Madison's Point of View.
Aku melangkahkan kakiku sehingga kini tubuhku yang tak terbalut apapun berada tepat di bawah shower. Dengan perlahan jemariku menyalakan shower-nya, membiarkan airnya mengalir membasahi seluruh tubuhku. Aku merasa lebih baik begitu rasa dingin dari airnya mengenai seluruh tubuhku. Jadi, kurasa, di sinilah aku akan tinggal dalam jangka waktu yang cukup lama. Aku tidak tahu sampai kapan aku harus menghabiskan waktuku di sini. Di sebuah rumah yang berada di tengah-tengah hutan bersama dengan empat orang pria yang sama sekali tidak ku kenali. Aku hanya mengenal Justin. Tidak, sebenarnya, yang ku ketahui hanya namanya. Aku bahkan tidak tahu apa pekerjaannya atau hal lain yang berhubungan dengannya.
Aku menyapukan sabun ke seluruh bagian tubuhku, dan juga shampo pada rambutku sehingga kini rambutku di penuhi busa shampo.
Tapi setidaknya berada di sini lebih baik daripada berada di tempat menjijikan itu bersama Jeremy. Aku benar-benar terbebas darinya. Tidak ada lagi yang akan berteriak di depan wajahku, menarik rambutku, memaksaku untuk memakai gaun yang begitu pendek dan menyuruhku untuk melayani para pria hidung belang yang datang ke klubnya. Sekarang aku mendapatkan hal yang selama ini ku inginkan; sebuah kebebasan.
Aku mengusap-usap wajahku beberapa kali sebelum mematikan shower-nya dan langsung meraih handuk dengan tanganku. Aku mengeringkan rambutku terlebih dahulu sebelum melingkarkan handuknya pada tubuhku yang basah lalu melangkah keluar dari dalam kamar mandi. Aku bisa merasakan tetesan air yang terjatuh dari rambut basahku. Aku melangkahkan kakiku menuju lemari, membukanya, berharap jika aku bisa menemukan sesuatu yang bisa ku pakai namun lemarinya kosong. Aku tak bisa menemukan apapun yang bisa ku pakai. Oh, astaga, tentu saja. Maksudku, aku tidak membawa apapun saat aku datang kemari kecuali baju yang ku kenakan kemarin. Tentu saja aku tak bisa menemukan apapun pada lemariku. Seharusnya aku memastikannya terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk mandi. Bagus. Sekarang apa yang harus ku kenakan? Aku tak mungkin mengenakan bajuku yang ku pakai seharian kemarin.
Aku menggigit kuku ibu jariku, sembari terus berpikir. Mataku menangkap topi dan jaket yang Justin tinggalkan di atas ranjangku. Ia pasti lupa untuk membawanya saat ia keluar dari kamarku tadi. Apa aku harus memakai jaket itu? Maksudku, aku tidak mungkin bertelanjang atau mengenakan handuk seperti ini terus menerus. Tapi aku tidak mungkin memakai jaket itu, bukan?
Atau mungkin, aku bisa meminjam baju Justin. Kuharap ia cukup baik untuk meminjamkan salah satu bajunya untuk ku pakai malam ini.
Aku meraih jaket dan topinya. Aku memastikan jika keadaan di luar kamarku cukup sepi sebelum aku benar-benar melangkah keluar dari kamarku. Aku tidak ingin salah satu dari mereka melihatku dalam keadaan seperti ini. Kini aku tinggal bersama empat orang pria asing. Siapa yang tahu apa yang akan mereka lakukan terhadapku jika mereka melihatku dalam keadaan seperti ini? Aku menatap ke sisi kiri dan kananku. Keadaannya sepi. Aku melangkah keluar dengan hati-hati. Bagus. Sekarang aku harus menemui Justin. Aku menatap kedua pintu cokelat yang berada tepat di samping kiri dan kanan kamarku. Ia bilang jika kamarnya berada tepat di sebelah kamarku. Tapi ia tidak memberitahuku kamarnya berada di sisi mana dari kamarku. Pintu mana yang harus ku ketuk terlebih dahulu?
Setelah mempertimbangkan pintu mana yang harus ku ketuk terlebih dahulu selama kurang lebih sepuluh menit, aku memutuskan untuk mengetuk pintu yang berada di sebelah kananku terlebih dahulu. Aku mengetuknya beberapa kali, sambil terus berharap jika ini memang kamarnya.
Tapi bagaimana jika aku salah? Bagaimana jika ini bukan kamarnya dan yang ku ketuk adalah kamar orang lain?
Aku mengetuk kembali pintunya karena pintunya tak kunjung di buka. "Justin?"
Aku mengangkat tanganku, hendak mengetuk kembali pintunya untuk yang ke sekian kalinya, namun seseorang membuka pintunya sebelum aku bisa mengetuk pintunya kembali. Ia bukan Justin.

KAMU SEDANG MEMBACA
Robbers | Justin Bieber
FanfictionKehidupan Madison berubah ketika ayahnya menjualnya. Ia menghadapi banyak hal sampai akhirnya ia bertemu dengan Justin dan masuk ke dalam kehidupan Justin yang gelap.