berbagai jenis pusaka dan apa kelebihan sekaligus kekurangannya. Stella benar-benar harus waspada.
"Kau tidak berniat untuk menyerangku dengan petir-petir kecilmu?" tantang Grant.
Stella terkesiap. Baru saja dia hendak mengangkat tangannya, tiba-tiba tubuhnya terasa seperti disengat listrik dan semuanya menjadi gelap seketika.[]

KAMU SEDANG MEMBACA
Mystique Forest
Ciencia Ficción[SUDAH DITERBITKAN] Di masa depan, teknologi semakin maju. Para ilmuwan menciptakan penemuan baru yang barangkali dinilai mustahil oleh peradaban manusia terdahulu. Salah satunya adalah manusia yang dapat hidup berdampingan dengan makhluk penghisap...