Hujan deras perlahan berhenti dan hanya menyisakan gerimis. Puluhan vampir telah hangus menjadi abu setelah tersambar petir oleh Stella yang seperti orang kesetanan. Tidak peduli apakah dia pernah mengenal vampir itu atau tidak, lebih karena dia sudah muak dengan kaum penghisap darah.
Namun, kemuakan Stella tidak berhenti sampai situ saja. Dia masih belum puas sebab petir-petirnya belum menyambar Grant, yang telah menyalahgunakan wewenangnya sebagai pelatih pusaka. Meski demikian, Stella masih belum paham mengapa Grant melakukan ini semua; mengambil alih bunga franklina yang dipercaya menjadi sumber kekacauan di Buitenville.
Setelah memastikan bahwa Scarlett dan pasukan werewolf-nya dapat melawan para vampir, Stella memanjat pohon lebih tinggi--berharap dia dapat menemukan Grant.
°°°
Scarlett sebenarnya membenci situasi ini, di mana dia harus melawan kaumnya sendiri. Namun, dia telah bersumpah akan melakukan apapun, meski nyawa menjadi taruhannya. Toh, aku sudah bosan hidup, pikirnya menghinoptis dirinya sendiri.
"Apa kabar, Scarly?" Seorang vampir pria berdiri di hadapannya dengan senyuman yang cukup menawan hingga membuat setiap kaum hawa meleleh, termasuk Scarlett, dia mengakuinya--pernah mengakuinya.
Ander.
Scarlett mematung, kedua lututnya melemas seketika.
"It's been a long time, isn't it?" Vampir bernama Ander itu mengangkat kedua alisnya, mata biru lautnya menatap Scarlett dalam. "Di mana Violet?"
Lidah Scarlett terlalu kaku untuk menjawab pertanyaan Ander yang lebih terdengar seperti sebuah sindiran.
Seratus tahun yang lalu saat dirinya masih berada di bangku SMA, dia sempat menaksir Ander, begitupun sebaliknya. Namun, rupanya Violet juga menyukai Ander yang membuatnya memilih mengalah. Ander tidak dapat menerima keputusan Scarlett yang malah menjauhinya tanpa sebab, maka dari itu dia memutuskan pergi dari Buitenville, entah ke mana. Scarlett juga tidak tahu.
Dan kini, dia kembali lagi, menjadi orang yang berbeda. Dahulu kala, Ander lah yang mengajarinya bagaimana cara bertahan di sekitar manusia dan berhasil sampai sekarang.
"What happened to you?" Scarlett akhirnya bersuara.
"What happened to me?" Ander tertawa hambar. "Pertanyaan itu lebih cocok ditujukan padamu." Ander melanjutkan, "Setelah satu abad, Scarly. Aku kembali lagi ... untukmu."
"Di waktu yang salah." Scarlett balas menatap tajam mata biru laut milik Ander yang selalu menarik perhatiannya.
Ander menggeleng. "Di waktu yang paling tepat," sanggahnya.
Scarlett terkesiap, dalam sekejap tubuhnya sudah berada di dekapan Ander. Didekap bukan dalam arti yang sebenarnya; kedua tangan Ander sudah melingkar di lehernya dari belakang, siap memisahkan kepala Scarlett dari tubuhnya dengan sekali gerakan.
Kalau saja dirinya masih menjadi seorang manusia, mungkin saat ini Scarlett sudah sesak napas; bukan karena terpesona oleh Ander, melainkan tersiksa. Scarlett memang siap mati untuk umat manusia, tetapi bukan cara yang seperti ini. Rasanya seperti mati sia-sia, pikirnya. Dia ingin memberontak tapi langsung teringat bahwa nyawanya dapat melayang dalam satu gerakan.
Jarak antara wajah Ander dan Scarlett amat dekat. "Kau tahu, aku selalu menginginkan ini," kata Ander. "Daripada berada di dekatmu tetapi kau selalu menghindar, lebih baik aku yang menjauh sekalian."
"Terkadang sakit hati dapat membuat seseorang berubah seratus delapan puluh derajat, termasuk perasaan orang itu sendiri," lanjutnya tetap dalam posisinya. "Aku ingin meminta maaf padamu, tapi sebuah minta maaf rasanya terlalu menyakitkan untuk diucapkan mengingat kata terakhir yang keluar dari mulutmu untuk yang terakhir kalinya adalah 'maaf'."

KAMU SEDANG MEMBACA
Mystique Forest
Science Fiction[SUDAH DITERBITKAN] Di masa depan, teknologi semakin maju. Para ilmuwan menciptakan penemuan baru yang barangkali dinilai mustahil oleh peradaban manusia terdahulu. Salah satunya adalah manusia yang dapat hidup berdampingan dengan makhluk penghisap...