Ari dan James terus berlari meninggalkan Wulan serta Beni di belakang. Mereka saling membalap, kadang James di depan, Ari pun tak mau kalah, tidak memedulikan kedua temannya yang sedang kesusahan di belakang hingga akhirnya mereka berhenti dengan napas tersengal-sengal. Kaki mereka sudah tidak tahan lagi untuk terus berlari. Tidak ada pilihan lain, dua bocah itu harus bersembunyi sembari menunggu sang raksasa menjauh.
James pun mendapat ide setelah memperhatikan pohon besar di belakangnya dengan dahan yang terlihat kokoh untuk menopang tubuh mereka berdua.
"Ri, manjat pohon, yuk!" ajak James dengan dagu berkedik, menunjuk pohon yang dimaksud.
Ari langsung menurut. Tidak ada waktu lagi untuk berpikir tentang bahaya yang akan terjadi. Yang penting ia selamat terlebih dahulu dari kejaran si besar itu. Urusan Wulan, ia yakin dan percaya bahwa Beni bisa melindungi gadis itu untuk dirinya.
Keduanya telah berada di atas pohon, masing-masing dari mereka tengah melihat Beni dan Wulan yang masih berupaya keluar dari penglihatan Raksasa.
James berdecak kagum saat mengamati Beni yang gigih dalam menanggung badan Wulan di punggungnya. Secara diam-diam, ia menginginkan karakter Beni yang kuat masuk ke dalam dirinya meskipun itu mustahil untuk diwujudkan.
Cowok itu pernah mendengar curhatan Beni tentang sang mama yang selalu menyuruh mengangkat beban. Beban yang dimaksud tentu bukan barbel, sekumpulan besi tua, atau semacamnya, tapi lebih condong ke arah keperluan sehari-hari. Misalnya: galon air, karung beras 25 kg, tabung gas, dan lain-lain. Kebetulan juga, mama Beni membuka usaha toko kelontong. Jadi, daripada membayar kuli panggul, lebih baik mengandalkan tenaga anaknya saja.
"Ben, udah, sampai sini aja." Wulan menepuk pelan bahu Beni.
Dengan segera Beni mengerem langkah, menurunkan gadis kecil itu dari punggungnya secara pelahan. "Maaf, Ben. Badanku pasti berat, ya?" tanya Wulan merasa bersalah.
Beni terkekeh singkat. "Bukan berat, Lan, tapi nggak ringan."
Mendengar itu Wulan tidak dapat menahan bibirnya untuk tersenyum geli. "Sama aja, Ben."
Mereka kemudian berlari lagi, tanpa Wulan di belakang tubuh Beni. Gadis itu berpikir, jika ia tetap bergantung pada Beni, ia malah akan tampak seperti orang yang tidak berguna. Lagi pula tenaganya sudah pulih, bukan masalah besar bila ia ikut berlari sekaligus merasakan adrenalinnya terpacu saat Raksasa di belakangnya masih kuat mengejar.
Namun, sedang asyik-asyik merasakan hal tersebut, sang Raksasa justru bisa menangkap tubuh Wulan dan mendekatkan mukanya pada objek kecil itu.
Beni yang melihat itu pun hanya bisa menepuk dahi. Inilah jadinya bila Wulan dilepaskan. Seharusnya Beni melarangnya untuk berlari sendiri. Ia sangat tahu bahwa Wulan memiliki kemampuan berlari yang selevel dengan kelakuan James; rendah.
Omong-omong, James dan Ari masih berada di dahan pohon, menatap nanar ke arah Wulan yang sudah terjebak ke dalam lingkaran tangan Raksasa. Ari terus berayun di lengan James, meminta Wulan dilepaskan secepat mungkin. Akan tetapi, James bukanlah pahlawan fiksi yang mampu datang dalam sekali panggilan, mengenakan jubah, serta memiliki pukulan mantap dari buku jarinya.
"Mes, tolongin Wulan, Mes. Dia nggak pantes dimakan Raksasa itu!" rengek Ari sembari menyeka kelopak matanya.
"Berarti, kamu pantes?" tanya James.
Ari menempeleng kasar kepala James. "Ya ... nggak! Nggak ada satupun dari kita yang pantes dikorbankan ke Raksasa tengil itu, termasuk Wulan!" tandas Ari.
"Sekalipun dia anak baru?" James memandang remeh ke arah Ari yang terfokus pada tubuh mungil Wulan.
Baru akan menyela, mata Ari melebar, meninju lengan James agar lekas melihat apa yang telah dilihatnya. "Mes, itu, mukanya Wulan pucet banget! Ya ampun, Mes, aku nggak tega lihat dia!" racaunya. "Kenapa Beni diem aja, sih? Seharusnya dia jadi pengalih perhatian biar Raksasa itu lepasin Wulan!"
"Beni nggak bisa ngambil langkah secepet itu, Ri," sanggahnya, "bakal bahaya buat dia dan Wulan sendiri, apalagi tanah di bawah itu kelihatan keras banget!"
Ari pun mengangguk pasrah mendengar pernyataan James yang penuh presisi. Pandangannya tertuju lagi kepada Wulan yang masih berada di kepalan tangan si Hijau Besar. Jika Raksasa itu menekan kepalannya, maka hidup Wulan akan berhenti sampai di sini.
Andaikan saja ada Suara Langit yang dapat mengubah skenario ini—sama seperti peristiwa Ratu Beri—pasti Wulan akan selamat tanpa mengalami kesakitan.
Gadis itu tengah menatap horor wajah Raksasa, memperhatikannya secara saksama hingga sebuah objek membuatnya berpikir sejenak. Benjolan di tengah alis itu terasa berbeda dengan benjolan yang biasa ia dapatkan saat terantuk benda tumpul.
Ketika terkena sinar matahari, gundukan kuning itu malah berkilauan. Seumur-umur, Wulan tidak pernah mendapat sebuah benjol yang ajaib begitu, paling mentok ya ... berubah warna menjadi keunguan.
Penglihatannya lalu berpaling pada Beni yang berada ribuan kaki di bawahnya. Ia menyunggingkan sebuah senyum ceria. Melalui senyum tersebut, ia hendak mengatakan bahwa semua akan berjalan baik-baik saja. Setelah itu, ia melihat Raksasa, juga diiringi dengan senyum cerianya.
"Kamu mau makan aku, kan?" tanya Wulan.
"Tentu saja!" balas sang Raksasa.
"Kamu boleh makan aku, tapi aku punya satu syarat," kata Wulan.
"Apa?" Suara Raksasa Hijau sangat berat dan gahar di telinga Wulan.
Senyumnya lagi-lagi merekah, tidak menyiratkan sedikitpun ketakutan. "Izinkan aku mengusap wajahmu."
"Untuk apa?"
Wulan berpikir sejenak. Sesungguhnya, ia tidak tahu harus menjawab apa. Yang ia ketahui adalah ia ingin menyentuh benjolan itu dan mencabutnya. Otomatis, Raksasa akan lebih sibuk mengurus benjolannya daripada tubuh Wulan. Dengan begitu, ia bersama Beni bisa mengambil langkah seribu.
"Dia nggak pernah lihat raksasa. Sekalinya lihat paling cuma di televisi, itupun raksasanya jadi figuran." Beni angkat suara.
Wulan terkekeh kegelian. Jawaban Beni sangat tidak masuk akal, tapi ajaibnya si Raksasa malah percaya. "Iya, begitu! Boleh, kan?" Wulan berkedip genit.
Raksasa tidak tahu makna kata figuran yang diucapkan Beni, tapi karena ini adalah permintaan terakhir mangsanya, Raksasa pun menurut. Ia lekas mendekatkan tubuh Wulan ke wajah kusamnya. Gadis itu—dengan rona masam—mengusap wajah Raksasa.
Satu kali, tangannya berada di pipi. Dua kali, berpindah ke pangkal hidung. Tiga kali, sudah di tengah dahi. Saat ia berhasil menyentuh bincul tersebut, tangannya merasakan keanehan. Tidak hanya berkilau bila terkena sinar matahari, bincul itu ternyata sangat keras. Sekuat mungkin ia menarik sesuatu yang dianggap bincul itu hingga akhirnya berhasil terlepas dari dahi Raksasa.
"Itu alamas, Lan!" Beni berteriak.
×××
Gila
Renovasinya udah sampe 38
Kurang dikit lagi bakal kelar nih cerita●_●
Btw, bray
Kalo ini udah selesai dibaca, mampir ke KELAS KENANGAN dongCerita itu lebih bermakna daripada Gudang Sekolah yang cuma bermodal gila-gilaan
KAMU SEDANG MEMBACA
Gudang Sekolah
Adventure[ COMPLETED ] "Oke, hai! Selamat datang di gudang sekolah! Tegang banget, kalian jangan takut. Panggil aku Suara Langit. Karena kalo suara perut, itu namanya kelaperan." "What!?" seru keempat bocah itu. ××× Wulan, Beni, Ari, dan James memang anak Pr...