0.1

12.8K 530 9
                                    

Madison's Point of View.

"Madison!"

Aku tersentak dari sofa yang sedang ku duduki begitu aku mendengar teriakan ayahku yang disertai oleh bunyi keras pintu yang menghantam tembok. Aku bisa mendengar langkah kakinya yang semakin terdengar jelas di telingaku. Jantungku berdebar dengan kencang. Apa aku melakukan sebuah kesalahan?

"Madison!"

Aku mendongakkan kepalaku, menatap ayahku yang kini sudah berdiri tepat di depanku. "Apa aku melakukan sesuatu?"

Ia selalu akan marah setiap kali aku melakukan sesuatu yang ia tidak sukai. Ia akan mulai berteriak padaku, membentakku dan bahkan, ia akan mulai menarik rambutku sambil menggiringku ke kamar lalu ia akan mengurungku di dalam kamar seharian.

Hal-hal yang menurutku sepele bisa membuatnya sangat marah. Aku tidak tahu sejak kapan ia mempunyai masalah dalam mengontrol emosinya. Tapi saat ibuku masih ada, ia tak pernah seperti ini. Dulu ia begitu hangat terhadapku.

Ia mencengkram pergelangan tanganku. "Ikut denganku,"

Aku memberontak, namun tentu saja itu tak ada gunanya. "Kemana kau akan membawaku, Dad?"

Ia sama sekali tak menggubris pertanyaanku. Ia hanya menganggap itu sebuah angin lalu. Ia membuka pintu mobilnya, dan mendorong tubuhku agar masuk ke dalam. Aku mulai panik karena ia tak pernah membawaku kemanapun semenjak kematian ibuku. Kemana ia akan membawaku?

"Kita akan pergi kemana?" Tanyaku, setelah ia masuk ke dalam mobil.

Ia tetap diam. Ia hanya menatap jalanan yang gelap di depannya sebelum menjalankan mobilnya. Aku terus memainkan jemariku sembari berharap jika ia tidak akan melakukan sesuatu yang bodoh atau hal aneh apapun terhadapku. Kuharap ia masih ingat jika aku adalah anak perempuannya.

Aku satu-satunya keluarga yang ia punya.

Ia menghentikan mobilnya tepat di depan sebuah klub malam. "Turun,"

Aku tak mengatakan apapun, karena dari nada bicaranya aku sudah tahu jika ia sedang marah. Aku bahkan tak melakukan apapun. Ia kembali menarik lenganku. Ia mencengkram lenganku erat seakan-akan ia tak ingin aku lari darinya.

Dua orang pria berbadan besar menghadang kami tepat saat kami ingin masuk ke dalam. "Kau harus menunjukkan identitasmu, Tuan."

Ayahku mendengus. "Aku harus menemui Jeremy."

"Kau sudah ada janji sebelumnya?"

Ayahku nampaknya mulai kehilangan kesabarannya. Ia langsung masuk ke dalam melewati dua orang pria tadi dan tentu saja sambil terus menarik lenganku. Aku bisa mendengar langkah kaki yang berusaha mengejar kami dari belakang, namun itu tak bisa menghentikan ayahku.

Ayahku berhenti tiba-tiba. "Jeremy,"

Aku mendongakkan kepalaku, menatap seorang pria paruh baya yang tengah duduk di sebuah sofa sambil di kelilingi oleh beberapa gadis cantik.

"Albert!" Ia tersenyum lebar sambil beranjak dari sofa.

Aku mengernyitkan keningku. Bagaimana bisa ia tahu nama ayahku? Dan bagaimana bisa ayahku mengenalnya? Aku mendesah lega begitu ayahku akhirnya melepaskan cengkraman tangannya dari lenganku.

Ia tersenyum. "Apa yang membawamu kemari, Albert?"

"Aku menepati janjiku, bukan?"

Aku hanya berdiri diam sambil berusaha mencerna perkataan mereka. Aku merasa bodoh karena aku sama sekali tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Janji? Apa yang ayahku janjikan? Kepalaku terasa begitu berat karena terlalu banyak pikiran yang bersarang di benakku. Terlalu banyak pertanyaan yang kini muncul di benakku dan aku membutuhkan jawabannya sekarang.

Robbers | Justin BieberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang