Wulan dan "kembarannya" kini sedang berganti pakaian di balik pohon-pohon besar, sementara tiga bocah lain menunggu dengan perasaan waswas. Mereka ingin membuktikan kepada satu sama lain bahwa dua perempuan itu benar-benar tampak bagai pinang dibelah dua walaupun tidak sedarah.
Setelah kedua gadis itu keluar dengan baju tertukar, Ari, James, dan Beni langsung mengerumuni mereka.
"Gila! Wulan bener-bener cantik kalo kayak gini!" seru Ari kagum.
"Bulan juga nggak kayak kunti, aku jadi sayang, deh," goda James sambil menyenggol lengan Bulan.
Wulan dengan gaun putih selutut dan mahkota tersebut seperti anak kecil pengiring mempelai wanita di upacara pernikahan, sementara Bulan dengan baju band serta celana belel itu seperti penonton konser punk.
Merasa ucapan dua lelaki itu merupakan sebuah pujian, Bulan pun membungkukkan badan sesaat. "Terima kasih, tapi mengapa kalian menyuruh kami bertukar pakaian?" tanya Bulan.
"Si Botak yang ngasih ide ini," tunjuk James.
Manusia tak berambut itu mengelus kepala mulusnya sambil tersenyum dungu. Bulan yang melihat itu pun mengangguk paham. Sebenarnya Bulan tidak terlalu mengerti apa yang dibicarakan James karena mereka menggunakan bahasa yang tidak dapat dicerna langsung oleh Bulan.
Ada ngasih, botak, dan apa itu kunti yang James bicarakan tadi?
"Ben, dari tadi cengar-cengir. Ngomong sesuatu, dong!" celetuk Wulan sembari membenarkan mahkota di kepalanya.
Beni tidak tahu harus membalas apa. Dia benar-benar merasa hilang akal. Mungkin mitos mengenai manusia yang memiliki tujuh kembaran itu memang hidup, tapi apakah hal tersebut juga berlaku di dunia tidak nyata seperti gudang sekolah ini? Itu sangat berada jauh di luar nalar Beni.
Ia memandang Wulan yang masih sibuk dengan posisi hiasan kepalanya, penglihatannya kemudian bergeser ke arah James dan Bulan. Dua bocah itu tampaknya sedang melakukan sesi pendekatan, padahal James tadi mengira bahwa Bulan adalah kuntilanak yang menyamar sebagai Wulan.
"Ben, jangan-jangan kamu kesurupan, ya? Aku nyuruh kamu menyampaikan pendapat, bukan malah nyengir kayak kuda!" protes dari Wulan membuatnya tersadar.
"Apa, sih, Lan?" tanya Beni.
Wulan pun menghentakkan kakinya gemas, tangannya kemudian terulur ke telinga Beni dan segera menjewernya. "Aku, tuh, lagi nanya pendapatmu tentang kostum kita berdua, tapi kamu terus-terusan ngelamun. Mikirin apa, sih?"
"Udah, deh, Lan, dia itu lagi mikirin si Demi palsu," tukas James sembari merangkul pundak Bulan santai, "iya, kan, Bul?"
"Mes, kalau kasih panggilan itu yang enak dikit, dong! Apa itu 'Bul'? Kamu pikir dia binatang?" celoteh Ari lalu mengedikkan dagunya ke arah Wulan, "iya, kan, Wul?"
"Ri, panggilanmu ke Wulan juga nggak etis. Apa itu 'Wul'? Kamu pikir rambut Wulan kriwul?" sanggah Beni diakhiri senyuman miring.
Alih-alih menjawab, Ari memperhatikan penampilan gadisnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ia tidak menemukan sedikit pun celah yang dapat membuat gadis itu terlihat jelek di matanya. Badan mungil seperti anakan panda, mata bulat kelereng macam tokoh-tokoh manga, dan senyum semanis teh hangat buatan mama.
Kata-kata yang sering diucapkan Wulan mungkin tidak mencerminkan keluguan, tapi itulah penyebab Ari menjadi suka kepadanya. Dia sangat atraktif, tentu saja dengan caranya sendiri. Melalui protesan yang ia utarakan, perilaku sok ngambek yang menggemaskan, bahkan semua hal di dalam diri Wulan adalah menarik untuk dikulik.
"Dia nggak kriwul, Ben," tukasnya, "tapi ngangenin."
Alis Beni hampir bertaut ketika kalimat tersebut selesai terucap. "Arianto Aden, apa hubungan antara Wulan kriwul dengan ngangenin?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Gudang Sekolah
Adventure[ COMPLETED ] "Oke, hai! Selamat datang di gudang sekolah! Tegang banget, kalian jangan takut. Panggil aku Suara Langit. Karena kalo suara perut, itu namanya kelaperan." "What!?" seru keempat bocah itu. ××× Wulan, Beni, Ari, dan James memang anak Pr...