Raksasa Hijau langsung melompat tidak jelas saat merasakan nyeri di dahinya, sementara Wulan sangat kegirangan terhadap apa yang ada di tangannya kini.
"Beni, aku dapet ala ... mak!" teriak Wulan histeris.
Tangan besar yang sedari tadi membekap tubuh Wulan akhirnya terlepas begitu saja, membuat gadis itu terjun bebas dari ribuan kaki di atas permukaan laut. Matanya terpejam saat melihat betapa mengerikan tanah keras yang akan menjadi tempatnya mendarat. Setibanya di sana, tubuhnya pasti akan pecah berkeping-keping.
Namun, Beni yang melihat hal tersebut tidak ingin Wulan berakhir dalam keadaan yang mengenaskan. Ia kemudian berlarian ke posisi yang kemungkinan akan dipijak Wulan. Untungnya, Beni tepat pada tempatnya. Wulan mendarat di atas tangannya yang direntangkan ke depan, persis seperti adegan romantis di sinema televisi zaman sekarang.
Wulan masih terpejam dengan tangan yang menggenggam erat alamas, membuat Beni tertawa. "Wulan, buka matamu," katanya di sela tawa.
Ari yang melihat itu pun tidak dapat mengontrol deru napasnya. Ada suara-suara kehancuran di dalam jiwanya, seperti pecahan kaca yang menusuk tepat ke jantung.
"Mes, hati ini sakit, Mes!" tegas Ari sambil menepuk dada kirinya.
James malah cengengesan lalu mengarahkan tangan Ari ke perut bagian kanan. "Di sini tempatnya hati. Yang tadi itu jantung. Kamu, sih, kurang fokus pas pelajaran Biologi."
Ari menepis kasar tangan James, menatapnya galak. "Nggak usah ngalihin perhatian, Mes! Aku sakit!"
"Oh, sayang," kata James lalu merengkuh pundak Ari erat, "nggak usah lebay, Ri. Kalau Beni nggak gitu, Wulan bakal habis saat itu juga."
Berkat ucapan James, pikiran Ari kembali jernih. Mereka kemudian turun perlahan, menghampiri dua orang yang sudah berdiri pada kaki masing-masing. Wulan pun segera memeluk Ari dan James kegirangan karena berhasil mendapat alamas selanjutnya.
"Ari, James, aku udah dapet alamasnya!" pekik Wulan bersemangat setelah melepaskan dekapannya.
"Berarti, kita bakalan pulang sebentar lagi! Yeay!" seru James riang.
"Siapa bilang kalian akan pulang?" Suara mengerikan itu datang lagi.
Keempat bocah itu menoleh perlahan, menenggak ludah masing-masing saat mengetahui Raksasa masih sanggup bangkit. Keringat yang tadinya telah mengering sekarang meluncur bagai air terjun. Wulan pikir, jika mencabut benjolan kuning dari dahi Raksasa, maka Raksasa tersebut dapat tumbang seketika.
"Beraninya kau mencabut tanda lahirku, Gadis Muda! Kalian tidak akan bisa lolos dari tempat ini!" ancam sang Raksasa diakhiri dengan tawa jahatnya.
"Lari!" teriak empat bocah itu secara bersamaan.
Mereka pun berlari sekuat yang mereka mampu, menghindar dari Raksasa murka itu. Tangannya dengan ganas menyibakkan pepohonan, kakinya berdentum keras saat bergantian memijak tanah, wajahnya memanas, ingin sekali melahap anak muda itu secara bebarengan. Kebetulan juga, sudah lama ia tidak menikmati kelembutan daging mangsanya.
Hujan pun turun seolah ikut menyemangati para pemuda untuk terus berlari, menghindar dari terkaman Raksasa. Dulu, Wulan beranggapan bahwa hujan adalah simbol utuh dari sebuah kegalauan. Namun, kini asumsinya beralih menjadi: hujan adalah pemandu sorak yang nyata.
Derasnya air yang tiap detik menyentuh kepala membuat Wulan jadi terpacu untuk terus mencepatkan langkahnya, begitu pula dengan teman-temannya.
Akan tetapi, saat mereka memutuskan untuk berhenti sejenak dan menghela napas, hujan tiba-tiba menghilang. Langkah besar yang tadi mengejar mereka pun tidak terdengar lagi. Ketika menengok ke belakang, mereka mendapati Raksasa Hijau itu berdiri sambil memperhatikan tangannya dengan saksama. Warna hijau di tubuh Raksasa seakan-akan meluntur, mengotori tanah basah di bawahnya.
"Ternyata Buto bisa kelunturan, aku pikir cuma bajuku aja yang bisa," gumam Ari seraya mengacak-acak rambutnya.
James pun tertawa keras, berniat mengejek sang Raksasa. "Makanya, udah dibilangin, kalau pakai semir itu di rambut, bukan di seluruh badan. Ngeyel, sih!" oloknya yang langsung disergah oleh tatapan tajam Raksasa.
Lagi, saliva mereka kembali ke tenggorokan.
"Kamu, sih, Mes!" Wulan menyikut rusuk James.
"Maaf, deh. Aku pikir dia nggak baperan." James menggaruk tengkuknya.
Raksasa itu kemudian menghampiri mereka berhiaskan amarah pada wajahnya. Kaki Wulan dan kawan-kawannya tidak sanggup untuk beranjak, apalagi berdiri. Sudah cukup banyak tenaga yang terkuras, membuat tubuh mereka mati rasa. Yang dapat mereka lakukan kini hanyalah saling merangkul satu sama lain, membentuk sebuah lingkaran kecil di tengah lahan hutan belantara ini.
Kalau memang ini takdir mereka untuk habis secara bersamaan, mereka telah ikhlas.
Satu kaki Raksasa pun terangkat di udara dan berhenti tepat di atas kepala empat remaja itu.
"Beni, maafin aku udah iri ke kamu!" teriak Ari sambil terus merapatkan dekapan mereka.
Beni pun mengangguk maklum. "Maafin aku juga udah rebut Wulan dari kamu."
"Apa, Ben?" Kerasnya degup jantung menyebabkan Ari tidak fokus terhadap perkataan Beni.
"Nggak apa-apa. Kopinya Pak Mit enak, Ri."
Kaki Raksasa semakin turun, menekan kepala mereka kuat-kuat hingga nyaris tenggelam ke tanah. Hanya tersisa setengah kepala dari masing-masing untuk saling menatap dan mengisyaratkan ucapan selamat tinggal.
Tuk tuk tuk
"Oke, alamasnya udah lengkap! Sampai ketemu di perjalanan selanjutnya!" kata seseorang ketika sekujur tubuh empat remaja itu tenggelam ke tanah lembap.
"Ah!" Wulan langsung terbangun dari tidurnya.
Keringat gadis itu mengucur deras dari dahi, mengalir hingga membasahi seluruh wajahnya. Napasnya pun tidak dapat diatur dengan baik, begitu pula detak jantungnya. Pandangannya kemudian berpendar ke segala arah, mendapati adanya keanehan di dalam ruangan yang ia tinggali.
Beni, James, dan Ari masih terlelap, tapi dalam posisi yang tidak wajar. Beni berada di atas meja usang; James di kursi tampak sedang memeluk Beni dari samping; serta Ari yang malah terjebak di atas lemari sembari memeluk tas besar. Ternyata, hanya Wulan yang tidurnya masih normal, yakni di atas kasur lantai.
"Aku tadi ngapain, ya?" gumam Wulan kebingungan.
×××
Ini lebih baik daripada tulisan yang lalu
Nggak bikin bingung, kan?
Komen aja kalau bingung, pasti bakal aku gantiIni emang bukan fantasi yang "wah keren banget", tapi aku tetep mengharap kritik dan saran dari kalian
Masih ada satu part lagi!
Btw, baca KELAS KENANGAN kuy!
KAMU SEDANG MEMBACA
Gudang Sekolah
Adventure[ COMPLETED ] "Oke, hai! Selamat datang di gudang sekolah! Tegang banget, kalian jangan takut. Panggil aku Suara Langit. Karena kalo suara perut, itu namanya kelaperan." "What!?" seru keempat bocah itu. ××× Wulan, Beni, Ari, dan James memang anak Pr...