3.9

3K 298 37
                                        

Madison's Point of View.

Aku semakin mendekatkan tubuhku padanya, berusaha mencari kehangatan dari tubuhnya. Aku menempelkan kepalaku di dadanya sementara tangannya berada di punggungku sambil sesekali mengelus pungguku. Di sini sangat hening. Kau tak bisa mendengar suara apapun kecuali suara hujan yang cukup deras di luar.

Justin terus berada di sampingku selama seharian penuh. Kurasa aku tak pernah menghabiskan waktu dua-puluh-empat jam penuh dengannya seperti ini. Ia menjadi begitu protektif terhadapku dan itu adalah hal yang manis. Kami terus membicarakan tentang berbagai hal semalam. Dan sebagian besar dari hal-hal itu adalah hal yang tidak begitu berarti. Ia banyak berbicara tentang tim hockey favoritnya dan aku tidak begitu mengerti tentang olahraga itu jadi aku hanya diam sambil terus mendengarkannya berbicara. Dan aku menceritakan tentang semua hal padanya. Aku menceritakan tentang masa kecilku, saat pertama kali aku masuk ke sekolah, tentang ibuku dan tentang ayahku yang menjadi pecandu alkohol semenjak kematian ibuku. Aku bahkan menceritakan tentang hal-hal yang tak pernah kuberitahukan pada siapapun sebelumnya. Dan itu sangat aneh. Aku tidak begitu menyukai berbagi cerita dengan orang lain. Namun dengannya, aku bisa menceritakan apapun.

Aku bisa mendengar setiap hembusan napas yang ia ambil karena telingaku menempel tepat di dadanya. Aku begitu menyukai keheningan yang meliputi kami saat ini. Ini begitu menenangkan bagiku.

"Madison?" Gumamnya. "Apa kau keberatan jika aku bertanya sesuatu padamu?"

"Apa yang ingin kau tanyakan?"

"Tentang kejadian yang terjadi padamu," Gumamnya. "Mengapa itu bisa terjadi?"

Aku mengambil napas panjang sebelum memberitahunya tentang semuanya. Aku memberitahunya tentang pria bersetelan jas yang mempunyai senjata di tangannya dan mengarahkannya pada Harold. Harold bahkan tidak menyadarinya karena ia terlalu fokus menatap Tyler di belakangnya. Aku memberitahunya jika aku tak mempunyai pilihan lain selain berlari ke arah Harold untuk memberitahunya. Namun kurasa aku terlambat karena sebelum aku bisa memberitahu Harold, aku bisa mendengar suara tembakan yang di lepaskan. Aku bahkan masih bisa merasakan rasa sakit yang menjalar di sepanjang lenganku saat benda itu menembus kulitku hingga saat ini. Sesekali aku mendongakkan kepalaku untuk menatapnya. Ia tak mengatakan apapun selama aku berbicara.

"Itu sebuah kecelakaan," Ucapku, setelah selesai menceritakan tentang kejadian yang mengerikan itu.

"Jadi ini semua karena Harold?" Ucapnya. "Kau tertembak karenanya?"

Aku mengernyitkan dahiku. "Justin, ini bukan salahnya. Aku hanya-"

Ia menyela ucapanku dengan berkata, "Tapi kau tidak akan tertembak jika ia bisa fokus dengan apa yang ia lakukan."

"Itu sebuah kecelakaan," Ujarku. "Ini sama sekali bukan salahnya."

"Aku tidak mengerti mengapa kau masih bisa membelanya setelah apa yang terjadi padamu," Ucapnya. "Kau tertembak karenanya, Madison."

"Aku tidak membelanya, Justin. Aku hanya-" Aku hendak memprotes ucapannya namun ia buru-buru memotong ucapanku.

"Aku harus menemuinya,"

Oh, Sial. "Jangan," Aku menahan lengannya ketika ia hendak beranjak turun dari tempat tidurku.

"Tapi ia sudah-"

"Kumohon," Bisikku. "Tetap di sini."

Hanya Tuhan yang tahu apa yang akan ia lakukan pada Harold jika aku membiarkannya pergi menemui Harold. Aku tak ingin ia kembali mematahkan hidung Harold untuk yang kedua kalinya. Ia menghela napas panjang sebelum kembali berbaring di samping tubuhku. Kurasa ia sudah mulai bisa menahan emosinya kali ini. Aku memejamkan mataku ketika aku merasakannya mendaratkan sebuah ciuman pada dahiku.

Robbers | Justin BieberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang