3.5

3.2K 275 26
                                        

Madison's Point of View.

Ini sudah hampir tiga pekan semenjak aku mengurung diriku sendiri di dalam kamar ini. Dan jika aku menghabiskan waktuku lebih lama lagi di sini, kurasa berat badanku akan bertambah. Maksudku, tidak ada aktivitas lain yang bisa ku lakukan di sini selain makan dan tidur. Tapi, kurasa berada di dalam sini jauh lebih baik daripada di luar sana. Aku tak ingin menemui mereka semua. Terutama Justin.

Sebuah kebohongan. Itu adalah yang ku dapatkan darinya setelah semua yang aku dan Justin lakukan bersama. Aku tidak tahu apa yang ku rasakan ketika kalimat itu meluncur dari mulut Harold. Aku sama sekali tidak marah padanya. Tapi Justin benar-benar membuatku kecewa. Mengapa aku harus mendengar itu semua dari mulut Harold? Mengapa Justin tidak memberitahuku dari awal saat ia membawaku ke rumah ini? Jika aku bisa memutar waktu kembali, aku berharap jika aku tak pernah bertemu dengannya. Tapi itu semua sudah terlambat. Aku tak bisa memutar waktu kembali.

Aku sering mendengar Justin mengetuk pintu kamarku dari luar. Aku bahkan pernah terbangun di tengah malam karena aku mendengarnya mengetuk pintu kamarku dengan sangat keras sambil meneriakkan namaku dari luar. Kurasa ia tengah mabuk saat ia melakukan itu. Namun beberapa hari belakangan ini aku sudah tak mendengarnya mengetuk pintu kamarku lagi. Mungkin ia sudah lelah karena aku tak pernah menggubrisnya. Aku tak pernah melakukan apapun saat ia mengetuk pintu kamarku sambil menggumamkan namaku dari luar kamarku. Aku hanya akan diam, memeluk kedua lututku sambil terus menatap pintu kamarku yang selalu ku biarkan tertutup sampai akhirnya suara ketukan itu hilang.

Jika aku boleh jujur, ini sangat menyiksaku. Aku begitu merindukannya namun egoku mendominasi sebagian besar bagian tubuhku. Aku sangat ingin keluar dari kamarku, menemuinya dan langsung memeluknya. Namun aku berusaha menahannya setelah aku kembali ingat dengan apa yang selama ini ia sembunyikan dariku. Aku hampir membiarkan tembok di sekitarku runtuh ketika ia menciumku beberapa hari yang lalu di dapur. Aku begitu merindukannya namun aku masih kecewa padanya. Jadi aku mendorongnya.

Mataku melirik ke arah jam dinding yang kini sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Kuharap mereka semua sudah tertidur karena perutku kini terasa lapar. Aku selalu menunggu mereka semua untuk tertidur terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk keluar dari kamarku untuk mengambil makan malamku. Aku beranjak turun dari ranjangku dan berjalan menuju pintu kamarku. Aku memutar kuncinya sebelum membuka lebar pintunya. Suasana di luar cukup sepi. Kuharap mereka semua berada di kamarnya karena aku sama sekali tidak ingin melihat mereka semua malam ini.

Aku menuruni anak tangganya satu per satu sampai akhirnya kakiku menyentuh lantai dasar dan langsung melangkahkan kedua kakiku menuju dapur. Di saat aku membuka pintu dapurnya, mataku menangkap Josh yang tengah duduk di sebuah kursi sambil meneguk segelas air putih. Aku tak mengatakan apapun. Aku langsung masuk ke dalam dapur dan langsung berjalan ke arah lemari pendingin.

Aku bisa mendengarnya mendorong kursinya ke belakang, lalu telingaku mendengar langkah kakinya. Apa ia tengah berjalan ke arahku?

"Hai,"

Aku menutup mataku selama beberapa saat ketika aku mendengar suaranya yang kini berada di belakang tubuhku. Aku membuka kembali kedua mataku sambil menutup kembali lemari pendinginnya. Selera makanku langsung hilang begitu saja.

Aku memutar tubuhku sehingga kini kami saling berhadapan. "Hai,"

"Kau masih marah pada kami, bukan?" Tanyanya.

Aku menghela napasku. "Aku hanya kecewa, Josh."

"Aku minta maaf," Gumamnya. "Kami seharusnya memberitahumu dari awal."

Aku mengangguk-angguk kecil. "Aku akan kembali ke kamarku."

Aku baru berjalan beberapa langkah ketika aku merasakan tangannya menahan lenganku. "Apa kita bisa berbicara sebentar?"

Robbers | Justin BieberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang