0.4

5.3K 360 8
                                    

Madison's Point of View.

"Aku akan membawamu kembali ke Jeremy,"

Oh, tidak.

Ia memakai kembali jaket yang semalam ia simpan di atas tempat tidur begitu saja dan juga topi hitamnya yang menutupi kepalanya. Aku hanya mengangguk dan mengikutinya keluar dari hotel. Jika ia mengantarkanku kembali ke Jeremy, apa ia juga akan menceritakan semuanya pada Jeremy? Bagaimana jika ia menceritakan tentang kejadian semalam ketika aku tak menuruti perkataannya? Jeremy pasti akan sangat marah jika ia mengetahuinya. Aku yakin jika ia akan melakukan hal yang selalu ia lakukan padaku setiap kali aku tak menuruti perkataannya. Ia akan berteriak di depan wajahku sambil menarik rambutku ke belakang. Aku memperlambat langkahku ketika kami sudah keluar dari hotel. Ia sudah jauh di depanku, sementara aku masih tertinggal di belakang.

Kuharap ia tak memberitahu Jeremy apapun.

"Kau akan berdiam saja seperti itu, Madison?"

Ia sudah berada di dalam mobil. Ia menatapku seakan-akan menyuruhku agar aku segera masuk ke dalam mobilnya jadi aku semakin mempercepat langkahku. Aku membuka pintu mobilnya dan duduk di sampingnya. "Aku minta maaf,"

Ia tak mengatakan apapun. Ia menyalakan mesin mobilnya dan mulai melajukannya. Kurasa ia masih marah padaku. Ia langsung keluar dari kamar hotel semalam sesaat setelah ia menyuruhku untuk tidur. Aku terjaga sampai dini hari untuk menunggunya kembali ke dalam kamar namun ia tak pernah kembali. Aku tidak tahu di mana ia tidur semalam. Aku tak berani untuk menanyakan itu padanya. Apa ia menyewa kamar lain?

"Apa aku boleh menyalakan radionya?" Suasana di dalam mobil ini sangat sepi, dan aku tidak begitu menyukainya.

"Aku tidak begitu menyukai musik," Ucapnya, sambil terus menatap jalanan di depan.

Aku menghela napasku. "Baiklah,"

Aku menatap ke luar jendela, ke arah gedung-gedung tua yang kami lewati, dan juga pada beberapa orang yang sedang berlalu lalang. Mereka tampak begitu bebas. Mereka bisa pergi kemana pun yang mereka inginkan, dan ku harap jika aku adalah salah satu dari mereka.

"Bagaimana bisa kau berakhir di tempat Jeremy?"

Pertanyaannya membuat perhatianku teralihkan padanya. "Apa?"

"Kau tidak menyukai tempat itu, bukan?" Ia melirikku sebentar, sebelum kembali menatap ke depan. "Lalu mengapa kau bisa bekerja di sana? Bersama Jeremy?"

Aku mengangkat bahuku. "Ceritanya panjang,"

"Ini perjalanan yang cukup panjang," Gumamnya. "Dan aku punya waktu."

Aku tidak tahu darimana aku harus memulainya. "Ayahku yang menjualku pada Jeremy," Kurasa itu sudah menjelaskan semuanya.

"Ayahmu?"

Aku terkekeh. "Ironis, bukan? Ketika ayahmu sendiri tidak menginginkanmu? Ketika ia sibuk berjudi dan tak bisa membayar hutangnya lalu ia memutuskan untuk menjual anaknya sendiri?"

Mataku mulai memanas dan aku berusaha untuk tidak menangis di depannya. Ayahku tidak pantas mendapatkan setiap air mata yang jatuh dari kelopak mataku. Aku tidak akan menangisinya lagi. Aku selalu memikirkan ayahku setiap saat karena ia tak pernah bisa menjaga dirinya sendiri. Namun kini aku sadar jika untuk apa aku selalu memikirkan seseorang yang tak pernah memikirkanku sama sekali? Itu hanya membuang-buang waktu dan tenagaku. Aku tidak mengerti mengapa ia menanyakan hal itu padaku. Ia terlihat seperti lelaki yang tak peduli akan hal apapun yang terjadi di sekitarnya.

"Terima kasih," Gumamku pelan. "Untuk semalam."

Lalu selebihnya perjalanan pulang kembali sunyi. Ia tak menanyakan apapun lagi setelahnya. Ia terus menutup rapat mulutnya selama perjalanan menuju tempat Jeremy. Jika aku memintanya untuk menurunkanku di sini dan memohon padanya agar membiarkanku pergi, agar aku bisa terbebas dari Jeremy, apa ia akan melakukannya?

Robbers | Justin BieberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang