Sada: Teman Baru

25.7K 345 29
                                    

Seorang perempuan berlari tergesa-gesa menuju kelasnya. Setelah terjadi tabrakan kecil antara dirinya dengan tubuh seorang pria tegap yang mengaku sebagai Kepala Sekolah di sekolah barunya, akhirnya ia berhasil lolos. Ini hari ketiga dirinya harus terlambat di sekolah baru. Koridor sudah hampir tak berorang, semua murid telah masuk ke kelasnya masing-masing. Hanya perempuan itu saja yang masih sibuk berlari sembari tangan memperbaiki poni dan rambut sepunggungnya.

Ketika tujuannya telah di depan mata, perempuan itu segera mengembuskan napas. Ia tidak ingin terlihat kacau pada hari pertama di sekolah baru. Iya, hari pertama. Karena pada dua hari sebelumnya ia memang terlambat, tapi tidak masuk kelas. Ia memilih untuk bolos ke warung depan sekolah yang sangat nyaman sebagai pelarian.

Dengan hati-hati, dia mulai mengetuk pintu, membuat seisi kelas yang tadinya ramai bagai pasar menjadi diam tanpa kata. Semua anak berusaha mencari jawaban sendiri mengenai keberadaan perempuan asing di kelas mereka.

Tiba-tiba seorang wanita berseragam rapi memegang pundaknya sambil tersenyum. "Anak-anak, perempuan yang ada di sebelah saya ini adalah murid baru di kelas VIII-E. Silakan perkenalkan dirimu, Nak," kata wanita di sebelahnya, lembut dan berwibawa.

"Aku Tri Wulan. Kalian bisa panggil aku Wulan. Aku pindahan dari SMP Citra. Terima kasih," ucapnya lalu memberikan senyum canggung.

Wanita berseragam itu kembali memegang pundak Wulan seraya melempar senyum ke arah anak-anak kelas. "Wulan ini anak baru di SMP Frank Angel. Jadi, jangan ada perlakuan tidak menyenangkan kepada dirinya. Ingat, mem-bully anak baru itu nggak keren. Mengerti?"

"Mengerti, Bu Emi!" ucap seisi kelas dengan kompak.

Wanita yang dipanggil Bu Emi itu kemudian menyuruh Wulan duduk di bangku paling belakang dekat jendela kelas, tepat di sebelah anak laki-laki tak berambut. Ketika Wulan sudah menempati kursi itu, suasana horor mulai membuatnya bergidik. Pasalnya, anak laki-laki di sebelahnya terlihat seperti tuyul menyeramkan. Ia gelisah, takut-takut orang yang berada di sebelahnya itu akan mencuri barangnya.

"Beni." Laki-laki itu menawarkan Wulan untuk berjabat tangan.

"Tri Wulan." Wulan membalas tangan Beni.

Suasana mencekam tersebut perlahan menghilang seiring dengan munculnya lesung pipi ketika Beni memberikan senyum. Wulan mengembuskan napas lega. Ia takjub melihat seorang tuyul yang ternyata memiliki lesung pipi dan tampak lebih manis jika tersenyum.

Bu Emi di depan sana adalah guru IPS yang sedang menjelaskan spesifikasi benua di dunia ini, sementara Wulan di belakang sini sedang mencoret-coret halaman belakang bukunya. Materi Bu Emi di depan sudah ia kuasai dengan baik saat di sekolah lamanya. Jadi, hanya tinggal mendengar pun ia bisa langsung paham lagi.

Beda Wulan, beda pula Beni. Kepala botak itu sama sekali tidak mendengarkan Bu Emi dengan baik. Ia lebih asyik dengan earphone yang membuntu telinga. Juga, spidol di tangan yang siap untuk mencoret-coret halaman belakang bukunya. Lebih tepatnya membuat grafiti tidak bermakna.

Hingga pelajaran Bu Emi usai pun kegiatan dua murid itu tetap sama, yakni menggambar.

"Woi!" Satu gulungan kertas melayang di kepala polos Beni.

"Hm?" tanya Beni tanpa memperhatikan lawan bicaranya.

"Si Botak kalau udah punya temen, bawaannya pengin gambar mulu," protes teman lain yang duduk di depannya, tidak lupa segulung kertas melayang lagi di kepala polos Beni.

Beni mendongak, menatap dua teman di depannya yang memasang wajah aneh. "Ya, gitulah," kata Beni santai kemudian melanjutkan acara coret-coretnya lagi.

Dua laki-laki di depan Beni langsung beralih pada anak baru yang sedari tadi menggambar. "Eh, aku James," ucap salah satu di antara mereka.

"Aku Ari," ucap laki-laki lainnya.

Wulan mendongak, melihat orang yang sudah mengajaknya bicara lalu ia tersenyum. Hatinya sangat senang saat ada orang baru mau mengajaknya ngobrol walaupun hanya sekadar berkenalan. Ini merupakan salah satu permulaan yang bagus. Ia berharap seterusnya akan seperti ini.

Anak baru itu memperhatikan wajah dua orang di depannya. Yang bernama James memiliki kulit cokelat dengan rambut berantakan menutupi sebagian dahinya. Terlihat bandel, tapi manis.

Lelaki yang bernama Ari juga terkesan bandel. Tatanan rambut dirancungkan ke atas, kulitnya lebih terang dari James, tapi masih lebih putih Beni. Kentara sekalu dari sorot mata bahwa ia merupakan salah satu lelaki genit. Wulan pikir dua orang di depannya ini dapat disebut sebagai partner in crime. Terlihat dari perlakuan mereka yang melempar segulung kertas kepada Beni. Lucu, sih, membuat Wulan merasa nyaman berada di barisan belakang kelas.

"Wul, kamu anak ketiga, kan?" tanya Ari kepada Wulan.


Perempuan itu kagok. Baru kali ini ada orang yang memanggilnya "Wul". Lagi pun Ari ternyata orang yang sok tahu. "Bukan," ucapnya singkat lalu fokus lagi ke kertasnya.

Kekehan mengejek keluar dari mulut-mulut nakal James dan Beni, membuat Ari cemberut. "Tapi namamu Tri. Itu kan, artinya tiga. Berarti kamu anak ketiga." Ari berusaha membela dirinya.

"Mamaku bilang, Tri Wulan itu artinya tiga bulan. Nah, Papaku kasih nama itu tiga bulan setelah aku lahir," jelas Wulan.

Kekehan mengejek keluar dari bibir James dan Beni, bukan bermaksud untuk mengejek arti nama Wulan. Mereka--sekali lagi--mengejek Ari.

Perkataan Wulan itu adalah fakta. Selama tiga bulan lahir ke dunia, mama Wulan hanya menyebut anaknya sebagai adek. Saat ditanya oleh orang lain mengenai nama sang bayi, jawaban mamanya hanya sekadar senyuman malu.

Setelah tiga bulan berlalu, papa Wulan akhirnya mendapatkan nama yang bagus untuk putri pertamanya, yakni Tri Wulan.

Ari dan Wulan kemudian bercengkrama, menceritakan masa-masa Wulan di SMP Citra yang diucapkannya saat perkenalan tadi, sementara James dan Beni malah membicarakan sesuatu yang berhubungan dengan Ari juga teman barunya itu. Kedua bocah itu merasa bahwa Ari akan mendekati anak baru tersebut.

×××

Terima kasih sudah membaca bagian pertama!

Frisca




Tri Wulan: Ciara Bravo
Beni Artanegara: Charlie Rowe
Arianto Aden: Caspar Lee
James Orlando: Joe Sugg

P.s. ini bukan cerita horor seperti yang kalian harapkan

(UDAH DIRENOVASI EGE)

Gudang SekolahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang