Nembelas: Sungit Baru

1.3K 57 1
                                    

Beni, James, dan Ari kini bersandar di dinding gua sambil membicarakan apapun, mengesampingkan kejanggalan tentang gua ini. Lain halnya dengan Wulan. Anak itu rasanya punya kaki cadangan. Ketika lainnya sedang sibuk bersantai selagi mengeringkan tubuh, dia malah berjalan semakin masuk ke dalam gua hingga langkahnya berhenti saat menemukan sederet anak tangga di ujung gua.

Tanpa banyak berpikir, Wulan pun menaiki satu per satu anak tangga sehingga saat tiba di anak tangga teratas, Wulan dapat melihat pemandangan menakjubkan dari atap gua.

Di sisi kanan dirinya adalah kenampakan danau tadi, sedangkan sisi kirinya adalah hutan hijau belantara yang membentang luas. Bibirnya tidak mampu mengatup rapat.

Dunia khayalan milik sungit ini benar-benar membuatnya terpukau. Tidak ada yang seperti ini di kotanya, paling mentok hanyalah taman, itu pun kian mengecil karena pembangunan kota.

"Gila, kenapa nggak dari dulu aku di—"

"Wul, ngapain di sini?"

Ketakjuban Wulan seketika hilang. Ia tidak tahu harus menggumamkan apa ketika kepalanya menoleh dan menemukan Ari sedang berjalan mendekatinya.

Mereka pun duduk di pinggir, membiarkan kedua pasang kaki menjuntai bebas di udara. Gadis itu terus memandang heran ke arah Ari yang sedari tadi memandang lurus hutan di depannya.

"I found my sweet escape when I'm alone with you," ucap Ari.

Wulan menaikkan sebelah alisnya. "Bukannya kamu nggak bisa bahasa Inggris?"

Ari terkekeh. "Tadi udah tanya ke Beni. Kamu tahu artinya, kan?" tanya Ari.

Perempuan itu mengangguk yakin. Memang, sih, makna kalimat tadi sangat menyentuh. Namun, Wulan tidak semudah itu untuk jatuh dan tenggelam dalam setiap kalimat picisan milik Ari—baik itu karangannya sendiri ataupun copy paste dari orang lain.

"Kamu tambah cantik kalo pake mahkota itu," puji Ari seraya memperhatikan mahkota yang masih menghiasi kepala Wulan.

Lagi, rayuan Ari yang lain.

Wulan baru sadar bahwa mahkota itu masih bertengger di rambutnya yang masih basah. Ia pun melepaskan mahkota itu dan mengamatinya sejenak.

Batu intan di tengah mahkota tersebut mengilap akibat sinar matahari. Benda inilah yang dicari Suara Langit. Namun, kalau Wulan sudah menemukan alamas berwarna ini, apa yang harus dilakukan selanjutnya? Bagaimana Sungit dapat mengetahui bahwa alamasnya telah ditemukan?

Beni dan James tiba-tiba datang sehingga membuyarkan lamunan Wulan. Mereka duduk di tengah-tengah Wulan dan Ari, menyebabkan keduanya terpaksa menggeser tubuh. Kehadiaran mereka kini menjadikan otak Wulan buntu.

Beni sedang mendengarkan Ari yang menggerutu karena rayuan tersebut tidak sanggup membuat hati dingin Wulan mencair. Padahal menurut pengalaman, saat Ari melemparkan kalimat puitis yang mengiris hati—karya Beni Artanegara—pipi para perempuan langsung merona dan salah tingkah.

Namun, jika hal itu diberikan kepada gadis semacam Wulan, reaksinya akan berubah total.

Tuk tuk tuk

Terdengar suara ketukan dari langit, membuat empat sekawan itu berdiri.

"Halo! Di sini Tuan Joseph, si ganteng dari ufuk timur. Kalian udah nemu batunya, kan? Berikan kepada saya!"

Keempat audiens itu pun saling melempar pandang dengan kerutan di dahi masing-masing. Siapa itu Tuan Joseph? Yang mereka ketahui, suara dari langit tadi memperkenalkan dirinya sebagai Suara Langit alias Sungit, bukan Tuan Joseph.

Awalnya, Wulan pikir, Tuan Joseph adalah Tyler Joseph, vokalis band kesayangannya. Akan tetapi, ketika dicermati lebih jauh, Tyler Joseph tidak akan menggunakan bahasa lebay seperti apa yang Tuan Joseph katakan.

Mahkota di tangan Wulan mendadak terlepas dengan sendirinya lalu terangkat ke atas langit. Beberapa detik kemudian, mahkota itu kembali lagi, tapi bukan di tangan Wulan, melainkan di kepalanya. James langsung tertawa ketika melihat mahkota tersebut karena mata intan berwarna hijau itu sudah tidak ada di tempatnya, menyisakan lubang besar yang berukuran cukup besar.

"Mahkotanya, kok, bolong? Gede banget lagi," kata James lalu tertawa.

Karena ejekan tersebut, Beni dan Ari pun tertawa nyaring, sementara Wulan hanya mendengus kesal.

Ia kemudian mendongak ke arah langit. "Berarti kita boleh pulang, kan?" tanya Wulan di tengah keramaian tawa kawan-kawannya.

"So pasti ... nggak boleh!" jawab Mister Joseph, "Emangnya cuma satu alamas? Nggak lah! Ada beberapa alamas berwarna lagi yang harus kalian dapatkan." Empat sekawan itu melotot, tidak percaya terhadap apa yang diungkapkan Tuan Joseph. "Oh iya, kalo kalian butuh apa-apa, panggil si Sungit aja, jangan Tuan Joseph," jelas Mister Joseph.

Kini mereka hanya bisa menghirup napas banyak-banyak lalu mengeluarkannya perlahan. Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan. Harapan mereka untuk pulang secepatnya telah sirna, berganti dengan harapan bahwa mereka tidak ingin mendengarkan suara-suara aneh dari langit. Omongan Sungit dan Tuan Joseph tidak lebih baik daripada racauan guru-guru di sekolah mereka.

Andai kata mereka diberi pilihan: terjebak di "dunia" gudang sekolah atau mendapat tugas mengerjakan titik koordinat Matematika, maka mereka akan memilih opsi kedua.

Dunia ini sangat aneh, membuat mereka tak sanggup bernapas lega. Juga, Wulan teringat bahwa ia dan teman-temannya menyelidiki gudang ketika malam menyambut. Namun, sampai berjam-jam menyusuri dimensi lain di gudang sekolah, langit malam tidak kunjung menyelimuti pemandangan mereka.

×××

Gudang SekolahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang