#14 Bleeding Heart

29.3K 3.7K 46
                                    

"Lara!"

Lara yang merasa terpanggil menoleh ke belakang dan melihat seorang gadis berambut merah menyala berlari ke arahnya.

"Bisakah kau mengantarkan perban ini ke ruang kesehatan? Aku harus ke ruangan Mr. Hiddlero." Tanpa menunggu respon dari Lara, gadis itu meraih tangan Lara dan memberikannya sebuah gulungan perban tanpa persetujuan dari Lara.

"Siapa, ya, anak itu?" gumam Lara pelan pada dirinya sendiri dan menatap gulungan perban dari gadis yang tidak dikenalnya. "Kok, dia tahu namaku, ya?" Apa aku mengenalnya? Apa aku lupa ingatan? Pikirnya seperti orang yang baru tersadar dari koma panjang dan menyebabkan amnesia.

Lara mengangat bahunya. Masa bodoh. Kemudian, dia berlalu membawa gulungan perban itu ke ruang kesehatan. Selama hidupnya, Lara tidak pernah masuk ke ruangan ini. Pertama, dia tidak pernah terluka atau sakit; kedua, dia juga tidak menyukai bau obat dan darah.

Tentu saja Lara bukanlah petugas kesehetan. Tidak mungkin.

Namun, seorang gadis berambut-merah-nyala memberikan gulungan perban pada Lara secara mendadak dan berlalu begitu saja membuat semuanya berubah.

Lara. Harus. Ke. Ruang. Kesehatan.

Lara melangkahkan kakinya menuju ruang kesehatan yang terletak di ujung lorong 24 Buitenville School dan Lara jarang sekali melewati lorong ini.

"Eh, kau bukan Stephanie? Di mana dia?" Seorang gadis bermata hijau zamrud bertanya pada Lara yang baru saja masuk ke ruang kesehatan dengan mata penuh tatapan selidik.

"Uhm, aku...." Oh, nama anak itu Stephanie, pikir Lara. "Aku Lara Arletta. Stephanie memberiku ini karena dia harus ke ruangan Mr. Hiddlero. Aku–"

"Oh, astaga!" Mata hijau zamrud yang tadinya menunjukkan tatapan selidik kini mencair. Gadis itu menepuk keningnya sendiri. "Sekarang hari Rabu, ya? Aku lupa."

Air wajah Lara berubah dan mengerti bahwa ini tandanya dia akan mendapatkan satu tugas lagi.

"Tolong kau perban anak di balik tirai itu, ya? Aku juga harus ke ruangan Mr. Hiddlero." Seperti Stephanie, gadis bermata hijau zamrud ini juga meninggalkan Lara sendirian di ruang kesehatan. Meninggalkan Lara di ruangan yang dibencinya ini bersama seseorang yang butuh perban.

"Apa-apaan ini?" gerutu Lara kesal memandangi gulungan perban yang digenggamnya. Meskipun demikian, Lara tetap berjalan menuju tirai berwarna putih dan menggesernya ke kanan. "Eh, ternyata kau..."

Theo Delovo, yang duduk di ranjang ruang kesehatan, meringis dengan pelipis yang robek dan mengeluarkan darah. Memandangi Lara dengan pandangan hei-cepat-bantu-aku-kenapa-kau-bengong-di-sana karena bukannya melakukan sesuatu, Lara hanya berdiam kaku dan mulutnya membisu; dia memegangi lehernya secara otomatis karena ngilu dan kedua kakinya menjadi terlalu lemas untuk menopang tubuhnya sendiri.

"Aku tahu kalau kau takut darah." Theo mengambil gulungan perban dari tangan Lara yang tidak memegangi lehernya. "Bisa tolong ambilkan cermin dan hmm.... kapas?" Lara mengangguk kaku. "Oh, obat merah juga."

Lara mengambilkan semua kebutuhan Theo dengan tangan yang bergetar.

Sekarang, Lara tahu mengapa ibunya tidak menyarankan Lara menjadi petugas kesehatan (walaupun Lara bilang bahwa dia ingin membantu orang lain): Lara takut dengan darah dan apa jadinya jika dia menjadi petugas kesehatan, lalu dia hanya berdiam diri dengan wajah pucat memandangi pasiennya yang sedang bersusah payah mengobati dirinya sendiri?

"Maaf, a-aku...."

Theo terus membersihkan lukanya dengan kapas yang diberi cairan sesuatu. "Tidak usah meminta maaf dengan wajah sepucat vampir itu," katanya dengan lembut, namun terdengar kasar di telinga Lara.

Lara menghela napas panjang dan mengambil kapas baru, kemudian memberinya cairan sesuatu. Kemudian, dia menempelkan kapas itu pada pelipis Theo dan membersihkan lukanya dengan perlahan dan hati-hati.

"Ini amanat," ujarnya tegas, dengan sekuat tenaga Lara menahan dirinya sendiri agar tidak pingsan dan menahan perih di lehernya. "Bisakah kau berbaring karena aku pegal harus berjinjit?"

Seandainya Theo tahu betapa susahnya aku untuk mengungkapkannya?

Tanpa berkata apapun, Theo langsung membenarkan posisinya yang tadinya terduduk menjadi terbaring.

Lara menghela napasnya lagi dan lagi, sedangkan Theo memejamkan matanya di saat Lara tengah membersihkan luka sobek di pelipisnya. Kenapa darahnya terus mengalir? Pikir Lara cemas, dia terus melakukan hal yang sama hingga darah tidak keluar dari pelipis Theo lagi. "Selanjutnya apa?"

"Tetesi kapasnya dengan obat merah, lalu...," kata Theo dengan mata yang masih terpejam. "... kau benar-benar tidak tahu cara mengobati luka, ya?"

Lara menggelengkan kepalanya secara spontan dan dia langsung menyadari kalau Theo masih memejamkan matanya sehingga tidak dapat melihatnya. "Tidak."

Tiba-tiba Lara teringat dengan film yang ditontonnya bersama Nico tentang operasi yang membuatnya mogok makan selama 48 jam.

Kapasnya dibaluri obat merah, lalu ditempelkan pada pelipisnya. Ah, bagaimana, ya, cara menjelaskannya? Pikir Lara, dia mengobati Theo sesuai dengan ingatannya akan film yang tidak diketahui judulnya itu.

"Selanjutnya diperban."

"Aku tahu," balas Lara dengan nada sedikit angkuh. Kemudian, dia mengambil gulungan perban dan bilang, "Sekarang, duduk!" Theo membuka matanya dengan cepat dan kembali duduk seperti semula. Lara terpaksa harus berjinjit lagi dan meliliti kepala Theo dengan perban.

Ini berantakan sekali, pikir Lara seraya menahan tawanya karena kepala Theo yang terlihat aneh dengan perban.

Tanpa melihat cermin, Theo langsung mengambil topi dari dalam ranselnya dan memakainya dengan santai.

Sialan, apakah dia telah merencanakan itu?!

Lara tak mau ambil pusing, dia membereskan kapas-kapas yang berubah menjadi warna merah dan membuangnya ke tempat sampah. Dia juga menaruh kembali semua benda yang dipakainya untuk mengobati ke tempatnya semula.

"Theo," panggil Lara dengan hati-hati, dia menyenderkan punggungnya pada lemari obat.

"Hmm?"

"Apa yang sebenarnya terjadi hingga kau berdarah seperti ini?" Lara memegangi lehernya lagi—teringat pada darah Theo yang tidak bisa berhenti mengalir.

"Latihan pusaka," jawab Theo yang membuat Lara mengerutkan keningnya. "Level lanjut dan ini akibatnya, lebih nyata."

Level lanjut adalah istilah yang digunakan untuk menyebut latihan pusaka yang sudah jauh di atas para pemula. Lara baru berlatih sekali, sedangkan Theo sudah setahun lebih. Jadi, dia sudah lumayan menguasainya.

"Sekejam itu, kah?"

"Tergantung pada apa jenis pusakamu." Theo bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah pintu keluar, langkahnya terhenti dan dia berbalik. "Terima kasih. Aku tahu kau berjuang mati-matian agar tidak pingsan."

"Setidaknya, kau berhasil mengalahkan rasa takutmu." tambahnya dengan senyum kecil yang tersungging di bibirnya.[]

***

Lareo moment! Maaf ya kalo kurang dapet feel-nya. Susah banget buatnya...

- With lots of love, Kenza Januzaj👣 #TeamLareo

Mystique ForestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang