Sia: Beni Kecil

2.6K 99 3
                                    

Empat sekawan itu kini berjalan lagi setelah cukup lama beristirahat di taman untuk memperhatikan masa kecil James. Lebih tepatnya, masa SD yang aneh dari James. Tiga dari mereka tertawa terpingkal-pingkal, sementara James merutuki masa lalunya yang bisa dibilang suram untuk dikenang.

Selain masa lalu James yang telah terungkap kebenarannya, Wulan juga sudah berbicara jujur tentang kejadian di konser itu. Bagaimana respons teman-temannya? Mereka sangat berlebihan!

Apalagi James. "Ya ampun, Lan, seleramu, gila! We to the O to the We, wow!"

Ditambah kata-kata Ari. "Pantesan agak tomboy, ternyata sukanya band keras. Gebetanku mengagumkan, ck ck ck."

Apanya yang salah? Itu hanya band Punk. Menurut Wulan, itu tidak terlalu brutal, dan ... tomboy? Dia bukan tomboy, dia hanya tidak terlalu peduli dengan kata girly. Hanya itu, jadi jangan memberi julukan tomboy.

Jangan lupakan respons Beni. Dialah yang paling datar. "Itu, kan, wajar. Banyak kali di Tumblr, perempuan yang suka band kayak Green Day. Itu, kan, termasuk band legendaris juga. Nggak cuma Green Day, sih, tapi banyak band lain. Misalnya aja, The Beatles, atau Nirvana, terus apa, ya? Blink-182, semacem mereka, deh."

Perkataan Beni mengundang kecurigaan. Sebab, dari awal pertama kenal dengan Beni, lelaki botak itu terlihat sering bergelut dengan kertas putih, pensil, penghapus, dan spidol, bukan dengan ponsel. Kalaupun memegang ponsel, itu hanya untuk mendengarkan lagu dan bermain game online. Sosial media mungkin dia punya, tapi keseringan tidak aktif.

Orang seperti Beni-lah yang patut untuk dicurigai. Di luar terlihat diam, tapi jangan salah. Siapa tahu di dalamnya menyimpan banyak rahasia yang tidak pernah diintip oleh orang-orang di sekitarnya. Siapa yang tahu?

"Ampun, Ma. Iya, Ma, aku pulang sekarang. Ampun, Ma." Seseorang berteriak sampai menyentil kuping empat sekawan itu.

Wulan, James, Ari, dan Beni pun menghentikan langkah mereka. Tontonan gratis lagi. Kali ini seorang anak laki-laki berambut merah menyala sedang berlari menghindari amukan singa alias Mamanya. Anak itu berlari melewati mereka berempat secara tidak sadar. Kemampuan larinya tidak bisa diragukan, mirip superhero bernama Flash.

"Pulang sekarang! Cuci sepatumu! Mentang-mentang liburan, main PS sampe ke ujung bumi seenak udel! Mau jadi gembel kamu, hah!?" amuk sang Mama.

Keempat anak itu bergidik ngeri. Betapa sangar mama anak itu, bisa mengamuk bak singa kelaparan di padang Afrika. Wanita yang masih tampak muda itu mengenakan daster panjang, tanpa alas kaki, dengan beberapa roll menggulung rambutnya. Rahang wanita itu menajam seiring sang anak yang semakin menjauhi dirinya. Sesaat setelah kejadian itu, Beni sadar; anak berambut merah itu adalah dirinya.

"Beni! Sini kamu!" teriak sang Mama lagi.

Kontan tiga bocah SMP itu menoleh ke arah Beni yang wajahnya sudah memucat. Kulit terangnya kini malah menyerupai vampir terserang anemia.

Anak berambut merah itu berhenti berlari kemudian menoleh ke arah mamanya yang tengah berkacak pinggang. "Kenapa, Ma?" tanya anak itu.

"Budek, ya? Sini!" perintah mama garang.

"Tapi, Ma, kalo Beni ke sana, jangan dijewer, ya?" tawar Beni kecil, memberikan mata berbinarnya kepada Mama tercinta.

Wanita menakutkan itu menghela napas pasrah lalu melepas seluruh roll di rambutnya sehingga terlihat membahana saat terurai. Model iklan sampo urang-aring pun bakal kalah tanding bila disejajarkan dengan mama Beni.

"Nggak dijewer, Sayang," terdapat jeda pada kalimatnya, "tapi dikukus."

Anak kecil yang hanya berpakaian kaos oblong dan celana training pendek itu menatap mama tidak yakin. "Empuk, dong, Ma?"

"Njir, Ben, dirimu waktu SD lawak banget, ya? Nggak nyangka!" ucap Ari kagum, di sela tawanya.

Ya, memang, sedari tadi mereka menertawakan muka takut anak rambut merah itu dan juga penampilan mamanya yang persis bagaikan ibu kos kalau sedang menagih uang sewa. James adalah orang yang tawanya paling keras, seolah masa lalunya dapat dikategorikan baik-baik saja.

Mereka duduk di halaman depan sebuah rumah asing, mendengarkan kenangan kecil dari seorang Beni yang tidak pernah terungkap rahasianya. Ia bercerita bahwa dirinya dulu gemar mengecat rambut. Penyebabnya adalah dulu sejak kemunculan Wi-Fi, dia sering melihat video Youtube. Karena baru pertama kali membuka Youtube, ia tidak tahu harus mengetik apa di kotak pencarian.

Akhirnya dengan iseng, ia pun memencet huruf-huruf di keyboard tentang tutorial mengecat rambut. Sekali melihat video itu, dia langsung tertarik, terutama warna ombre pada rambut wanita. Mulai dari situ, tiap libur panjang sekolah, dia selalu mewarnai rambutnya dengan berbagai warna.

"Tapi, kok, sekarang jadi botak?" tanya Wulan, penasaran.

Beni menunduk malu. "Dibotakin Papa, biar aku nggak kecanduan lagi ngecat rambut," katanya lemah. "Jadi tiap kali rambutku tumbuh dikit, langsung dicukur sama Papa." Beni melanjutkan kata-katanya masih dengan kepala tertunduk.

Kepala botak itu ingat sesuatu, tepatnya hari pertama masuk SMP. Saat itu adalah hari terakhirnya mengecat rambut. "Tapi kalian lihat, nggak, pas hari pertama MOS SMP, ada anak laki, rambutnya pirang biru, pake seragam SD, topian panci?"

James menggeleng, Ari pun sama, apalagi Wulan. Perempuan itu, kan, baru beberapa hari beradaptasi di sekolah barunya, maka ia tidak tahu pasti apa yang terjadi saat MOS di SMP Frank Angel.

Bibir Beni mengerucut kecewa. "Padahal aku tambah ganteng kalau punya rambut warna itu."

"Tapi kamu pas SD manis juga, ya," puji Wulan.

Suasana panas membara di hati Ari. Ada tanda-tanda cemburu menggelayuti hatinya saat ini. Manis mana antara Ari dan Beni? Menurut Ari, sih, masih manis dirinya. Namun, kenapa Wulan harus menyatakan bahwa Beni lebih manis? Kenapa Wulan harus melakukan itu di depan matanya secara langsung?

"Aku mencium bau-bau persaingan," celetuk James, semakin memanaskan keadaan.

×××

Manis mana, Charlie Rowe atau Caspar Lee?

Kalau menurutku, sih, masih manis gula, apalagi kalo dicampur ke es teh

Beuh, manis-manis adem, gitu

He he

Gudang SekolahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang