Opat: Rencana Berikutnya

4.7K 124 5
                                    

"Maksudmu, kita harus ke sini malem-malem gitu?" tanya James kaget.

"Jangan gila, deh, Lan. Kita bisa dikira maling, tahu, nggak." Beni menasihati.

"Iya, Wul. Yang bener dong kalo punya ide. Makanya jangan banyak nonton film detektif," ucap Ari.

Perempuan itu kini merengut kesal. Idenya untuk menerobos pintu Dilarang Masuk pada malam hari itu ditolak mentah-mentah oleh temannya. Ia sudah memikirkan ide itu semalaman; mulai dari mencuri kunci pintu, hingga berujung pada masuknya mereka ke dalam ruangan di balik pintu itu, serta beberapa konsekuensi yang pada akhirnya harus Wulan terima karena nekat membuka pintu misterius tersebut.

Wulan mencebik. "Ya udah, kalo kalian nggak mau, nggak masalah. Aku bisa terobos pintu itu sendiri. Temen baru itu ternyata jahat."

Saat ini Wulan memperhatikan area kantin yang ramai pengunjung sambil memikirkan cara lain agar pintunya bisa terbuka. Mengingat kemarin, penjaga sekolah menolak untuk memberikan kunci kepadanya.

Perkataan penjaga sekolah kemarin semakin membuat penasaran. Ada satu rahasia sekolah di dalam sana yang tidak boleh dibuka oleh siapapun. Rahasia itu bukan hanya sekadar naskah Ujian Nasional tahun lalu, bukan peti emas, dan bukan pula selingkuhan Kepala Sekolah. Rahasia itu lebih dari tiga hal di atas. Itulah yang menyebabkan penasaran Wulan menggebu-gebu.

Melihat Wulan yang tiba-tiba membisu, membuat ketiga lelaki itu bertambah merasa bersalah. Ari, James, dan Beni saling pandang, menunggu ucapan yang dapat mencairkan suasana mencekam ini.

"Oke, kita mau bantuin kamu," ucap Beni secara terpaksa.

"Tapi kalo terjadi apa-apa, kamu harus bersedia disalahin." James menambahkan, yang kemudian disikut oleh Ari.

Wulan mengulum senyum semringah mendengar perkataan teman barunya ini. "Makasih! Aku seneng banget! Berarti pas selesai Pramuka besok kita harus tetep stay di sini sampe malem. Tentang apa yang harus disiapin, aku sms aja nanti. Makasih sekali lagi!" ucap perempuan itu sangat bahagia.

Mereka berempat pun akhirnya memutuskan untuk kembali ke kelas, karena bel masuk telah berbunyi sangat nyaring memekakkan telinga, menyuruh para murid agar segera kembali ke kelas masing-masing. Selama perjalanan, tak ada kejadian yang berarti. Hanya Ari, yang sedang mendekati Wulan, berjalan berdampingan di belakang James dan Beni.

Sekadar pemberitahuan, Ari menyukai Wulan sejak pertama kali mereka berkenalan. James dan Beni pun sudah tahu akan hal itu.

Karena merasa risih dengan perlakuan Ari, Wulan melangkah maju mendekati Beni di depan. Si botak sempat kaget, tapi setelah melihat perempuan di sampingnya bergidik ngeri, Beni pun akhirnya menoleh ke arah Ari.

"Ri, jangan kayak gitu dong. Wulan ketakutan, bego," tuturnya.

"Iya, Wulan kalo lihat mukamu, berasa lihat genderuwo jalan-jalan," timpal James.

Ari cemberut. "Aku lagi pendekatan, bukannya didukung malah dijatuhin. Sohib macem apa kalian ini?" cibirnya di belakang.

"Situ sohib kita? Nggak level lah, ya!" sahut James, bernada menjijikkan, sama seperti tokoh antagonis di kebanyakan sinetron remaja.

Ari menghentakkan kakinya kesal karena ucapan James, sementara Beni dan Wulan asyik tertawa memperhatikan tingkah mereka berdua. "Oh, Ari-ku marah, ya? Sini-sini, sayang, cup cup cup."

Entah dapat angin dari mana, James yang sedari tadi berjalan di depan kini menghampiri Ari di belakang. Ia merangkul pundak Ari sambil membisikkan sepatah kata di telinga sohibnya.

Wulan dan Beni tetap melanjutkan perjalanan menuju kelas mereka tanpa mempedulikan apa yang akan terjadi pada James dan Ari.

Ari dan James memang begitu. Jangan heran bila melihat mereka di awal sering adu mulut, tetapi di akhir malah saling merangkul. Terkadang Beni pun kelimpungan sendiri ketika melihat dua bocah itu perang; sepinya minta ampun! Namun, kalau sudah akur; akurnya kebangetan!

×××


Di mulmed:

Caspar Lee di kiri (Ari)
Joe Sugg di kanan (James)

Kek bocah SMP beneran ye

Gudang SekolahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang