Pitulas: Putri Bulan

1.5K 74 4
                                    

Usai Beni menemukan tangga batu yang terletak di belakan gua, mereka memutuskan untuk menyudahi kegiatan santai-santai di atap. Sambil terus berpegang tangan pada satu sama lain, kaki-kaki itu berjalan turun dengan perlahan. Mereka harus terus berhati-hati karena medan yang dilalui sangat licin. Kalau-kalau terjatuh, kepala mereka bisa saja mendapat gundukan merah akibat terbentur batu.

Lama berjalan, keempat remaja Frank Angel itu pun menapak tanah setelah menuruni anak tangga terakhir. Dilihatnya pohon-pohon berbaris kokoh layaknya prajurit perang. Daun-daun lebar pada rantingnya seolah membentuk kanopi, berusaha menghalau sinar matahari agar tidak masuk ke dalam hutan.

James menumpukan tangannya pada lutut. "Capek, deh! Perasaan dari tadi hutan mulu!" keluhnya.

Tidak menghiraukan racauan James, ketiga anak itu memilih duduk berteduh pada salah satu pohon besar dengan daunnya yang sangat lebat.

"Udah, Mes, jangan berdiri di situ terus. Sini, duduk di sebelahku!" perintah Ari menepuk ruang kosong di samping kanannya.

Embusan napas kasar keluar dari bibir James. Ia kemudian berdiri tegak, berjalan malas mendekati Ari, dan duduk di sampingnya.

Kini, di sinilah mereka berada, sekadar mendinginkan jiwa di bawah pohon besar yang rindang. Namun, meskipun Wulan tampak tenang, ia menyimpan banyak keluh kesah yang belum sempat tersampaikan. Pertama, seharusnya ia tidak mengajak teman-temannya supaya membuka pintu gudang sekolah. Kedua, seharusnya Wulan mengurangi sifatnya yang selalu kepo. Ketiga, Wulan ingin sekali pulang dan bermain bersama sepeda fixie-nya.

Wulan mendesah lelah setelah memikirkan semuanya. Ia kini menyesali semuanya, terutama kepada sikap dan sifatnya yang terkadang tidak didasari oleh sebuah hal konkret. Jika ia tidak berkepala batu, mungkin Beni, James, dan Ari bisa menikmati masa sekolah merema dengan normal.

Pancaran mata yang tadi menggebu-gebu kini meredup ketika memandang wajah lelah dari ketiga teman laki-lakinya. Mereka sudah berusaha memberi impresi yang baik kepada Wulan dengan menuruti pemintaan konyolnya, tapi akhir dari semua ini hanyalah kehancuran.

Anak baru itu kemudian melihat nanar ke arah Beni di sebelahnya yang sedang berkipas dengan daun kering. "Ben, maaf, ya?" ucap Wulan lemah.

Beni menoleh. "Untuk?"

Wulan menunduk. "Gara-gara aku, kalian jadi ada di sini. Maaf."

Mendengar itu, Beni menghela napas. "Ya ampun, jangan dipikirin, Lan. Masih untung yang ada di sini itu kita semua. Bayangin aja kalau kamu terobos sendirian, kamu bakal ada di sini dengerin Sungit tanpa kita semua," kata Beni penuh pengertian.

Wulan merasa memperoleh angin segar dari ucapan Beni. Ia teringat kisahnya dulu ketika masih menjadi si upik jantan. Banyak anak laki-laki yang berteman dengannya, saling berkenalan dan bertengkar, serta berbuat usil kepada anak perempuan. Namun, wajah Wulan seketika murung saat tahu ending dari masa lalunya. Wulan dijauhi karena salah satu perempuan yang menjadi korban kekasarannya adalah gebetan satu kawan berandalnya.

Samar-samar ia mengingat penyebab perbuatannya kepada anak perempuan tersebut. Pada masa itu, Wulan menginginkan permen kapas dan anak tersebut memilikinya. Jadi, ketika ia meminta secara halus, tapi tidak diberikan, Wulan pun langsung menarik rambutnya hingga rontok. Ternyata pada saat yang bersamaan, anak laki-laki itu melihat kelakuan Wulan dan memprovokasi semua temannya agar tidak mendekati Wulan lagi.

"Botak, kalau ngomong itu sesuai akal, dong! Kita di sini belum makan, tapi kamu malah bilang 'jangan dipikirin'!" protes James yang tiba-tiba sudah duduk di tengah Beni dan Wulan.

Beni memberikan cengiran lebarnya. "Kan, aku nggak mau lihat Wulan sedih, Mes. Lagian, kan, emang bener omonganku. Kalo Wulan terobos dan masuk ke gudang itu sendirian, Ari nggak bakal bisa lihat pujaan hatinya lagi," katanya seraya menyikut anak di samping kanannya, "iya, kan, Ri?"

Ari mengangguk keras. "Bener, tuh, kata Beni! Jadi, jangan bikin Wulan sedih, dong, Mes!"

"Gini, nih, kalau orang udah ketemu gebetan, temen lama jadi dipinggirin!" cibir James.

Laki-laki itu kemudian berdiri dan meninggalkan ketiga temannya. Kepergian James kembali menyisakan penyesalan di dalam hati kecil Wulan. Melihat wajah gadisnya berubah muram, Ari pun berpindah tempat ke sebelah Wulan.

"Udah, Wul, kelakuan James nggak usah dipikirin," kata Ari sembari mengelus lengan Wulan.

"Iya, Lan. Kamu harus tahu kalau James itu anaknya penakut. Palingan bentar lagi dia bakalan balik sambil jerit-jerit," tambah Beni.

Bagaimanapun juga, Wulan tetap merasa bersalah. James marah karena kesalahannya. Kepala gadis itu terus menunduk, menggoreskan gambar abstrak pada tanah dengan pikiran yang campur aduk.

Beberapa menit itu dihabiskan Wulan hanya dengan berdiam diri tanpa menanggapi semua hiburan yang dilayangkan oleh Beni dan Ari. Ia ingin sekali menangis, tapi kantung air matanya seakan-akan sudah hilang dari hidupnya.

"Wulan, aku punya satu kalimat bagus buat kamu. Ini dari Mamaku, jadi kamu harus dengerin," ucap Beni yang kini membuat Wulan mendongak sehingga menjatuhkan mahkota dari kepalanya.

Beni berdeham sesaat. "Meski langit meruntuh, bumi bergoncang, ataupun tsunami mengadang, yang perlu kita lakukan hanyalah lari, bukan diam dan menyesali semuanya." Beni pun mengakhiri kalimatnya dengan senyum lebar.

"Terus, hubungannya apa sama James?" tanya Wulan.

Beni menghela napas sebelum memerinci kalimat motivasi tersebut. "Hubungannya adalah—"

"Beni, tolong! Lontong! Bolong! Astaga, typo semua, kan! Beni, tolongin aku! Ya ampun, ada kakak kunti!" Kontan ketiga anak itu berdiri sesaat setelah teriakan itu muncul.

James keluar dari balik semak-semak yang sudah meninggi dengan wajah pucat kesi, napasnya pun tersengal-sengal. Ia bertingkah seolah-olah baru bertemu dengan makhluk astral hutan ini.

Tiba-tiba seorang perempuan keluar dari semak-semak. Ia memakai gaun putih selutut, rambut hitam tebal terurai sepunggung, dan senyum merekah di bibir. Sekarang mereka tahu apa yang menjadikan James seperti orang kebakaran jenggot, yakni perempuan tak beralas kaki di depan mereka.

Perempuan asing itu menghampiri James yang masih ngos-ngosan lalu menepuk pundaknya. Bocah penakut itu menoleh sedikit, melihat pundaknya yang telah dihiasi tangan pucat dan kuku tangan berwarna hitam. Ekspresinya berubah panik, menepis kasar tangan tersebut, dan segera berlindung di balik punggung Beni.

Sambil menarik ujung kaos Beni, James berceloteh, "Ben, tadi aku ngelihat Wulan jadi-jadian. Sumpah, Ben, itu serem!"

Ketiga remaja itu kemudian memperhatikan dengan saksama wajah perempuan di depan mereka. Bebar kata James, perempuan itu memiliki garis wajah, bentuk tubuh, dan model rambut yang sama dengan Wulan.

"Kamu siapa?" tanya Wulan.

"Aku Bulan, Putri Bulan," jawab perempuan itu lalu menyunggingkan senyumannya.

×××

Gudang SekolahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang