tigatiga: Wulan James

876 37 4
                                    

Usai masuk ke pintu lemari bertuliskan namanya, Wulan menginjakkan kaki di sebuah tempat yang tidak asing bagi matanya, yakni sekolah. Namun, ada sesuatu yang berbeda saat ia membaca sebuah spanduk besar di gerbang utama. Spanduk tersebut berisi kalimat "Selamat Datang di SMA Amatiran".

Sejak kapan ada sekolah yang bernama SMA Amatiran?

Langkahnya perlahan masuk ke sebuah kelas yang tidak terlalu jauh dari gerbang. Diperhatikannya kelas tersebut hingga membuatnya menggeleng prihatin. Kelas itu sangat gaduh, seperti pasar kebakaran. Para lelaki sedang asyik menabur bedak karambol pada muka satu sama lain, sementara para perempuan sedang berfoto di barisan paling belakang kelas.

"Wulan, sini!" teriak seseorang di salah satu bangku.

Wulan menangkap figur seseorang yang sangat asing baginya. Namun, karena laki-laki itu memanggil, Wulan pun berjalan menghampirinya, dan duduk di sampingnya. Semakin dekat melihatnya, Wulan semakin tidak tahu perihal laki-laki itu. Di seragamnya tertera bet nama bertuliskan Atmaja Suganda. Wulan berusaha mengingat siapa itu Atmaja, tapi ia tidak menemukan memori apapun tentang orang tersebut.

Ia kemudian teringat sesuatu pasal Suara Langit. Suara tersebut sempat berpesan bahwa Wulan harus mengikuti jalan ceritanya. Namun, alur bagaimana yang harus ia ikuti?

Ia tidak paham, sama sekali tidak, bahkan ia malah menerka jika pada saat naik ke jenjang SMA nanti, ia akan mendapat kelas yang acakadut seperti ini. Wulan menggeleng keras, menepis seluruh perkiraan buruknya. Wulan anak baik. Dewan guru tidak bisa melemparnya begitu saja ke dalam kelas tak beraturan ini. Itu sangat tidak adil.

Dilihatnya sekali lagi anak bernama Atmaja Suganda yang sekarang sedang sibuk mengutak-atik sebuah permainan di ponselnya. Pandangannya lekas berpaling ketika Atmaja menoleh ke arah Wulan.

"Wulan, kamu kenapa? Kok, mukamu pucat? Kamu sakit?" Atmaja kemudian memegang dahi Wulan.

Dengan segera Wulan menyingkiran tangan Atmaja secara halus. "Aku nggak apa-apa, kok, Maja," dustanya.

"Beneran? Lebih baik kamu ke UKS, mukamu pucat banget, Wulan," kata Atmaja penuh kesabaran.

Wulan menggeleng. "Nggak. Aku sehat, Maja."

Atmaja menatap Wulan serius, kedua tangannya kemudian terulur ke kepala gadis itu, menekannya gemas. "Kepalamu itu terbuat dari apa, sih, Wulan? Besi, ya? Keras banget kalau dibilangin!"

Wulan tersentak seketika. Ia pernah mendapatkan ucapan tersebut, tapi bukan dari Atmaja, melainkan seseorang yang kini masih jauh dari jangkauannya. Sebenarnya tidak persis, sih, hanya saja pada saat Atmaja mengucapkan besi, ia malah mengingat orang itu.

"Ya udah, aku ke UKS dulu," ucapnya pasrah.

"Mau aku anterin?" tawar Atmaja.

Wulan menggeleng pelan lalu bangkit dari duduknya, berjalan keluar kelas. Sesungguhnya ia tidak ingin ke UKS, pikirannya malah beralih pada orang itu. Ia seperti termakan oleh ucapannya sendiri. Awalnya ia berkata bahwa cinta bukanlah hal penting untuk dibicarakan di masa SMP, tapi sekarang ia merasa seolah dirinya tengah dimabuk cinta.

Di lain tempat, James sudah lebih dari tiga kali mengelilingi lapangan upacara sambil membaca komik kesukaannya. Bocah berkacamata itu ternyata sangat menikmati perannya sebagai anak culun, aneh, dan kutu buku.

Jarang sekali ia mendapat kesempatan emas ini. Dulu, tiap kali ia membeli sebuah komik anyar di toko fotokopi depan SD-nya, mama selalu mengoceh tentang ini dan itu yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan komik. Setiap James menghabiskan hari Minggu dengan membaca komik, mama tidak pernah absen untuk memarahi dan menyuruhnya bersosialisasi bersama anak-anak tetangga.

Sibuk mengikuti alur cerita, aktivitas James mendadak berhenti ketika tubuhnya tidak sengaja bertabrakan dengan seorang siswi sehingga siswi tersebut jatuh ke aspal.

James menatap gadis itu kasihan, mengulurkan tangan kanannya. "Kamu nggak apa-apa, kan? Ada yang luka? Apa kita perlu ke—"

"Nggak. Aku baik-baik aja. Terima kasih."

Perempuan mungil itu pun berdiri tanpa mengindahkan eksistensi tangan James yang berniat baik untuk menolongnya. Setelah itu ia berjalan terseok-seok, meninggalkan James yang—sama sekali—tidak merasa bersalah. Masih tetap memandangi keadaan kaki si perempuan, James kemudian mengangkat bahu tak acuh.

Ia pun meneruskan perjalanan hingga pada saat kakinya merasa kelelahan, James duduk bersandar di bawah pohon rindang di pinggir lapangan. Kakinya sengaja dipanjangkan untuk mengendurkan otot-ototnya yang sempat kaku. Ia tidak peduli jika seseorang dapat celaka karena kaki nakalnya yang terparkir sembarangan.

"Aduh!" Baru saja James akan melanjutkan kegiatan membaca, seseorang tiba-tiba tersungkur di hadapannya. "Ini kakinya siapa, sih? Kenapa kaki jelek kayak gini dibuang sembarangan? Seharusnya, kan, dibuang pada tempatnya!" maki orang itu sembari berdiri dan mengelus lututnya yang lecet.

James mendengus kesal, berdiri di hadapan seorang perempuan yang mengatakan bahwa kakinya jelek. Mulutnya tak dapat terkatup rapat saat melihat sosok mengerikan di depannya.

"Wu—Wulan?"

Wulan melemparkan cengiran bodoh andalannya. "Eh, Mes. Hai!" sapanya gugup.

×××

Gudang SekolahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang