Di saat menikmati makanan—tepatnya hidangan penutup berupa agar-agar berbau pandan—Wulan mengingat sesuatu yang penting.
Tadi dia dibawa ke sini oleh Abel, Beni pun ikut diseret, tapi sampai sekarang mengapa ia tidak melihat sosok botak itu? Ia tidak ingat penyebab pria rambut panjang itu menyeret Beni. Wulan hanya mengetahui bahwa Agon menyebut lelaki itu sebagai orang yang telah membuat Putri Bulan menangis, padahal tadi tangisan itu bukan berasal dari Bulan.
"Hupan, apa kamu tahu orang selain aku yang dibawa sama prajurit tadi?" tanya Wulan lalu memasukkan sepotong agar-agar ke mulutnya.
Hupan mengangguk. "Salah satu dari mereka berasumsi bahwa orang itu adalah anak buah Ratu Beri."
Wulan berhenti mengunyah agar-agarnya. Siapa itu Ratu Beri? Mengapa orang-orang konyol itu menganggap Beni sebagai anak buah Ratu Beri?
"Apakah Putri Bulan memiliki masalah dengan orang itu? Apakah dia sempat melukai Putri?"
Tadi Wulan memang dibuat menangis oleh Beni, tapi bukan berarti itu melukainya. Wulan menggeleng keras. "Terus, sekarang dia di mana?" tanyanya tidak sabaran.
"Di penjara," jawab Huha Delapan enteng. "Sudahlah, Putri. Dia akan mendapat hukuman yang setimpal. Lebih baik Putri bersiap diri karena Pangeran Gordon akan datang."
Lagi, siapa itu Pangeran Gordon?
Wanita berwajah oval itu kemudian berdiri dan meninggalkan ruang makan itu, disusul oleh Wulan berjalan di belakang sambil menerka-nerka sosok Pangeran Gordon.
Mereka tiba di sebuah ruangan yang—lagi-lagi—sangat besar bernuansa hitam putih, padahal di dalamnya hanya berisi ranjang kayu beserta kasur, sebuah lemari mungil di sebelah kanan ranjang, lemari besar di sudut sebelah kiri, dan satu pintu kecil di ujung yang lain. Ruangan begini kalau di rumah Wulan bisa jadi ruang tamu yang cukup untuk menampung keluarga besar ketika ada perayaan.
"Putri bisa membasuh diri terlebih dahulu, sementara saya akan menyiapkan pakaian Putri," kata Huha Delapan lalu berjalan menuju lemari besar dan membukanya.
Gadis itu malah bersedekap sambil menyandar dinding. "By the way, Hupan, aku mandi di mana, ya?" tanyanya.
Huha Delapan yang tengah sibuk menyemprotkan sesuatu ke permukaan gaun pun menoleh sekilas dan tersenyum simpul. "Putri pasti sudah terkena mantra Ratu Beri," katanya sambil menggeleng, "tempat basuh diri berada di ujung," tunjuknya ke arah pintu kecil itu.
Wulan pun menghampiri pintu kayu tanpa gagang tersebut, mendorongnya hingga terbuka lebar, menampilkan pemandangan kamar mandi yang lebih rapi daripada kamar mandi di rumahnya. Tidak ada baju bergantungan, bak-bak besar tempat pakaian kotor, ataupun detergen berserakan.
"Putri, ini pakaian Putri. Saya akan menunggu di luar," ucap Huha Delapan, membungkukkan badan singkat, dan pergi dari kamar.
Setelah Wulan selesai mandi, ia keluar dari kamar mandi mengenakan gaun putih selutut yang ketika ia sentuh menguarkan keharuman mawar. Ia heran terhadap gaun ini. Tadi Wulan juga memakai gaun ini saat terdampar di istana ini, tapi saat Wulan telah mandi dan wangi, bajunya sama saja. Seperti ... lemari Bulan itu memiliki gaun dengan warna, bentuk, serta motif yang sama.
Mengesampingkan pemikirian rumitnya, Wulan pun keluar dari kamar hendak mengelilingi rumah megah Bulan. Jarang-jarang ia bisa memijakkan kaki di istana kerajaan secara cuma-cuma seperti sekarang.
Ia patut berterima kasih kepada orang yang telah melemparnya ke tempat tidak jelas ini.
Kalimat tersebut bukan bermaksud sarkastis, melainkan benar-benar dalam artian yang sebenarnya.
Sejauh matanya memandang, terdapat banyak relief yang seolah bercerita tentang sejarah Kerajaan Huha. Berjejer 15 pria gemuk, memegang tongkat juga bermahkota besar. Tidak jauh dari sana, ada sejumlah wanita berjubah beserta anak-anak kecil di bawah mereka. Wulan pikir pemandangan di depannya ini merupakan silsilah Kerajaan Huha yang sebenarnya.
Namun, setelah ia berjalan cukup jauh, dilihatnya pahatan dinding yang cukup tragis. Di sana ada banyak orang yang mengerumuni seorang di sebuah dipan, perut orang itu menggembung seperti orang hamil. Jauh dari mereka, terdapat seorang berambut keriting, mengarahkan busur dan anak panahnya kepada kerumunan.
Wulan menggeleng, tidak tahu harus berkata apa. Orang yang terkena anak panah itu pasti telah meninggalkan keluarga dan saudaranya secara tidak terhormat. Ia pun berjalan lagi, memperhatikan berbagai gambar timbul di tembok kayu berwarna emas itu hingga langkahnya berhenti di ujung lorong.
Pintu besi di depannya mengundang perhatian. Matanya kemudian mengecek sekitar, memastikan tidak ada yang menguntitnya. Setelah dirasa aman, Wulan mendorong pintu tersebut dan tanpa disangka dapat terbuka. Bibirnya mencebik ketika mengetahui bahwa pintu tersebut berisi lorong lain yang lebih gelap.
"Siapa itu?"
Ketika ia hendak menutup pintu, seseorang berbicara sehingga rasa penasarannya kembali lagi. "Apa di sana ada orang?" tanyanya hati-hati.
"Wulan? Itu kamu, kan?" balas suara itu.
Gadis itu mengernyit. "I—ya. Kamu siapa?"
Terdengar helaan napas panjang dari lorong panjang. "Aku Beni, Lan."
Wulan membelalakkan matanya. Ia tidak percaya bahwa ia dapat mendengar suara Beni sekarang. Langkahnya kemudian maju memasuki ruangan panjang dan sempit itu untuk melihat keadaan temannya.
"Apa yang Putri lakukan di sini?" Seseorang membuat tubuh Wulan menegang.
Kepalanya menoleh perlahan, menemukan Huha Delapan berdiri di ambang pintu. "Hu—hupan, ngapain di sini?"
"Saya ingin memberitahukan bahwa Pangeran Gordon telah tiba di sini untuk bertemu dengan Putri Bulan."
Gagal sudah niatnya untuk bertemu Beni, padahal langkahnya sudah hampir dekat dengan keberadaan laki-laki itu. Huha Delapan kemudian berjalan memimpin Wulan yang terus menggerutu dalam hati. Beni pasti sedang tersiksa di lorong menyeramkan itu, kulitnya yang putih pun akan bercahaya karena sedang ketakutan.
Wulan jadi merasa bersalah lagi. Keinginannya untuk berterima kasih kepada orang yang telah melemparnya ke tempat ini pun sirna. Apa yang harus ia syukuri bila satu temannya malah mendekam di penjara tanpa kejelasan? Beni sangat pengertian terhadap semua orang, terutama terhadap dirinya. Tidak baik apabila orang semacam Beni melintasi hari di dalam bui.
Sesampainya di ruang utama, indra penglihatan Wulan menangkap seorang lelaki muda bersama Raja Sua sedang berbincang santai di atas singgasana.
Mereka berdua langsung berdiri dan tersenyum saat melihat Wulan berdiri di hadapan takhta ayah Bulan. "Anakku, selamat menikmati sore harimu," kata Raja Sua.
Tampak di wajahnya sebuah keriangan yang tidak dapat Wulan definisikan. Memangnya siapa orang di sebelahnya? Apakah dia adalah Pangeran Gordon yang dikatakan Huha Delapan?
×××
Hello
It's me*halah*
Cerita ini aku rombak jadi lebih rapi dan logis. Kata-kata yang nggak ada faedahnya juga udah aku buang. Semoga kalian nggak puyeng lagi baca fantasi absurd ini.
Jangan lupa vomments ya!
Terima kasih :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Gudang Sekolah
Phiêu lưu[ COMPLETED ] "Oke, hai! Selamat datang di gudang sekolah! Tegang banget, kalian jangan takut. Panggil aku Suara Langit. Karena kalo suara perut, itu namanya kelaperan." "What!?" seru keempat bocah itu. ××× Wulan, Beni, Ari, dan James memang anak Pr...