Pitu: Wulan Kecil

3.4K 113 1
                                    

"Eh, pencet bareng-bareng aja, deh. Biar kita barengan kalau kenapa-kenapa," usul James.

Wulan, Beni, dan Ari awalnya sedang berdebat untuk menentukan siapa yang akan menekan tombol merah misterius di buku kancil itu. Namun, ketika James berusul demikian, mereka bertega terdiam. Jarang-jarang lelaki berambut gondrong itu bersikap bijaksana, biasanya dia hanya akan mencela sampai lawan bicaranya kelabakan.

Akhirnya tanpa ragu lagi, jari telunjuk masing-masing dari mereka menyentuh tombol merah di buku Kancil. Itu dilakukan supaya jika terjadi hal yang buruk, maka mereka semua kebagian imbasnya. Perlahan telunjuk mereka mulai menekan tombolnya kemudian memandang satu sama lain.

Tiba-tiba semuanya berubah.

Keempatnya berpindah ke dimensi lain.

Ini bukan tempat gelap yang digunakan untuk uji nyali, melainkan ruangan besar berisi banyak orang. Atmosfer di dalam ruang ini sangat familier bagi Wulan, tetapi ia tidak tahu kapan tepatnya merasakan hal ini.

Orang-orang di sekitar mereka sedang melompat tak karuan, ada pula yang bernyanyi mengikuti lantunan lagu dari musik di depan.

"Gila! Ini tempat apa? Kok, ramai? Antre sembako nggak gini juga kali," ucap James.

"Ini bukan antri sembako, bego!" kata Ari, memukul pelan kepala James.

"Kayaknya ini tempat konser. Itu yang di depan bawa gitar kayak vokalis band mana gitu," tebak Beni, memandang ke arah satu orang dengan gitar dan mikrofon di hadapannya.

Wulan tidak mendengarkan teman-temannya yang sedang mengira tempat aneh ini. Yang ada di pikirannya sekarang adalah tempat ini seperti pernah ia kunjungi sebelumnya, tapi ia tidak tahu kapan. Gadis itu berjalan melewati orang-orang di tribun sambil menutup kedua telinganya karena mereka berteriak sangat kencang.

Seorang pria tidak terlalu tua sedang menggendong anak perempuan di punggungnya sanggup mengunci fokusnya. Wulan menyipitkan matanya, memastikan bahwa yang ia lihat memang benar orang itu.

"Papa?" gumamnya.

"Papa?" tanya Beni yang tak disangka berada di sebelahnya, "maksudmu, orang itu Papamu?"

Wulan menoleh, mengangguk pelan kepada lawan bicaranya. Beni mengangguk paham. Mata gadis itu kembali tertuju kepada pria sang penggendong anak perempuan. Merasa diperhatikan, pria tersebut memandang balik ke arah Wulan sehingga kini kedua pasang mata cokelat itu akhirnya bertemu.

Wulan semakin yakin pada penglihatannya. Pria yang melihatnya saat ini adalah papanya. Ia ingat kejadian waktu itu. Walau usianya baru delapan tahun, Papanya sudah berani mengajaknya untuk pergi ke konser sebuah band Punk Rock.

Itu pun bukan di Indonesia, melainkan di luar negeri. Ia tidak tahu di negara mana papa membawanya untuk menonton konser. Yang dia ingat saat itu papanya sedang ada tugas di negara lain, jadi tidak ada salahnya jika sekalian mampir ke konser.

Tiba-tiba tangan besar menarik tangan Wulan dan Beni. Sepasang mata milik papa pun tidak lagi memandang Wulan. Pria itu kembali memfokuskan pandangan ke arah vokalis yang mencoba mengajak penonton untuk sing along. Dua remaja itu diseret paksa keluar dari stadion, membuat berpasang-pasang mata menjadikan mereka pusat perhatian.

Di sinilah mereka sekarang, di bagian luar stadion. Ternyata James dan Ari juga diusir dari stadion oleh pria kekar. Ini untuk pertama kalinya mereka diusir dari sebuah konser yang mereka sendiri tidak tahu jelas artisnya.

Wulan, James, Ari, dan Beni duduk di trotoar, memperhatikan lingkungan sekitarnya. Barang-barang yang mereka bawa telah lenyap. Entahlah di mana keberadaan barang itu. Mungkin tertinggal di dalam gudang atau juga terjatuh di tribun tadi.

Banyak orang meraup untung dengan berjualan merchandise band, ada yang hanya sekadar jual air minum, dan juga yang cuma ingin melihat stadion tempat konser. Yang terakhir itu sepertinya orang kurang pekerjaan.

"Ini gimana, sih? Kok, malah nyasar ke sini? Tadi, kan, kita ada di gudang, kenapa malah ke konser orang?" tanya James tanpa jeda.

"Iya, tapi seandainya kita nggak diusir, pasti bisa nonton konser gratis," tambah Ari.

"Itu, kan, maumu. Dasar gila! Kalau aku ogah. Kan, aku nggak kenal siapa yang konser. Lagian kamu juga, kan, nggak bisa bahasa Inggris, mana bisa kamu sing along?" balas James, memukul kepala Ari hingga ia memekik kesakitan.

Ari cemberut, mengusap kepalanya yang sakit, kemudian membalas perlakuan kasar James dengan cara yang sama. "Ya nggak apa-apa, dong. Jarang-jarang kamu bisa nonton konser. Biasanya, kan, yang kamu tonton cuma orkes dangdut di balai RW," kata Ari menahan tawanya.

Dua bocah lelaki itu belum tahu bahwa Wulan telah melihat papa di dalam bersama dengan anak kecil di gendongan punggungnya, yang tak lain adalah dirinya di masa kecil. Hanya Wulan dan Beni saja yang tahu itu. Jadi lebih baik mereka berdua menyembunyikan hal tersebut dari James dan Ari.

×××

Gudang SekolahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang