Mereka berjalan menyusuri gua yang tadi dilihat oleh Wulan. Setelah perdebatan cukup panjang mengenai lokasi mana yang akan mereka tuju, akhirnya sudah ditentukan bahwa gua itu merupakan tujuan selanjutnya. Suara Langit menyuruh empat bocah itu untuk melewati gua gelap hanya berbekal obor dan berhenti di ujung, tempat yang akan membawa mereka pada perjalanan mencari alamas.
Kini Beni yang memimpin dengan obor di tangannya, disusul Ari, James, dan terakhir adalah Wulan. Gadis itu di belakang karena James beranggapan bahwa akan ada makhluk misterius yang membuntuti dirinya di dalam kegelapan. Sempat terjadi percekcokan antara James dan Ari mengenai hal itu, tapi langsung dilerai oleh Suara Langit.
"Kalau kalian nggak berhenti, kalian nggak akan bisa keluar dari sini!"
Begitulah ancaman ampuh dari Sungit.
"Ari, nyalain lampunya, dong. Kenapa gelap banget, sih?" gerutu James di belakang Ari.
"Makanya, lain kali bawa matahari biar padang," sahut Ari.
"Ngomongin padang, jadi laper, Ri. Makan nasi padang, yuk?" ujar James.
Ari mendengus. Bisa-bisanya anak satu ini membicarakan nasi padang di suasana genting seperti sekarang ini. "Makan mulu yang dipikirin!"
Wulan yang berada di belakang sedang sibuk memikirkan sesuatu mengenai makanan. Omongan James membuatnya hilang fokus. Yang ada di otaknya hanyalah berbagai masakan padang, terutama rendang. Di masa genting begini, Wulan pengin rendang buatan mamanya. Daging empuk, aroma sedap, bumbu gurih—semuanya membuat Wulan hampir meneteskan liur.
Karena tenggelam dalam lautan bumbu rendang, Wulan tidak mengira bahwa ia telah berpisah dengan kawan-kawannya. Ia langsung kembali ke alam sadar saat mengetahui bahwa dirinya dihadapkan pada tiga cabang gua yang bercahaya.
Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari keberadaan teman-temannya atau setidaknya ia dapat melihat wajah Beni yang seolah menyala dalam gelap. Namun, ia tidak menemukan siapapun.
Mau tidak mau, salah satu cabang itu harus ia pilih. Sebelum melanjutkan langkahnya, perempuan itu menarik lalu menghembuskan napasnya tiga kali berturut-turut, meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja.
Oke, Wulan, tenang. Pilih satu cabang itu dan kamu akan pulang.
Di antara tiga liang tersebut, Wulan memilih tengah. Keyakinannya mengatakan bahwa tengah selalu menjadi pilihan terbaik. Ia pun masuk perlahan. Setelah beberapa meter melangkah, Wulan terperangah melihat pemandangan yang dapat dipantau dari tempatnya berdiri. Sebuah danau hijau nan bening di bawah sana kini menghiasi bola mata gadis itu. Sungguh, Wulan ingin melompat sekarang juga!
"Wulan, ayo turun!" Terdengar teriakan dari arah danau.
Saat menunduk, perempuan itu melihat ada tiga lelaki yang sudah menenggelamkan diri di danau. Wulan ingin sekali ikut, tapi ketika teringat bahwa dirinya tidak bisa berenang, niat tersebut pun diurungkan.
"Nggak, ah. Aku nggak bisa renang."
"Tenang, ada aku yang bakal tangkep! Udah, ayo lompat!" seru seseorang dari bawah sana.
Wulan seperti memperoleh keberanian dari teriakan tersebut. Kini ia melangkah sedikit ke pinggir, menghela napas sekali lagi lalu segera melompat.
Ia nyaris tenggelam jika tidak ada bahu yang menjadi pegangannya. Ketika membuka mata, ia baru tersadar jika yang sedari tadi menopang Wulan adalah bahu Beni.
"Yah, Lan, aku ada di sini, tapi kamu malah pegangin Beni," racau Ari kecewa.
James langsung menarik leher Ari kuat. "Yaelah, Ri, gitu aja cemburu. Yang penting, kan, Wulan selamat."
Wulan lekas melepas tangannya dari tubuh Beni lalu menyapu pandang ke segala arah di danau. Sungguh, Wulan takjub melihat keindahan di sini. Suasananya sejuk, air bersih dan bening, serta terdapat kabut tipis yang semakin menambah pesonanya.
Di mana lagi ia bisa menemukan danau yang begini di dunia nyata? Ternyata sensasi terjebak di outdoor itu menyenangkan, ya? Wulan baru tahu akan hal tersebut.
Mereka berempat menghabiskan waktu di dalam danau, melupakan tujuan awal mereka; mencari alamas berwarna. Jarang-jarang mereka dapat menikmati danau sebegini kerennya. Biasanya yang ditemukan di kota hanyalah danau buatan, itu pun keruhnya minta ampun.
Wulan meminta Beni supaya mengajarinya berenang, sementara James dan Ari malah balap menyelam dari ujung hingga ke ujung yang lainnya, berusaha mengganggu kegiatan Wulan.
Tangannya tetap berpegangan pada Beni, sedangkan kepalanya ditenggelamkan ke dalam air lalu muncul ke permukaan beberapa detik kemudian, bersamaan dengan itu kedua kakinya pun digerakkan secara bergantian. Beni beranggapan bahwa bagi pemula seperti Wulan, gaya dada atau biasa disapa gaya kodok mudah dipahami daripada gaya lain, misalnya gaya bebas.
Namun, saking antusiasnya, napas Wulan sampai terengah-engah di tengah perjalanan, padahal Beni sudah memperingatkan jika kepalanya harus dikeluarkan setelah dua kali dorongan kaki, tapi Wulan malah ngeyel.
"Udah, ah, Ben, napasku engap," gerutu Wulan.
"Tadi dibilangin sembulin kepalanya, kamu malah langsung trabas aja," komentar Beni.
Gadis itu memberikan cengiran dungu kepada anak tak berambut itu. "Ternyata renang itu enak, Ben, airnya juga adem. Nggak kayak di Citra yang kolamnya nyewa, airnya banyak kaporit, panas pula. Makanya itu aku nggak mau ikut ekskul renang!" curhatnya.
"Namanya juga kolam sewaan, Lan. Udah dimurahin, masa minta yang mewah?" sanggah Beni.
"Tapi guru pengajarnya ganteng, Ben, apalagi pas shirtless! Jadi, aku ke sana sama temenku cuma pengin lihatin gurunya!" lanjut Wulan menggebu-gebu.
Lelaki itu menggeleng pasrah terhadap cerita Wulan lalu menarik tangan gadis itu agar segera menepi di bebatuan, memandang Ari dan James yang masih kejar-kejaran di dalam danau.
×××
Siapa di sini yang ikut ekskul keren cuma pengin lihat pengajar ganteng/cantik?
KAMU SEDANG MEMBACA
Gudang Sekolah
Adventure[ COMPLETED ] "Oke, hai! Selamat datang di gudang sekolah! Tegang banget, kalian jangan takut. Panggil aku Suara Langit. Karena kalo suara perut, itu namanya kelaperan." "What!?" seru keempat bocah itu. ××× Wulan, Beni, Ari, dan James memang anak Pr...