1.2

3.8K 316 14
                                        

Madison's Point of View.

Aku menutup kembali pintunya, begitu Justin keluar dari kamarku begitu saja.

Aku menghela napasku sambil menatap kekacauan yang Justin buat di kamarku. Pecahan gelasnya ada di mana-mana, di seluruh penjuru kamarku. Aku harus melangkahkan kakiku dengan hati-hati karena aku tak ingin pecahan gelas itu melukai kakiku. Kini aku harus membereskan semua kekacauan ini. Aku berjongkok untuk memunguti pecahan gelasnya. Dengan hati-hati aku menyimpan pecahannya di telapak tanganku. Aku tak ingin tanganku tergores oleh pecahannya.

Ini untuk pertama kalinya aku melihat Justin begitu marah seperti ini. Ia terlihat begitu berbeda ketika ia sedang marah. Ia terlihat begitu.. menyeramkan. Apa ia selalu seperti ini jika ia begitu marah pada seseorang? Tapi ini semua salahku. Aku seharusnya mendengarkannya. Aku tak seharusnya pergi ke sana, ke ruang bawah tanah. Ia sudah memperingatkanku tentang peraturannya. Ia juga bahkan memperingatkanku tentang hukuman yang akan ia berikan jika aku melanggar aturannya.

Jantungku berdebar kencang ketika aku mengingat tentang hukuman yang ia bicarakan. Ia tak pernah membicarakan hukumannya dengan rinci. Maksudku, ia tak pernah memberitahuku hukuman apa yang akan ia berikan jika aku melanggar peraturannya. Aku baru saja melanggar salah satu peraturannya dengan pergi ke ruang bawah tanah sana. Hukuman apa yang akan ia berikan padaku? Aku tak bisa membayangkan hukuman apa yang akan ku terima. Aku baru saja melihatnya begitu marah tadi. Jika ia bisa membuat semua kekacauan ini hanya karena ia marah, apa kau bisa membayangkan apa yang akan ku terima sebagai hukumanku?

Aku?
Aku tak bisa membayangkannya.
Aku tak ingin membayangkannya.

Napasku tercekat ketika aku mendengar bunyi 'klik' di pintu kamarku yang menandakan jika seseorang hendak membuka pintunya. Bagaimana jika itu Justin? Bagaimana jika ia kembali karena ia ingin memberikan hukuman untukku? Aku mulai panik ketika pintunya mulai terbuka sedikit demi sedikit.

"Madison?" Tubuhku kembali rileks seperti semula ketika aku melihat Tyler dari balik pintu. "Apa aku boleh masuk?"

Aku mengangguk. "Tentu saja,"

Ia menutup kembali pintunya, sebelum berjalan ke arahku yang masih tengah sibuk memunguti pecahan gelasnya. "Apa Justin yang melakukan ini semua?" Tanyanya.

Aku mengangguk. "Aku membuatnya begitu marah,"

Aku tak ingin berada di sini. Aku tak ingin berada di tempat ini. Aku tak percaya jika aku mengatakan ini, tapi Jeremy sedikit lebih baik daripada Justin. Setidaknya, Jeremy tidak pernah marah setiap saat tanpa sebuah alasan. Tapi itu bukan berarti jika aku ingin kembali ke tempatnya. Aku tak pernah ingin kembali ke tempat menjijikan itu. Aku tak ingin bekerja lagi untuknya.

"Aku akan membantumu,"

Tyler berjongkok tepat di hadapanku. Ia memberiku sebuah senyuman lembutnya sebelum ia membantuku memunguti pecahan gelasnya. "Terima kasih,"

"Kau tak seharusnya pergi ke sana," Gumamnya. "Bukankah Justin sudah memperingatkanmu?"

"Semua orang melarangku untuk pergi ke ruang bawah tanah," Aku berhenti sejenak untuk menatapnya. "Itu membuat rasa keingintahuanku tentang ruang bawah tanah itu menjadi semakin besar."

Aku tidak mengerti mengapa ia bisa tinggal di tempat seperti ini dengan Justin. Tyler memiliki sifat yang berbanding terbalik dengan Justin. "Bagaimana bisa kau tinggal di sini bersama Justin?" Tanyaku, yang langsung membuat aktivitasnya terhenti.

Ia sedikit mendongakkan kepalanya agar ia bisa menatapku. "Apa?"

Bahuku terangkat. "Bagaimana bisa kau begitu tahan tinggal di satu atap yang sama dengannya?"

Robbers | Justin BieberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang