tigaempat: Beni Ari

847 35 0
                                    

"Beni, kamu, ya, udah dibilangin rambut laki-laki itu nggak boleh panjang-panjang, pakai dipirang pula! Kamu pikir, kamu bisa jadi Justin Bieber?" Wanita berbadan besar berhiaskan kacamata tebal, duduk di balik meja penuh berkas sambil menatap tajam lelaki pirang di hadapannya.

"Maaf, Bu," ucap Beni terpaksa.

Beni kemudian menunduk, merutuki nasibnya yang penuh kesialan. Ia baru saja mendapat banyak pujian dari anak-anak yang tidak sengaja bertemu dengannya. Ia dibilang ganteng, menawan, berkarisma, keren, pokoknya segala macam kalimat pujian, deh. Namun, ketika hal tersebut menyentil telinga guru BK yang namanya tidak diketahui, Beni merasa kesal sendiri gara-gara Suara Langit mengubah rambutnya menjadi kebulaian.

"Apa kamu inget amanat Papamu saat kamu masuk sekolah ini? Dia mengizinkan rambutmu tumbuh, tapi tidak sampai gondrong dan berwarna. Iya, kan?" Guru itu kemudian melepaskan kacamata, menaruhnya di atas tumpukan buku lalu menatap Beni intens. "Sebagai hukuman, silakan bersihkan kolam ikan sekarang juga!"

Beni lekas mendongak, menatap guru besar itu penuh keraguan. Sejak kapan sekolah ini memiliki fasilitas kolam ikan? Sejauh tempat yang ia kelilingi tadi, tidak ada satupun tempat mirip kolam, apalagi berisikan ikan. Lagi pun kalau Beni melaksanakan perintah tersebut, pamornya yang keren bakal turun drastis.

Ia menatap guru tersebut penuh kesenduan. Sinar mata yang tadi sempat bergembira kini meredup. Dulu, Beni pernah berakting sedih di depan mamanya ketika tidak sengaja memecahkan etalase toko, dan itu berhasil meruntuhkan kekolotan sang mama. Mungkin hal tersebut juga akan terulang pada orang yang berbeda.

"Aku tidak butuh muka melasmu, Beni. Sekarang berdiri, keluar, dan kerjakan hukumanmu!" tegas sang guru BK.

Dugaan Beni salah. Wanita besar itu tidak mempan dengan kesedihannya. Berarti yang mampu takluk saat melihat wajah pilunya adalah seorang mama.

Lelaki itu perlahan beranjak sehingga menimbulkan deritan nyaring dari kursinya. Baru saja berbalik memunggungi guru BK, ia malah berputar arah kembali menghadap wanita berpipi fugu tersebut.

"Omong-omong, Bu, emang sekolah ini punya kolam ikan?" tanyanya.

"Tentu saja! Tepat di samping kantin. Di sana ada kolam kecil berisi—"

"Berisi ikan, Bu?"

"Berisi cicak!" ketus guru itu. "Sudah, cepat kerjakan hukumanmu!"

Di lain tempat jauh dari kantor BK, tepatnya di dalam sebuah kelas yang sangat tenang, Ari berada di bangku paling belakang, duduk bersama seorang siswi cantik. Ia sempat melihat bet nama anak itu dan mengetahui bahwa namanya adalah Brei Umbrella. Siswi tersebut memiliki rambut hitam legam sebahu, sangat kontras dengan kulitnya yang seputih kapas.

Mendadak Ari teringat akan nasihat yang pernah Beni lontarkan padanya.

"Kalau mau ngerayu cewek, temukan hal-hal simpel yang ada di diri cewek itu."

Begitulah Beni mengucapkannya sembari mengibaskan tangan ala pemberi motivasi.

"Ada umbrella di namamu. Cantik." Ari menatap genit Brei. "Izinkan aku menjadi payung hidupmu agar dapat melindungimu dari kerasnya derai hujan yang menerpamu," bualnya.

Brei pun menoleh sambil tersenyum kepada Ari. "Aku nggak butuh payung, tapi jas hujan."

Melihat senyumnya saja, Ari sudah hampir meleleh, apalagi kalau Brei benar-benar menjadi pendamping hidupnya. Kalau dipikir-pikir lagi, wajah Brei sama imutnya dengan Wulan. Meski kulit Wulan tidak seterang Brei, tapi pipi fugunya, mata kelereng, dan hidung mungilnya membuat Ari teringat sejenak kepada sosok Wulan yang pernah menolaknya. Tiba-tiba Ari memiliki ide cemerlang untuk memacari Brei.

Brei jadi kehilangan konsentrasi karena menyadari bahwa pandangan teman sebangkunya selalu tertuju padanya. Berkali-kali ia mencoba fokus kepada catatan guru di depan papan tulis itu, tapi sayangnya gagal. Ia tidak dapat menahan senyum dan rona di wajahnya karena mata indah Ari terus melihatnya intens.

"Kenapa senyum-senyum terus, sih? Mukaku kayak Arie Keriting, ya?" goda Ari.

"Bukan Arie Keriting, tapi jari keriting."

Ketahuilah, itu bukan jawaban dari Brei. Suara Brei tidak mungkin seberat itu. Suara tersebut berasal dari belakang kursi Ari. Saat menoleh perlahan, Ari menemukan wanita bertubuh ramping, berkacak pinggang sambil menatap Ari dengan sangat tajam.

"Eh, Ibu," kata Ari cengengesan.

"Keluar!" tegas sang guru.

"Tapi—"

"Keluar."

×××

Maaf pendek. Kalau dibaca lagi, banyak banget kalimat nggak penting dari cerita ini. Jadi, ya, gitulah. Aku udah hapus dan ganti kalimat biar lebih padat.

Gudang SekolahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang