Madison's Point of View.
Aku bangun lebih awal dari Justin. Saat aku menolehkan wajahku ke samping, aku melihatnya yang masih tertidur dengan pulas. Aku menarik selimut tebal yang kini menutupi tubuhku yang tak terbalut dengan sehelai benangpun. Aku masih tidak percaya jika ini benar-benar terjadi. Aku masih sulit percaya jika aku dan Justin benar-benar melakukannya. Aku masih ingat saat pertama kali ia membawaku ke sebuah hotel dan bagaimana aku memintanya untuk berhenti melakukan apa yang ia lakukan karena itu membuatku sangat tidak nyaman. Dan kini, aku berada bersamanya di atas ranjangnya tanpa memakai apapun di tubuhku. Kurasa waktu mengubah semuanya.
Aku sama sekali tidak menyesal atas semua yang telah terjadi. Aku tahu apa yang ku lakukan dan apa yang ku inginkan. Aku menginginkannya. Oh, Tuhan. Aku begitu menginginkannya.
Aku memiringkan tubuhku ke samping sehingga kini aku bisa menatapnya dengan jelas. Bahkan dengan mata tertutup pun, ia masih terlihat begitu indah. Aku tidak tahu bagaimana bisa ia melakukan itu. Aku tersenyum pada diriku sendiri. Dengan perlahan aku mengulurkan tanganku untuk mengelus rambutnya yang kini nampak begitu berantakan. Aku menyelipkan jemariku di antara helaian rambutnya yang lembut dengan hati-hati karena aku tak ingin ia terbangun karena itu.
Aku buru-buru menjauhkan jemariku dari rambutnya ketika aku melihatnya hendak membuka matanya. Dengan perlahan kedua kelopak matanya terbuka sehingga kini aku bisa kembali melihat sepasang mata cokelat yang indah itu.
Ia tersenyum, sebelum menyapaku dengan suara paraunya. "Selamat pagi, Madison."
"Selamat pagi, Justin."
Aku melirik ke arah jendela selama beberapa detik sebelum mengalihkan pandanganku pada jam dinding yang menggantung di dinding kamarnya. Pukul 08.50. Kurasa ini untuk yang ke sekian kalinya aku melewatkan sarapan pagi.
"Kita harus turun ke bawah," Gumamku.
Sebelum aku sempat bisa beranjak turun dari tempat tidurnya, aku bisa merasakan tangannya yang berada di sikuku. "Tidak bisakah kau menemaniku berbaring di sini?"
"Justin, kita melewatkan sarapannya."
"Siapa yang peduli dengan sarapannya?" Gumamnya. "Aku ingin kau di sini menemaniku."
Aku menghela napasku sebelum kembali membaringkan tubuhku. Ia tersenyum sambil mengelus pipiku dengan jemarinya. Dan selama beberapa saat suasana kamarnya berubah menjadi hening. Tidak terdengar suara apapun di sini kecuali suara burung yang berkicau dari luar dan juga suara hembusan angin yang terdengar cukup kencang pagi ini. Aku dan Justin saling memandang satu sama lain tanpa mengucapkan sepatah katapun.
"Jadi.." Aku ingin memulai sebuah percakapan dengannya tapi aku sama sekali tidak tahu apa yang harus ku katakan.
"Tadi malam adalah malam terbaik dalam hidupku," Gumamnya.
Aku bisa merasakan pipiku yang kembali memanas ketika aku mengingat kejadian tadi malam bersamanya. "Begitupula denganku," Ucapku.
"Apa kau menyesalinya?" Tanyanya.
"Tentu saja tidak," Aku menggelengkan kepalaku. "Itu yang ku inginkan."
"Apa kau akan melakukannya lagi denganku?"
Aku mengernyitkan dahiku. "Apa?"
Ia menyeringai. "Ronde ke dua?"
Aku memukul dadanya pelan. "Apa yang kau bicarakan?"
Ia terkekeh kecil. "Aku suka melihat kedua pipimu memerah seperti itu."
Aku berusaha untuk menutupi kedua pipiku yang kini sudah memerah dengan tanganku. "Baiklah, kurasa ini waktunya untuk sarapan."

KAMU SEDANG MEMBACA
Robbers | Justin Bieber
FanfictionKehidupan Madison berubah ketika ayahnya menjualnya. Ia menghadapi banyak hal sampai akhirnya ia bertemu dengan Justin dan masuk ke dalam kehidupan Justin yang gelap.