Madison's Point of View.
"Madison?"
Duniaku seperti berhenti berputar dan kurasa otakku tiba-tiba berhenti bekerja ketika kalimat itu terlontar dari mulutnya. Aku tak bisa mengatakan apapun. Aku tak tahu apa yang harus ku lakukan. Apa ia baru saja mengatakan jika ia mencintaiku? Itu membuatku sangat terkejut ketika ia mengucapkannya. Apa ia sadar dengan apa yang ia ucapkan barusan? Ia tidak sedang mabuk, bukan?
"Madison?" Aku mengerjapkan mataku beberapa kali ketika aku merasakan telapak tangannya yang berada di sisi wajahku. "Apa kau baik-baik saja?"
"Kurasa kita harus masuk sekarang," Gumamku. "Udaranya bertambah menjadi semakin dingin."
Aku mendorong pintunya begitu saja, lalu melangkahkan kakiku ke dalam rumah yang terasa begitu hangat. Oh, Tuhan, Madison. Itu adalah hal terbodoh yang pernah kau lakukan. Maksudku, ia baru saja mengutarakan perasaannya padaku dan aku membalas ucapannya dengan perkataan bodoh yang baru saja ku lemparkan tadi? Apa kau bisa bertambah lebih bodoh lagi, Madison? Aku berada beberapa langkah di depannya sehingga kini ia berjalan tepat di belakangku. Apa ia marah karena aku tak mengatakan apapun setelah ia mengutarakan perasaannya padaku?
"Bagaimana dengan makan malamnya?"
Langkahku terhenti ketika aku mendengar suara Josh. Aku menolehkan kepalaku untuk melihat Josh yang baru saja melangkah keluar dari dapur sambil memegang sebuah cangkir yang berukuran sedang di tangannya.
"Aku menikmati makan malamnya," Gumamku, sambil tersenyum kecil ke arahnya.
Ia mengangkat sebelah alisnya. "Hanya itu?"
Aku mengernyitkan dahiku karena aku sama sekali tidak mengerti dengan ucapannya. "Apa?"
Ia terkekeh pelan sambil menggelengkan kepalanya. "Bukan apa-apa,"
"Aku akan pergi ke kamarku," Ucapku, sebelum berlalu ke atas.
Aku tak bisa mendengar langkah kaki di belakangku jadi, kurasa Justin tengah berbincang dengan Josh di bawah. Aku menghela napasku sambil mendorong pintu kamarku. Aku menggigit bibirku, sementara tanganku menyisir rambutku dengan jemariku. Kurasa aku baru saja mengacaukan semuanya. Maksudku, aku seharusnya bisa mengatakan hal yang sama padanya tadi. Mengapa aku lebih memilih untuk mengatakan hal bodoh itu padanya? Itu adalah kesempatanku untuk memberitahunya tentang perasaanku padanya namun tentu saja aku harus mengacaukan momen itu. Aku berjalan menuju lemariku untuk mengganti bajuku sebelum pergi tidur. Aku baru membuka pintu lemarinya ketika aku mendengar suara ketukan di pintu kamarku.
Pintu kamarku terbuka begitu saja, yang langsung memperlihatkan Justin yang tengah berdiri di ambang pintu kamarku. Ia melangkah masuk ke dalam kamarku sambil menutup kembali pintu di belakangnya. Aku menutup kembali lemariku, mengurungkan niatku untuk mengganti bajuku. Ia terus melangkahkan kakinya ke arahku lalu berhenti begitu saja sehingga kini ia hanya berjarak beberapa langkah saja di hadapanku.
Ia terus diam, tak mengatakan apapun. Aku mengernyitkan dahiku sebelum berkata, "Justin? Ada apa?"
Aku bisa mendengarnya menghela napas panjang lalu menghembuskannya lewat mulutnya. "Aku tak seharusnya mengatakan itu,"
Aku menautkan kedua alisku. "Apa yang kau bicarakan?"
Ia menyisir rambutnya dengan jemarinya. "Ucapanku tadi membuatmu merasa tidak nyaman, bukan?" Gumamnya. "Aku bahkan tidak mengerti mengapa aku bisa mengucapkan itu."
"Justin, aku sama sekali tidak mengerti dengan-"
"Saat aku mengatakan jika aku mencintaimu," Selanya. "Itu membuatmu merasa tidak nyaman, bukan?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Robbers | Justin Bieber
Fiksi PenggemarKehidupan Madison berubah ketika ayahnya menjualnya. Ia menghadapi banyak hal sampai akhirnya ia bertemu dengan Justin dan masuk ke dalam kehidupan Justin yang gelap.