Justin's Point of View.
Semua rasa penatku dan juga bebanku terasa hilang begitu saja saat aku membaringkan tubuhku dan meletakkan kepalaku pada pangkuannya. Sebuah desahan pelan keluar dari mulutku begitu aku merasakan jemarinya menyisir lembut helaian rambutku. Aku menyukainya saat ia melakukan itu. Entah mengapa tapi setiap kali ia melakukan itu, aku merasa begitu nyaman dan tenang. Aku ingin ia terus melakukan itu sampai aku tertidur. Aku menutup kedua mataku dan menyilangkan kedua tanganku di depan dadaku sambil terus menikmati sentuhan lembut jemarinya pada rambutku.
"Beritahu aku tentang dirimu," Gumamnya, memecah kesunyian yang sedari tadi menyelimuti kami.
Kurasa ini untuk yang kesekian kalinya ia berkata seperti itu padaku. Aku tidak mengerti mengapa ia ingin aku menceritakan tentang diriku. Tidak ada yang menarik dariku dan lagipula, aku tidak tahu apa yang harus ku ceritakan padanya. Aku tidak yakin jika ia ingin mendengar ceritaku. Maksudku, siapa yang tahu apa yang akan ia lakukan jika aku mengatakan padanya tentang hal apa saja yang aku lakukan di luar sana? Apa aku harus memberitahunya tentang pekerjaanku yang merampok bank setiap malam? Tidak mungkin. Aku tidak mungkin menceritakan itu padanya.
Tidak untuk saat ini.
"Mengapa kau ingin tahu tentang diriku?" Tanyaku, sambil membuka kembali mataku untuk menatapnya.
Ia menghela napasnya. "Karena yang ku ketahui darimu hanyalah namamu," Gumamnya kembali. "Ayolah, Justin."
Bukankah itu lebih baik jika ia hanya mengetahui namaku di bandingkan jika ia mengetahui apa yang ku lakukan setiap malam di luar sana? Itu membuatku berpikir. Maksudku, apa yang akan ia lakukan jika ia mengetahui semuanya suatu saat nanti? Apa ia akan berusaha untuk lari dari rumah ini? Berusaha untuk lari dariku? Aku tidak menyukai pemikiran tentang ia yang berusaha lari dariku. Aku ingin ia tetap berada di sini, di rumah ini.
"Apa yang harus kuberitahu padamu?"
Ada jeda selama beberapa saat sebelum akhirnya ia kembali membuka suaranya. "Kau bisa mulai dengan menceritakan masa kecilmu, atau keluargamu, atau ayah dan ibumu." Gumamnya. "Apapun. Beritahu aku apapun tentang dirimu."
Aku tidak mungkin menceritakan tentang masa kecilku padanya. Aku membenci setiap memori yang ku punya tentang masa kecilku. Aku juga tidak mungkin menceritakan tentang ayah dan ibuku. Terutama ayahku. Aku tidak ingin menceritakan tentangnya ataupun membicarakannya pada siapapun. Termasuk Madison. Aku merasakan emosi yang mengalir di sekujur tubuhku ketika aku mengingat kembali tentang ayahku. Aku bahkan tak ingin memanggilnya dengan sebutan 'ayah'. Bukankah ia yang seharusnya melindungiku dari apapun itu yang membahayakan di luar sana? Ia membuatku menjadi diriku yang sekarang ini dan aku membencinya. Aku langsung mengangkat kepalaku dari pangkuannya dan dengan spontan ia langsung menjauhkan jemarinya yang sedari tadi terus menyisir lembut rambutku.
"Dengar, aku sudah memberitahumu, Madison. Aku tak ingin menceritakan tentang masa kecilku." Ucapku.
"Tapi aku-"
Ia hendak mengatakan sesuatu namun aku langsung memotong ucapannya. "Tidak, Madison!" Bentakku. "Berhenti bertanya tentang masa kecilku ataupun keluargaku!"
Ia terperanjat dan menutup kedua matanya begitu aku menaikkan nada bicaraku padanya. Ia tak seharusnya bertanya tentang itu semua. Aku beranjak dari sofa dan langsung berjalan menuju kamarku, meninggalkannya sendirian di ruang tengah. Mengapa ia tidak bisa berhenti dengan semua pertanyaan tentang masa kecilku ataupun keluargaku? Aku membuka pintu kamarku dan menutupnya dengan membanting pintu kamarnya sehingga menimbulkan bunyi yang cukup kencang. Aku menyisir rambutku dengan jemariku sambil mendudukkan diriku di atas tempat tidurku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Robbers | Justin Bieber
Fiksi PenggemarKehidupan Madison berubah ketika ayahnya menjualnya. Ia menghadapi banyak hal sampai akhirnya ia bertemu dengan Justin dan masuk ke dalam kehidupan Justin yang gelap.