Entah sudah berapa lama mereka bertarung melawan para vampir. Lara, yang tidak diizinkan membantu sama sekali oleh Theo, merasa tangannya sudah gatal. Dia tidak bisa hanya duduk santai di salah satu dahan pohon yang cukup tinggi menyaksikan Theo, Nico, Scarlett, Vanessa--yang keadaannya sudah membaik--, dan para werewolf bertarung mempertaruhkan nyawa mereka.
Ke mana Stella, ya? Pikirnya, mencari sepupunya yang sempat hilang itu.
Pandangan Lara beralih pada Nico, adiknya, yang penampilannya sudah memprihatinkan. Tidak, dia tidak bisa terus-terusan duduk santai. Dia harus membantu, setidaknya membantu adiknya sendiri. Itu yang ada di pikiran Lara, dia tidak mau kehilangan adiknya.
Lara menuruni pohon dengan perlahan, pahanya masih terasa sakit. Ketika sampai di bawah, dia berlari menghampiri Nico dan berdiri di sampingnya.
Nico menoleh dan sedikit terkejut dengan kedatangan kakaknya yang sekarat. "Sedang apa kau di sini?"
"Membantumu. Apa lagi?" Nico memutar kedua bola matanya ketika mendengar jawaban Lara. "Aku meliliti vampirnya, kau yang menembak. Oke?"
"Oke," sahut Nico. Setidaknya, ada semangat membara pada diri kakaknya yang dapat dibanggakannya.
Lara mulai meliliti para vampir yang mengelilinginya secara random. Nico melanjutkannya dengan menembakinya secara random pula. Semuanya terasa begitu cepat, tetapi Lara dan Nico merasa semakin optimis bahwa mereka berdua dapat mengalahkan para vampir.
Theo merasa kelelahan karena tenaganya terkuras ketika menggunakan kemampuan tak kasat matanya. Mencoba menyeimbangkan tubuhnya, kepalanya mendadak terasa pusing. Kesempatan ini diambil oleh seorang vampir yang berdiri di belakangnya. Dengan sekali gerakan, dia mampu menumbangkan Theo.
"Lara, sebaiknya kau membantu Theo!" Nico menunjuk Theo dengan dagunya, Lara mengikuti arah dagu Nico dan satu senapan berhasil membidik vampir yang hendak menyerang Theo. "Cepat!"
Lara berjalan tertatih-tatih ke arah Theo. Dia memegangi pundaknya. "Theo, kau baik-baik sa--"
"Seharusnya kau tetap di sana, Lara!" Lara tersentak mendengar suara Theo meninggi. Menyadari perubahan sorot pada mata Lara lantas membuatnya menurunkan nada suaranya. "Kau masih belum pulih."
"Kau pikir aku akan terus duduk santai di sana menyaksikanmu dan yang lainnya mempertaruhkan nyawa kalian?"
Theo hanya diam mematung. Lara adalah Lara dan dia menyadari itu. "Kau mau membantuku? Aku sedikit kesulitan mengendalikan pusakaku."
Lara menimang-nimang tawaran Theo sebab es dan segala yang dingin adalah kelemahannya. Tidak ada salahnya mencoba, pikirnya sebelum akhirnya dia mengangguk menyetujui.
Theo menyeimbangkan kakinya. Begitu ada seorang vampir datang dengan gerakan yang cepat nan halus, dia berteriak, "Tembak dia!"
Butuh beberapa saat bagi otak Lara untuk mencerna perintah Theo. Lara bersiap, dia mengarahkan tangannya pada tubuh vampir itu dan semburan air muncul entah dari mana. Tidak ingin gagal dalam percobaanya, Theo membekukan airnya yang berujung lancip dan menusuk jantung vampir itu.
"Kita berhasil!" Lara bersorak kegirangan. "Oke, lanjutkan. Ini mengasyikan!"
Theo dan Lara berkolaborasi 'menembaki' para vampir hingga hanya tersisa belasan saja. Mereka berdua, Scarlett, Nico, Vanessa, dan para werewolf bersatu menyerang para vampir sampai titik penghabisan.
"Serumnya!" perintah Nico pada Theo di tengah kepungan vampir yang sudah kalah jumlah.
Theo mengangguk mengerti. Dia menarik lengan Lara dan berlari keluar kepungan dengan mudah menuju tebing di mana bunga franklina berada.
"Masih ingat, 'kan?" Theo memberikan botol serumnya yang untungnya tidak tersentuh Greta dan Claire atau lainnya. "Kau yang memanjat, aku yang akan berjaga."
Lara mengangguk paham seraya menerima botol serum dan mengikatnya pada pinggangnya. Theo mundur beberapa langkah, menyaksikan Lara yang mulai memanjat tebing dibantu pusaka tumbuhannya.
Sedikit lagi Lara berhasil mencapai bunga franklina. Sesekali dia melihat keadaan di bawah, Theo masih berdiri menantinya, sementara keberadaan vampir hanya tersisa enam sampai tujuh lagi.
Lara semakin percaya diri. Theo, orangtuanya, Nico, dan teman-temannya telah menggantungkan kepercayaan pada pundaknya. Satu langkah lagi dan Lara akan menyelamatkan Buitenville.
Napas Lara memburu. Dia mengunci tubuhnya pada tebing agar tidak terjatuh. Dahinya mengkerut melihat bunga franklina yang bergantung di tebing.
Bunga ini tidak terlihat seperti bunga kebanyakan, bunga di hadapannya berukuran lumayan besar dan berwarna putih, terlihat lebih seperti bunga raflessia arnoldi yang albino, pikir Lara. Saat Lara menyentuhnya, dia terkejut merasakan permukaan bunganya yang keras.
Lara mengangkat kelopak bunganya sedikit untuk mencapai akarnya. Yang ada di kepalanya hanyalah kebingungan. Sebenarnya, bunga apa ini? Lara mendapati semacam tombol pada akarnya. Karena penasaran, Lara menekan tombolnya dan bunga franklina membelah diri menjadi dua. Terdapat tabung cair berwarna hijau sepertu botol serum yang berada digenggamannya.
"Cepat berikan serum itu!" Theo berteriak cukup keras agar Lara dapat mendengarnya.
"Ini bukan bunga, Theo. Kau harus melihatnya!" Lara balas berteriak.
"Apa?" Theo tidak mengerti ucapan Lara. Jelas-jelas bahwa itu adalah bunga. Namun, dia tahu Lara tidak sebodoh itu. Theo ikut memanjat tebing dengan bertumpu pada tumbuhan yang meliliti Lara.
Lara merasa tubuhnya goyang, ketika melihat ke bawah, ternyata Theo tengah memanjat ke arahnya. Maka Lara membantunya naik dengan pusakanya.
Setelah Theo berhasil mensejajarkan tubuhnya pada Lara di hadapannya, Lara menunjuk bunga franklina. "Lihat?"
Theo mengerutkan dahinya tidak mengerti. "Terlihat seperti mesin atau semacamnya yang didesain seperti bunga."
"Kau tidak mengingat apapun dari buku itu?" tanya Lara, berharap Theo akan menjawabnya dengan, "Ya. Aku tahu!"
Tetapi, dahi Theo malah mengerut semakin dalam. "Di buku itu hanya tertulis bahwa franklina adalah bunga langka yang dipercaya menjadi sumber adanya pusaka dan cara untuk mengambilalihnya adalah dengan cara menyuntikan serum pada akarnya."
"Bagaimana cara menyuntikan serum pada akarnya sedangkan permukaannya keras?" Lara menggigit bibir bawahnya. Dia menatap botol serum di tangannya. "Lihat botol serum berwarna hijau itu!"
"Kupikir, kita harus mengganti botol serum hijau itu dengan serum biru dari ayahmu."
Lara mengangguk setuju. "Kupikir juga demikian."
Tak ingin membuang-buang waktu, Lara segera mengganti tabung itu dengan botol serumnya. Apapun yang akan terjadi, dia harus siap menerimanya. Theo mengambil tabung hijaunya dan Lara kembali menekan tombolnya, kemudian bunga franklina kembali bersatu dan ...
BOOM!
Tubuh Lara dan Theo terhempas tak jauh dari tebing, termasuk tabung hijaunya yang pecah begitu menghantam tanah. Semuanya mengadahkan kepala mereka ke langit yang berubah menjadi gelap. Lara kembali merasakan tulang-tulang pada tubuhnya remuk. Steve, Hugo, dan para werewolf lainnya berubah wujud menjadi manusia tanpa kemauan mereka.
Samar-samar, Lara melihat sesosok pria muncul dari balik hutan. Dia tertawa miris dan Lara hampir saja pingsan begitu melihat Stella di bawah cengkeraman pria itu.
"Kau baru saja menghancurkan dunia, Arletta."[]

KAMU SEDANG MEMBACA
Mystique Forest
Science Fiction[SUDAH DITERBITKAN] Di masa depan, teknologi semakin maju. Para ilmuwan menciptakan penemuan baru yang barangkali dinilai mustahil oleh peradaban manusia terdahulu. Salah satunya adalah manusia yang dapat hidup berdampingan dengan makhluk penghisap...