Sapuluh: Ari Kecil

2.3K 92 2
                                    

"Jujur deh, Ben. Kamu suka, kan, sama Wulan?" Ari melontarkan pertanyaan itu menahan amarah.

Beni mengangkat sebelah alisnya, heran terhadap pertanyaan Ari yang agak ... miring. "Suka? Maksudnya?" Si botak balik bertanya.

"Tambah panas, nih." James berdeham.

Wulan jadi kelimpungan sendiri menghadapi ketiga temannya. Perasaan tadi masih baik-baik saja, tertawa dan meledek satu sama lain tanpa adanya rasa tersinggung, bukan malah perang kata seperti sekarang ini. Dia, kan, hanya memuji wajah Beni waktu kecil yang tampak sangat manis. Hanya itu, lantas apa salahnya? Kenapa Ari menyemprot Beni dengan pertanyaan seperti itu? Apakah karena cemburu?

Ari tidak berhak cemburu karena Wulan bukanlah siapa-siapa bagi dirinya. Mereka hanya menyandang status sebagai teman. Ditambah lagi kenyataan bahwa mereka masih SMP kelas 8. Belum waktunya untuk pacaran walaupun kebanyakan teman sudah berani buka-bukaan tentang hubungan mereka. Namun, bagi seorang Tri Wulan, itu bukanlah hal yang penting dan harus dinomorsatukan.

"Eh, udah, dong. Aku kan cuma muji Beni. Ari, jangan kayak gitulah, nggak etis, tahu. Baikan, nggak? Kalau nggak baikan, aku nggak bakal ngomong sama kalian!" ancam Wulan.

Ancaman Wulan agaknya dapat meredam kemarahan Ari kepada Beni. Kalau-kalau gadis itu tidak ingin berbicara lagi dengannya, mau jadi apa hidup Ari? Ia tanpa Wulan bagaikan kacang tanpa kulit; kedinginan karena diterpa angin.

Ari mengulurkan tangan, Beni pun membalasnya. "Maaf," ucap mereka bersamaan.

"Ari! Heh, bocah gendeng! Kamu apain anakku sampe nangis gitu? Tak pecel nanti kamu, ya!" teriak seorang ibu.

Empat bocah itu menoleh.

Seketika semuanya berubah.

Tempat yang tadinya adalah kompleks perumahan menjadi TK yang penuh dengan anak kecil berseragam kotak-kotak biru muda. Terdapat papan besar di depan gerbang utama yang bertuliskan TK Surya.

Jika masa kecil Wulan sudah, James sudah, Beni pun sudah, berarti yang tersisa tinggal Ari. Bocah itu pasti akan bertambah malu, apalagi dengan teriakan ibu tadi yang sangat menarik perhatian masyarakat di sana. Ibu dengan teriakan sekencang sangkakala itu menghampiri anak lelaki yang sedang duduk di bangku panjang menggoda perempuan sebayanya.

Sesampainya di tempat anak tersebut, ibu itu tidak segan-segan menjewer kuping Ari kecil. "Aduh, Tante! Telingaku sakit, Tante!" rengek lelaki kecil itu.

"Kamu, kan, yang bikin Alma nangis gara-gara kamu tolak? Iya, kan? Cepetan minta maaf dan terima dia atau kamu aku cemplungin ke kali!" ancam si Ibu.

Ari kecil sangat kelabakan, begitu pula dengan Ari besar yang kini sedang menerima tawa dari ketiga temannya. " I—iya, Tante, aku bakal minta maaf, kok, dan Alma sekarang jadi pacarku," ucapnya menahan sakit, "sekarang lepasin kuping aku. Plis, Tante."

Sifat playboy memang sudah mendarah daging pada diri Ari semenjak duduk di bangku warna-warni TK. Hal itu ia dapatkan dari ibunya yang saat SMA menjadi playgirl cap Panda.

Ari pun membuka kembali tirai masa TK-nya yang bisa dibilang berwarna layaknya kapur papan tulis taman kanak-kanak. Dia mengatakan bahwa hampir seluruh anak perempuan di TK Surya pernah menjadi pacar Ari, bahkan ia pernah dinobatkan sebagai the most wanted boy oleh anak seluruh kelas yang ada di TK Surya, dan diresmikan oleh Kepala TK.

Lihat betapa fabulous dirinya, padahal ingus pun masih dibersihkan mama. Wulan dapat meramalkan bahwa Ari bisa selamanya seperti ini. Lelaki itu tidak hanya akan menggebet wanita yang sepantar dengannya, tapi juga kalangan mahasiswi, dosen, office girl, bahkan ibu-ibu pemilik warung kelontong pun bisa ia taksir.

"Tapi, Wul, kali ini aku beneran. Aku sukanya sama kamu. Aku janji, aku nggak bakal jadi playboy lagi!" kata Ari meyakinkan Wulan.

Wulan menghela napas panjang. Bualan playboy memang selalu begitu; janji yang tak akan pernah berubah status menjadi bukti. Untung saja gadis itu tidak pernah jatuh untuk playboy. Iya, dong, Wulan, kan, tidak suka mendekati lelaki yang begituan.

Dia mendesah, membuat semua temannya khawatir. Bukan Wulan tidak menyukai Ari, tapi dia belum ingin. Sudah dibilang dari awal bahwa Wulan bukan orang yang memprioritaskan cinta sebagai hal utama di dalam hidupnya. Biarkan saja mengalir hingga semua berakhir di satu tempat yang menjadi tujuan utama.

"Ya, aku juga suka sama kamu ... sebagai teman," kata perempuan itu lalu memberikan seulas senyum kepada Ari.

James yang mendengar itu langsung merangkul pundak Ari. Lelaki yang ditolak pasti batinnya akan tersiksa.

Ah, Ari saja yang terlalu lebay!

Hidupnya, kan, masih panjang. Ada seorang wanita di luar sana yang (siapa tahu) dapat menjadi jodohnya kelak. Ditolak satu gadis bukan berarti hidupnya berhenti sampai di sini. Seorang Ari tidak akan menyerah walaupun Wulan sudah secara terbuka mengatakan bahwa ia menolak Ari.

×××

Gudang SekolahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang