25: Elang Nakal

1.3K 44 2
                                    

Mereka telah melewati malam yang hanya terasa beberapa jam saja. Sekitar dua sampai tiga jam, tiba-tiba ayam berkokok, mengganggu acara tidur mereka. Kini empat sekawan itu secara bersamaan turun dari tenda, memandang satu sama lain dengan wajah ngantuk. Tak terkecuali Wulan yang sekarang sedang menaruh fokusnya pada Beni.

Apakah kemarin Wulan terlalu kasar? Beni hanya meminta supaya Wulan tidak memainkan lagu yang mengalun lembut. Namun, gadis itu malah memarahinya.

"Perasaan baru tadi merem, udah petok-petok aja ayamnya," oceh James.

Ari pun mengangguk setuju. "Iya, itu ayam dari mana coba? Jadi pingin ayam bakar."

Mereka kemudian berjalan—meninggalkan tenda-tenda menuju ke sebuah tempat yang tidak diketahui—dengan Beni sebagai pemimpin. Lelaki itu tidak mengucapkan apapun sejak bangun dari tidur, membuat Ari yang berada di belakangnya jadi mundur perlahan ke samping James.

"Mes, Beni beneran ngamuk, tuh," bisik Ari.

"Kayaknya, sih, iya. Tadi malem aja dia nggak omong apa-apa." James memandang nanar punggung Beni.

"Ternyata orang pinter kalau ngamuk nggak etis, ya? Masih mending kita, kan, Mes?" Ari menyikut rusuk James.

"Emang kamu bisa etis?" Pertanyaan itu berhasil mengunci mulut Ari agar tidak mengoceh lagi.

Wulan mendengar percakapan dua bocah di depannya jadi merasa bersalah. Lagi-lagi, sikap kasarnya selalu membuat orang lain tersakiti. Pagi ini seharusnya Wulan menikmati angin sejuk, bukan memikirkan hal-hal yang menjenuhkan.

Untuk menghilangkan kegundahannya, Wulan pun memetikkan senar gitarnya secara asal. Genjrang-genjreng hingga mengundang perhatian dua orang di depannya. Ari menatap skeptis perempuan itu, diikuti oleh James yang segera menghampiri Wulan dan merampas benda membisingkan tersebut.

"Ini masih pagi. Jangan bikin keributan!" bentaknya.

Lagi dan lagi, Wulan cemberut, menyilangkan tangannya di dada sambil terus berjalan mengikuti langkah induknya hingga mendadak James berhenti, membuat Wulan tidak sengaja menabrak punggung laki-laki itu.

"Aduh! Ngapain ngerem mendadak, sih, Mes?" protesnya.

James menyengir lebar. "Salahin yang di depan."

Wulan pun terpaksa mendekati Beni, bukan berniat untuk bertanya padanya, melainkan untuk melihat langsung apa yang menjadi penyebab Beni berhenti secara tiba-tiba. Matanya membulat ketika disuguhkan pemandangan yang ramai bak pasar tradisional. Banyak orang berlalu-lalang—terutama wanita—yang membawa bakul di kepala.

Dugaan tentang pasar itu juga diperkuat oleh pemandangan ibu-ibu yang duduk di tepi jalan sambil mengipasi dagangan—semacam buah, sayuran, ikan, dan jajanan—di atas papan tripleks. Wulan terpikat pada salah satu lapak di sana sehingga kini ia menghampiri penjual itu tanpa memberi tahu teman-temannya.

"Selamat pagi, Putri," sapa sang nenek penjual jajanan dengan sangat ramah. "Apakah Putri Bulan menginginkan ini?" tunjuknya pada salah satu makanan berwarna cokelat.

Wulan mengerutkan kening lalu memandang sesaat pakaiannya. Gaun putih selutut milik Bulan. Berarti, inilah yang kemarin menjadi pertanyaan batinnya, tapi tidak ada satupun dari temannya yang mengingat hal tersebut. Mengesampingkan kekesalannya tentang gaun, Wulan kembali fokus pada nenek di hadapannya.

"Apakah aku boleh meminta ini untuk teman-temanku, Nek? Mereka baru datang dari negeri seberang." Gadis itu menoleh sekilas ketiga temannya.

Dengan sigap sang nenek langsung membungkuskan beberapa kue manis di dalam daun pisang untuk diberikan kepada Wulan. "Terima kasih, Nek," ucap Wulan seraya menerima bungkusan tersebut.

Baru saja Wulan akan beranjak ke tempat kawan-kawannya, langit mendadak menjadi gelap. Bersamaan dengan momen itu, banyak orang berbondong-bondong untuk segera pulang ke rumah masing-masing. Ia pikir akan terjadi hujan lebat pagi ini, tapi usai menengadahkan ke langit, matanya melotot.

Ada burung elang raksasa di langit, di pundaknya terdapat seorang wanita tua berambut keriting, dan berpakaian serba hitam. Wulan merasa pernah melihat perawakan wanita itu, tapi ia tidak ingat secara rinci.

Beni, James, dan Ari yang tadinya terduduk di tepi jalan berseberangan dengan Wulan pun mendongak ke atas untuk mencermati pemandangan tidak lazim itu, padahal mereka tadi sedang memperhatikan gerak-gerik Wulan.

Setelah beberapa saat terfokus pada elang tersebut, indra penglihatan Beni menangkap satu sosok yang tidak asing baginya berboncengan dengan wanita aneh serba hitam. Ingin meyakinkan perasaannya itu, Beni segera menyikut rusuk Ari yang berada di sebelahnya.

"Ri, kamu lihat, nggak, yang putih-putih di atas elang itu?" tunjuknya ke atas langit.

Sebelum Ari mengangkat wajahnya, James tiba-tiba berteriak, "Woi, Wulan ke mana? Kok, dia nggak ada?"

Kontan Beni dan Ari menoleh ke tempat Wulan mendekati pedagang kue. Benar kata James, Wulan tidak terlihat di sana. Ketika Beni menatap langit sekali lagi ke arah langit, ia bergumam, "Berarti yang di sana itu Wulan."

"Apa, Ben?" sorak Ari juga James.

"Itu, kalian lihat, deh, perempuan pakai putih-putih di belakang orang hitam yang naik elang itu."

Sesaat usai menyadari bahwa yang dikatakan Beni adalah kebenaran, Ari kemudian bergelayutan di lengan Beni sambil merengek histeris. Begitu pula dengan James yang perlahan menjatuhkan gitarnya lalu memeluk leher Ari dari samping.

"Beni, ini gara-gara kamu yang tadi malam ngambek sama Wulan. Kalau kalian langsung baikan, mungkin dia masih ada sama kita, bukan sama orang itu," cibirnya di sela isak tangis.

Beni semakin merasa bersalah karena ucapan Ari. Ini tidak bisa dibilang salah Beni sepenuhnya. Apabila Wulan sanggup menahan rasa penasaran di dalam dirinya, ia pasti tidak akan dibawa oleh orang aneh itu. Lagi pula sebelum Wulan memilih menyeberangi jalanan pasar sendirian, ia bisa bertanya terlebih dahulu kepada teman-temannya, terutama Beni. Beni pasti akan menjawabnya, sungguh!

Ia tidak benar-benar marah dan berniat mengabaikan Wulan. Ia hanya ... entahlah. Pikiran Beni kini menjadi sangat kacau, kepalanya pun digaruk kasar. Andai kata kuku tumpulnya mampu merobek kulit kepala, pasti sekarang darah segar telah mengairi dahinya, turun ke pipi, terjatuh dan berakhir di tanah.

"Ating, mereka adalah a—nak buah Ratu Beri!" teriak seseorang menyebabkan ketiga lelaki itu menengok cepat ke sumber suara.

×××

Gimana hasil renovasinya?

Bagus kah? Emejing kah? Atau malah absurd?

Gudang SekolahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang