Justin's Point of View.
Aku mulai tidak menyukai keheningan yang menyelimuti kami saat ini. Keheningan ini membuatku bisa mendengar dengan jelas suara-suara yang berada di benakku. Kuharap ia mengatakan sesuatu untuk membantuku mengalihkan perhatianku dari suara-suara yang terus berteriak di benakku. Aku duduk di tepi ranjangku, sementara Madison berdiri tak jauh di depanku. Ia pasti akan bertanya tentang hal yang baru saja ia lihat. Aku bahkan tidak tahu apa yang harus ku katakan padanya. Darimana aku harus memulainya?
Ia melangkahkan kakinya ke depan, menempatkan dirinya di antara kedua kakiku yang terbuka cukup lebar. Ketika aku mengangkat kepalaku untuk menatapnya, aku langsung di sambut oleh tatapan hangat sepasang mata biru yang selalu menjadi sepasang mata favoritku. Ia mengulurkan tangannya padaku. Aku menutup kedua kelopak mataku begitu aku merasakan telapak tangannya yang berada di wajahku. Ia mulai mengelus lembut pipiku dengan jemarinya. Oh, Tuhan. Aku begitu merindukannya. Aku tak pernah tahu seberapa besar aku merindukan sentuhannya sampai akhirnya aku bisa merasakan sentuhannya kembali. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya menjauhkan telapak tangannya dari wajahku.
"Apa lagi yang kau sembunyikan dariku kali ini?" Bisiknya.
Aku terkekeh pelan. "Aku tak menyembunyikan apapun darimu."
Ia menolehkan wajahnya ke samping, ke arah laci, tepat pada kedua botol tabung silindris kecil yang kini sudah kosong karena aku baru saja membuang semua isinya ke dalam toilet. Ia meraih kedua tabung silindris kecil itu dengan kedua tangannya sambil menatapnya dengan seksama.
"Obat apa ini?" Tanyanya, mengangkat sebuah tabung di tangan kanannya.
"Kau tahu bukan jika aku mempunyai masalah dalam mengontrol emosiku?" Gumamku. "Aku mengkonsumsi obat itu untuk membantuku mengontrol emosiku."
Ia diam sejenak sebelum kembali bertanya, "Bagaimana dengan yang ini?"
Aku menatap tabung yang berada di tangan kirinya. Apa aku harus memberitahunya? "Itu semacam antidepresan."
Ia mengernyitkan dahinya. "Antidepresan?"
Aku mengangguk kecil. "Obat itu membuatku tenang."
Ia menghela napas panjang sebelum kembali menaruh kedua botol obat yang kini sudah kosong di tempat semula. "Mengapa kau membuang semua obat-obatan itu?" Tanyanya.
"Karena aku sudah tidak membutuhkannya,"
"Bagaimana bisa kau tidak membutuhkannya?" Gumamnya. "Kau tidak bisa membuang semua obat-obatan itu begitu saja."
Apa yang harus ku jelaskan padanya? Bagaimana caraku memberitahunya jika aku lebih membutuhkannya daripada obat-obatan sialan itu? Semua yang kubutuhkan ada padanya. Aku diam selama beberapa saat, berusaha memikirkan kata yang tepat namun otakku tak bisa memikirkan apapun. Aku menyisir rambutku dengan jemariku sementara mulutku mengeluarkan sebuah desahan frustasi yang cukup panjang.
"Justin," Gumamnya. "Kau membutuhkan obat-obatan itu. Kau tidak bisa-"
"Aku lebih membutuhkanmu, Madison."
Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku. Ia diam, tak mengatakan apapun ketika aku mengucapkan itu. Mengapa ia tak mengatakan apapun? Apa ada sesuatu yang salah dari ucapanku? Apa ia terkejut? Kurasa akupun sama terkejutnya dengannya. Maksudku, aku tak pernah menyangka jika aku akan mengatakan itu padanya. Aku selalu beranggapan jika aku mampu melakukan segalanya dengan diriku sendiri. Aku selalu berkata jika aku tak membutuhkan siapapun. Lalu aku bertemu dengannya. Oh, Tuhan. Aku begitu membutuhkannya.
"Kau harus beristirahat," Ucapnya, setelah diam cukup lama. Itu sama sekali bukan ucapan yang ingin ku dengar darinya. "Aku akan kembali ke kamarku."
![](https://img.wattpad.com/cover/78100406-288-k395278.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Robbers | Justin Bieber
FanfictionKehidupan Madison berubah ketika ayahnya menjualnya. Ia menghadapi banyak hal sampai akhirnya ia bertemu dengan Justin dan masuk ke dalam kehidupan Justin yang gelap.