1.0

4.3K 321 11
                                        

Justin's Point of View.

"Aw, sial."

Aku mendesis setiap kali jemariku menelusuri tanda keunguan di wajahku yang pegawai bank sialan itu tinggalkan di beberapa bagian wajahku. Wajahku tidak akan berdenyut kesakitan seperti ini saat ini jika pegawai bank sialan itu tidak menyerangku. Aku tidak bisa memfokuskan pikiranku malam ini, mungkin karena aku memikirkan Madison selama aku sedang menjalankan aksiku.

Aku hanya cemas jika ia akan melarikan diri. Aku terus memikirkan tentangnya yang berusaha melarikan diri dari rumah ini. Maksudku, aku meninggalkannya sendirian di rumah ini. Siapa yang tahu apa yang akan ia lakukan selama aku dan yang lainnya pergi? Tapi setidaknya kini aku bisa bernapas lega karena ia masih berada di sini, di rumah ini. Ia tidak akan lari kemana pun.

Aku membuka bajuku, menjatuhkannya ke atas lantai sebelum menggantinya dengan baju yang bersih. Aku akan pergi malam ini. Aku tahu itu ide yang buruk. Maksudku, wajahku di penuhi dengan luka dan aku masih ingin pergi ke luar? Itu terdengar begitu bodoh tapi aku membutuhkan hiburan. Ku harap dengan itu aku bisa melupakan kejadian malam ini dan lagipula, aku tidak ingin menyianyiakan uang bagianku begitu saja, bukan?

Aku meraih jaket hitamku, dan juga topi yang selalu ku pakai sebelum memutuskan untuk keluar dari dalam kamarku. Ketika aku hendak menuruni tangga, aku bisa melihat Madison yang tengah berjalan menaiki tangga sambil terus menundukkan kepalanya. Aku hanya diam, sambil sesekali berdehem pelan agar ia sadar akan kehadiranku. Namun nampaknya ia terlalu sibuk berkutat dengan pikirannya sehingga ia tidak menyadari kehadiranku yang berada tak jauh darinya sehingga tubuhnya menabrak tubuhku.

Ia meringis pelan, sambil sesekali mengusap bahunya. "Aw,"

"Kau harus memperhatikan langkahmu,"

Ia mendongakkan kepalanya. Ia terlihat begitu terkejut ketika ia melihatku. "Kau akan pergi?" Tanyanya, sambil melirikku dari atas ke bawah.

Aku memijat pelipisku perlahan karena pelipisku kembali berdenyut. "Bisakah kau berhenti dengan semua pertanyaan itu, Madison?"

"Tapi wajahmu lebam. Kau harus mengobatinya terlebih dahulu sebelum pergi,"

Ia terdengar begitu kelelahan. Mungkin itu karena ia terjaga sampai tengah malam. Tapi aku tak pernah memintanya untuk menungguku pulang. Ia tak seharusnya terjaga sampai tengah malam seperti ini. Ia seharusnya berada di kamarnya dan tidur. Aku tak mengharapkannya terjaga untuk menungguku pulang.

Aku bisa mendengar rasa peduli dari nada bicaranya, tapi aku sama sekali tidak membutuhkannya. Aku tidak butuh rasa pedulinya atau simpatinya. Aku tak membutuhkan itu semua. Aku juga tak ingin ia mengasihaniku. Aku benci ketika orang lain melihatku sebagai seseorang yang lemah. Aku tak butuh ia untuk mengasihaniku.

Aku menyisir rambutku dengan jemariku. "Sejak kapan kau terdengar seperti ibuku?" Aku tak membutuhkannya untuk menasihatiku. "Jika aku ingin pergi, aku akan pergi. Kau tidak perlu memberitahuku apa yang harus ku lakukan."

"Tapi-"

Aku mengangkat telapak tanganku ke udara untuk menghentikannya berbicara. Mendengarnya terus berbicara semakin membuat pelipisku berdenyut. "Kau tahu hal apa yang paling tidak ku sukai, Madison?" Tanyaku. Ia hanya menggelengkan kepalanya.  "Aku tidak suka saat orang lain menyuruhku untuk melakukan sesuatu."

Ia tidak perlu memberitahuku apa yang harus ku lakukan. Aku tahu apa yang ku lakukan. Ia diam, tidak bergeming. Aku mengelus pipinya dengan jemariku, sambil berusaha mendekatkan wajahku padanya. Wajahku kini sudah begitu dekat dengannya sehingga hidungku menyentuh hidungnya. Aku bisa merasakan hembusan napasnya yang mengenai permukaan wajahku.

Robbers | Justin BieberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang