Madison's Point of View.
Justin tidak begitu buruk.
Aku selalu berpikir jika Justin hanyalah seorang pria angkuh dan egois. Seorang pria yang tidak peduli dengan apapun yang terjadi di sekitarnya karena ia hanya mempedulikan dirinya sendiri. Seorang pria yang menempatkan dirinya sendiri di depan dalam kondisi apapun. Aku selalu berpikir seperti itu. Namun kurasa aku salah. Ia tidak seburuk yang ku pikirkan selama ini. Mungkin aku tak seharusnya menilainya seperti itu. Itu tidak adil. Maksudku, semua yang ku ketahui tentangnya hanyalah namanya. Aku tak mengetahui apapun tentang hidupnya, jadi, aku tak seharusnya menyimpulkan dirinya seperti itu.
Ia peduli. Setidaknya, kuharap begitu. Ketika ia melihat luka di tanganku untuk pertama kalinya, itu membuatku terkejut karena ku pikir ia tidak akan memperhatikannya. Tapi ia memperhatikannya. Saat ia menanyakan padaku tentang apa yang terjadi dengan tanganku, atau seperti saat tadi pagi, ketika ia kembali bertanya tentang keadaan tanganku sambil mengusap perbannya lembut, membuatku berpikir jika ia memang peduli.
Aku mengerjapkan mataku beberapa kali, berusaha untuk membuang jauh-jauh lamunanku tentangnya. Aku bahkan melupakan tujuanku datang ke dapur ini. Aku ingin minum karena tenggorokanku terasa begitu kering, namun selama sepuluh menit terakhir, aku menemukan diriku tengah berdiri di hadapan lemari pendingin sambil melamunkan tentang Justin. Aku menghela napas panjang sebelum membuka lemari pendinginnya untuk mengambil sebotol air mineral dingin. Aku kembali berjalan ke arah gelas yang sudah ku siapkan di atas meja. Dengan perlahan aku menuangkan airnya ke dalam gelas.
Aku mengernyitkan dahiku ketika aku mendengar bunyi televisi yang menyala dari arah ruang tengah. Ini sudah dini hari. Ku pikir mereka semua sudah tertidur? Aku menyimpan kembali botolnya ke dalam lemari pendingin sambil terus bertanya-tanya tentang siapa yang menonton televisi pukul dua dini hari seperti ini? Dengan ragu aku memutuskan untuk begegas keluar dari dapur menuju ruang tengah.
Aku melihat seseorang yang tengah duduk memandangi layar televisi di depannya. Mataku menangkap tato sayap yang berada di tengkuknya dan tentu saja aku langsung bisa mengenalinya.
"Justin?"
Aku tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan. Ia sepertinya sedang memikirkan sesuatu karena ia bahkan tidak menyadari kehadiranku yang hanya berjarak beberapa langkah saja darinya.
"Justin?" Gumamku, sedikit lebih keras agar ia bisa mendengarnya.
Ia langsung menolehkan kepalanya padaku. "Madison? Apa yang kau lakukan di sini?"
Mungkin aku yang seharusnya bertanya seperti itu padanya. Josh dan yang lainnya sudah terlelap sedari tadi. Apa yang ia lakukan di sini? "Aku baru saja dari dapur," Gumamku. "Bagaimana denganmu? Apa yang kau lakukan di sini?"
"Aku tidak bisa tidur,"
Aku diam sejenak sambil mengangguk-anggukan kepalaku. Kurasa ia butuh waktu untuk sendiri. "Aku akan kembali ke kamarku."
Aku merasakan tangannya menahan lenganku ketika kakiku hendak melangkah. "Madison?" Dengan spontan aku langsung menolehkan kepalaku untuk menatapnya. "Apa kau bisa menemaniku di sini?"
Apa ia baru saja memintaku untuk menemaninya? "Tentu,"
Aku duduk di sofa bersamanya dan suasana seketika menjadi hening. Yang terdengar hanyalah suara dari televisi dan suara detak jantungku. Aku bahkan tidak mengerti mengapa jantungku bisa berdetak kencang seperti ini.
"Apa kau ingin ku buatkan sesuatu?" Tanyaku, untuk memecahkan kesunyian di antara kami. "Seperti teh hangat atau yang lainnya?"
Ia menggelengkan kepalanya sambil terus menatap lurus ke depan. "Aku tidak ingin apapun."
KAMU SEDANG MEMBACA
Robbers | Justin Bieber
Fiksi PenggemarKehidupan Madison berubah ketika ayahnya menjualnya. Ia menghadapi banyak hal sampai akhirnya ia bertemu dengan Justin dan masuk ke dalam kehidupan Justin yang gelap.